Oleh: Agusliadi Massere*
KHITTAH.CO,- Bagi sahabat pembaca yang pernah membaca pandangan John Gardner (dalam Yudi Latif, 2012) terkait syarat menjadi bangsa besar, pandangan Soekarno (dalam Yudi Latif, 2020) mengenai urgensi konsepsi dan cita ideal, dan perspektif Prof. Haedar Nashir (2022) tentang seperti apa dan bagaimana bangsa Indonesia ini dibangun, maka kita akan sepakat bahwa, Indonesia sudah punya modal besar untuk menjadi bangsa dan negara yang kuat, termasuk di mata dunia. Namun, realitasnya masih banyak yang harus dipandang sebagai PR (baca: Pekerjaan Rumah) besar untuk secara bersama-sama mencari langkah solutifnya.
Indonesia yang diandaikan sebagai sebuah bangunan, fondasinya harus kuat. Berbicara mengenai fondasi yang menopang bangunan keindonesiaan, ketika menggali perjalanan sejarah, maka akan ditemukan bahwa, Pancasila sebagai meja statis atau sesuatu yang bisa dimaknai sebagai fondasi, sudah sangat kuat. Dari fase “pembuahan”, “perumusan”, dan “pengesahan” Pancasila—menurut saya—secara historisitas dan rasionalitasnya sudah sangat kukuh. Mungkin, yang sedikit mengandung problem ada pada dimensi “aktualitas”-nya.
Rhenald Kasali menegaskan bahwa dalam konsep “perubahan” (change) tidak ada kata “terlambat”. “Tak peduli berapa jauh jalan salah yang Anda jalani, putar arah sekarang juga”, ini salah satu pesan Rhenald dalam buku karyanya Change (2005). Ramadan sebagai bulan suci, bulan yang identik dengan hal-hal positif, dan dengan produktivitas dan kontribusi yang konstruktif, bisa dijadikan sebagai momentum untuk mengukuhkan kembali fundamen kebangsaan Indonesia.
Saya dan mungkin kita semua sepakat bahwa, meskipun Islam adalah sesuatu yang sangat fundamental dalam diri kita semua—atau penegasan terhadap agama yang dianutnya masing-masing bagi pembaca tulisan ini yang non muslim—, tetapi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara atau dalam menjelajahi peta sosiologis Indonesia, maka kita harus tetap bersepakat bahwa Pancasila adalah fundamen kebangsaan. Sila pertama sampai sila kelima, idealnya, itu dijadikan sebagai fundamen dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pancasila sebagai “dasar filsafat” (Philosophische grondslag), dan “pandangan dunia/hidup” (Weltanschauung) harus mampu untuk terus menjadi “meja statis” yang kokoh, dan leitstar dinamis (bintang penuntun) bagi bangsa. Haedar Nashir mengharapkan “Pancasila menjadi inspirasi untuk pencerahan bangsa. Memberi arah dalam situasi tak pasti dan transisi. Menjadi kekuatan untuk menumbuhkan optimisme dan idealisme”.
Sebagaimana yang telah saya tegaskan di atas bahwa, yang mengandung problem pada dimensi “aktualitas”-nya (baca: aktualitas Pancasila), relevan dengan yang diungkapkan oleh Haedar “Pancasila malah dijadikan objek sakralisasi yang berlebihan, tetapi tumpul dalam mencandra denyut nadi rakyat, serta gagal dalam mengarahkan perjalanan bangsa ke depan secara bermakna”.
Yang menarik dari Haedar, dan saya yakin kita semua sepakat bahwa, “Tampaknya yang kini hilang dari tubuh bangsa ini juga dari dunia elit, ialah filosofi berbangsa secara substansial”. Maksudnya?
“Cara kita berbangsa yang dibangun di atas nilai-nilai yang fundamental di mana nilai-nilai yang mendasar itu benar-benar dihayati menjadi sesuatu yang bermakna dan berfungsi sebagai khazanah dan pola bagi tindakan-tindakan kita secara utama. Sumber nilainya yang legal-formal tentu Pancasila”. Ini penegasan Haedar yang relevan dengan pandangan saya, bahwa dimensi aktualitas Pancasila yang masih gagal diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Saya sepakat dengan Haedar, bahwa sesuatu yang tidak dibingkai dengan perspektif yang luas dan filosofis atau orientasi kebangsaan yang nirfilosofis yang membuat jagat nasional di negeri ini menjadi serba gersang dan penuh kegalauan. Atas dasar inilah, untuk menguatkan basis filosofisnya, maka saya bermaksud untuk menjadikan bulan Ramadan sebagai momentum strategis untuk mengukuhkan kembali fundamen kebangsaan Indonesia: Pancasila.
Namun, dari fundamen kebangsaan tersebut ada hal yang paling fundamental dan bahkan dipandang sebagai fundamen dasar di balik fundamen yang ada, dan itu relevan dengan puncak prestasi spiritualitas (baca: takwa) yang akan diraih, khususnya bagi umat Islam. Apa itu? Jawabannya, kita harus membaca sejarah perumusan Pancasila.
