Oleh: Agusliadi Massere*
Membaca buku Quantum Learning, ada yang menarik dari Bobbi DePorter & Mike Hernacki selaku penulisnya. Skema yang dibuat oleh DePorter & Hernacki, terdiri dari empat buju sangkar yang dihubungkan oleh garis panah yang menandakan relasi melingkar antara satu dengan yang lainnya.
Masing-masing bujur sangkar itu di dalamnya bertuliskan: pertama, emosi positif; kedua, kekuatan otak; ketiga, keberhasilan; dan keempat, kehormatan diri. Sederhananya, bahwa keempat hal ini memberikan efek berkelanjutan dan membentuk siklus melingkar: emosi positif mampu meningkatkan kekuatan otak; kekuatan otak mampu memengaruhi atau melahirkan keberhasilan; keberhasilan menimbulkan kehormatan diri; selanjutnya kehormatan diri kembali meningkatkan emosi positif; dan seterusnya. Laksana bola salju semakin menggelinding semakin besar.
Dalam buku DePorter & Hernacki, skema tersebut sangat sederhana begitupun penjelasannya sangat singkat—jika dipadatkan hanya satu halaman buku sudah termasuk gambar skema tersebut. Meskipun demikian, saya pribadi telah mendapatkan inspirasi dan manfaat yang luar biasa. Bahkan, sejak kurang lebih tujuh belas tahun yang lalu, dan tidak kurang dari empat puluhan forum perkaderan dan LDK, saya menyampaikan dan menguraikan kedahsyatan-kedahsyatannya berdasarkan hasil interpretasi ulang dan pengalaman pribadi.
Judul di atas, sesungguhnya hanya penyederhanaan, interpretasi ulang, dan termasuk representasi dari skema DePorter & Hernacki itu. Tulisan ini bertujuan, sebagai ruang berbagi manfaat kepada siapa saja yang sempat membaca, atas apa yang telah saya rasakan. Namun, tulisan ini pun telah mendapatkan penguatan dari buku-buku yang telah saya baca, di antaranya kayra Dr. Joe Dispenza, Prof. Dr. Nevzat Tarhan, Erbe Sentanu, Anna Wise, dan Priatno H. Martokoesoemo.
Penguatan dari beberapa pakar pada bidangnya tersebut, sehingga manfaat yang telah saya dapatkan dari DePorter & Hernacki sejak tujuh belas tahun yang lalu, semakin besar dan semakin menguatkan keyakinan. Selanjutnya, semakin kuat pemahaman, kesadaran, dan keyakinan atas urgensi hati, otak, perasaan, pikiran, pengaruh niat terhadap realitas kehidupan tanpa kecuali terhadap impian-impian yang telah dipancarkan dari alam mental.
Prestasi yang diharapkan oleh setiap orang harus disadari dimulai dari bagaimana menata hati. Suasana hati yang tenang, senang, dan bahagia atau singkatnya sebagaimana diistilahkan oleh DePorter & Hernacki sebagai “Emosi positif” akan mampu memengaruhi aktivasi atas “kedahsyatan fungsi otak”.
Selanjutnya bisa dipastikan dan diyakini, jika kedahsyatan fungsi otak bangkit, maka prestasi luar biasa akan terus lahir. Pencapaian prestasi dalam realitas kehidupan, sedikit-banyaknya, terang-terangan atau tidak, akan diapresiasi oleh orang lain. Secara naluriah apresiasi tersebut akan kembali meningkatkan suasana hati atau emosi positif.
Bukan hanya hal tersebut di atas yang bisa dipahami dan disadari. ada hal dahsyat lainnya dan itu pun bisa memberikan implikasi luar biasa dalam kehidupan setiap orang atau seseorang. Hati yang identik dengan perasaan, dan otak yang identik dengan pikiran mampu memengaruhi dan/atau menciptakan realitas sesuai yang diinginkan atau diharapkan. Hanya saja, hal ini bukan perkara mudah. Ada sesuatu yang harus dibongkar atau dirobohkan terlebih dahulu, yakni sebuah relief yang terpahat kuat di alam bawah sadar.
Dari buku Breaking The Habit of Being Yourself karya Dr. Joe Dispenza, saya memahami bahwa ada pandangan dari Rene Descarters dan Isaac Newton, yang dalam konteks dan substansi harapan tulisan saya ini, bisa dinilai sebagai penghambat. Descartes dan Newton, menilai bahwa antara materi dan pikiran, dan setelah itu, materi dan energi, dianggap terpisah sepenuhnya.
Bagi mereka berdua, Descartes dan Newton, kajian tentang materi masuk dalam wilayah sains (always matter, never mind), sementara pikiran yang dinilainya sebagai instrumen Tuhan dinilai kajiannya berada dalam wilayah agama (always mind, never matter). Ini saja sudah buruk, dan diperparah lagi bahwa ini memengaruhi pemahaman atau membentuk cara pandang sejak ratusan tahun yang lalu dan bertahan sampai sekarang.
“Realitas sejatinya telah ditetapkan dan manusia tidak bisa banyak berbuat untuk mengubah segala sesuatu melalui tindakan mereka, apalagi pikiran mereka”. Ini efek lanjutan, cara pandang yang lahir dari pandangan Descartes dan Newton tersebut di atas.
Dari Dispenza dalam bukunya tersebut, saya memahami bahwa, kira-kira 200 tahun setelah Newton, Albert Einstein menciptakan persamaan terkenalnya E=mc2 (angka dua ini adalah pangkat 2). Dari persamaan ini, menegaskan bahwa energi dan materi berhubungan hingga keduanya satu dan sama.
Menurut Dispenza, temuan dan pandangan Einstein ini, bukan hanya meruntuhkan pandangan lama terkait sifat dasar realitas, tetapi juga merobohkan fondasinya, dan akhirnya berujung pada keruntuhan cara berpikir yang sempit dan kaku. Ini pula yang menegaskan bahwa dualistik Cartesian/Newtonian cacat pada level paling dasar dari segala sesuatu.
Dari Einstein, kini kita memahami dan menyadari bahwa ternyata atom, tidak seperti dulu yang dipahami berbentuk materi, tetapi berbentuk energi. Di medan quantum, kita semua terkoneksi dengan berbagai energi yang menyusun atom dari benda fisik apapun. Kita pun bisa memahami bahwa pada level subatomik, energi merespons perhatian penuh (mindfull attention) dari kita semua.
Apa yang dikutip oleh Dispenza dari Einstein, ada hal yang menarik dan bisa berposisi menguatkan dari Prof. Dr. Nevzat Tarhan—sebagaimana yang saya pahami dari buku karyanya Psikologi Iman—“Menurut mekanika kuantum, atom bukan material atau bola yang keras, atom adalah energi yang mengalir yang terdiri dari partikel-partikel seperti elektron, foton, dan psikon”.
“Listrik adalah arus elektron, cahaya adalah arus foton, dan jiwa adalah arus psikon”. Ini penjelasan tambahan Tarhan. Bahkan kita bisa melihat dari Tarhan, bahwa di dalam atom termasuk ada psikon.
Substansi yang ingin saya sampaikan dalam tulisan ini, berdasarkan pemahaman dari beberapa pakar tersebut di atas adalah bahwa perasaan dan/atau pikiran itu mampu mengubah dan bahkan menciptakan realitas fisik sekalipun. Apa artinya? Jika kita mengharapkan lahirnya suatu realitas, tanpa kecuali apa yang kita istilahkan saja secara sederhana sebagai “prestasi”, harus dimulai dari bagaimana menata perasaan dan pikiran.
Mengapa? Sekali lagi, relevan dengan yang diungkapkan pada alinea-alinea sebelumnya di atas, bahwa, pada level quantum—Erbe Sentanu menyebutnya energi vibrasi—antara perasaan dan/atau pikiran, dengan realitas/prestasi yang diharapkan tersebut sudah menyatu, jauh sebelum hal tersebut benar-benar terwujud dalam realitas empirik.
Bahkan apa yang saya istilahkan di atas sebagai “apresiasi” yang selanjutnya memengaruhi suasana hati atau dalam hal ini perasaan, tidak harus lagi diharapkan hanya pada level realitas empirik dan/atau realitas sosial. Di level quantum, di luar ruang-waktu fisik, di mana diri kita dengan yang lainnya tidak terbatasi oleh siapapun dan apapun, “apresiasi” itu pun bisa didapatkan dan memberikan manfaat positif yang besar.
Dalam ilustrasi lain dan sebagai contoh nyata, ketika saya membagikan setiap tulisan-tulisan saya yang terbit di media online ke puluhan group WhatsApp (tidak kurang dari empat puluhan group), begitupun group Facebook (yang jumlahnya hampir sama), tidak perlu lagi hanya menunggu bentuk apresiasi secara nyata dengan komentar “luar biasa”, “mencerahkan”, “keren” dan lain-lain, atau dengan emoji “jempol”, “wajah tersenyum”, dan lain-lain. Apresiasi yang hanya terbersit di hati para pembaca saja, itu sudah bisa sampai ke dalam diri saya atau dalam diri para penulis. Pandangan ini—bagi sebagian sahabat pembaca—mungkin terkesan sulit dipahami dan dipercayai, karena masih ada dinding tebal yang harus dirobohkan terlebih dahulu dalam dirinya. (Bersambung…)
*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023