Dalam sejarah perumusan Pancasila, kita akan menemukan rumusan filosofis yang berbasis pada kesadaran teologis. Awalnya sila “Ketuhanan” berada dalam posisi sila kelima, posisi pengunci. Kemudian akhirnya disepakati untuk diubah menjadi sila pertama, posisi pembuka.
Adalah Mohammad Hatta (dalam Yudi Latif, 2012) memberikan pandangan “Dengan perubahan posisi prinsip Ketuhanan dari posisi pengunci ke posisi pembuka, ideologi negara tidak berubah karenanya, melainkan negara dengan ini memperkokoh fundamennya, negara dan politik negara mendapat dasar moral yang kuat”. Perubahan ini menegaskan fundamen moral menjadi landasan dari fundamen politik (dari sila kedua sampai dengan sila kelima).
Ramadan yang dijadikan sebagai momentum untuk mengukuhkan kembali fundamen kebangsaan, terutama fundamen moral, sila atau prinsip “Ketuhanan”, dalam pandangan saya, sama saja menciptakan energi fusi. Dari Diana Whitney & AmandaTrostem-Bloom (2007), kita bisa memahami bahwa secara harfiah energi fusi adalah sumber kekuatan bagi matahari dan bintang, yang dihasilkan ketika dua elemen bermuatan positif digabungkan menjadi satu.
Secara filosofis, ketika nilai-nilai Pancasila khususnya sila dan/atau prinsip “Ketuhanan” dikuatkan dengan nilai-nilai Ramadan, maka itu pun akan melahirkan apa yang dimaknai sebagai “energi fusi”. Dan ini bisa menghasilkan ledakan energi yang dahsyat, positif, produktif, dan konstruktif.
Pada bagian (judul) “Kesatuan Agama sebagai Pesan Universal Puasa Ramadhan” dalam buku Berislam dengan Berkemanusiaan: Telaah Teologis, Filosofis, dan Sosiologis Keindonesiaan (2021) Aksin Wijaya menegaskan “Semuanya [maksudnya puasa, shalat tarawih, membaca Al-Qur’an, bersedekah, dan membayar zakat pada bulan Ramadan] dilakukan untuk mendapatkan barakah dan meningkatkan ketakwaan pada Allah Swt.
Terutama puasa dalam bulan Ramadan, secara substansial ultimate goal-nya adalah la’allakum tattaqun(a). “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”, QS. Al-Baqarah [2]: 183. Tujuan utamanya adalah takwa.
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya. Dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapatkan keberuntungan”, QS. Al-Maidah [5]: 35. Ayat ini menegaskan Urgensi takwa. Salah satu defenisi takwa dari Al-Ghazali adalah “Upaya untuk menjaga diri dari berbagai kemaksiatan”.
Sila dan/atau prinsip Ketuhanan pada Pancasila yang oleh para founding fathers dipandang sebagai fundamen dasar dan fundamen moral, sesungguhnya secara substansial bisa dimuarakan pada “takwa”. Ketika nilai ketakwaan menjadi barometer dalam memandang secara filosofis dan mengimplementasikan secara sosiologis sila kedua sampai dengan sila kelima Pancasila, maka sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Maidah [5]: ayat 35 di atas, akan berakhir pada pencapaian sesuatu yang dimaknai “keberuntungan”.
Tentunya dalam konteks keindonesiaan akan berakhir pada kemajuan, kesejahteraan, kemandirian, dan kedaulatan bangsa dan negara. Jika kita mau jujur mengakui, bahwa sesungguhnya yang merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, apa pun wujudnya (seperti korupsi, dan bahkan intoleransi pun), maka itu adalah bentuk antitesa dari “ketakwaan”.
Bangsa ini akan terus tumbuh dan bertahan, ketika dalam jantung peradabannya masih eksis nilai-nilai moralitas dan/atau ketakwaan. Ini relevan dengan teori “radiasi budaya” Arnold Toynbee. Kemudian ketakwaan tersebut dikembangkan dan dikontekstualisasikan dalam perspektif peradaban modern dalam bingkai kemajuan teknologi-sains, maka bisa dipastikan mampu menjadi kiblat peradaban dunia.
Ketika hari ini dalam bulan Ramadan, kita sedang menatap rentang waktu 324 hari lagi menuju Pemilu 2024, maka bisa dipastikan akan terwujud dengan kualitas dan integritas yang tidak diragukan, ketika kita meletakkannya di atas fondasi Sila pertama, mengedepankan prinsip ketuhanan atau moralitas, dan core value Ramadan yaitu ketakwaan.
Pemilu sebagai implementasi strategis dari sila keeempat Pancasila, yang diupayakan sebagai instrumen terwujudnya sila kelima, tanpa menciderai sila ketiga dengan tetap menjaga sila kedua, akan sesuai harapan jika fundamen dasarnya, yaitu fundamen moral (sila pertama atau prinsip ketuhanan) tetap “dihidupkan” dalam diri dan dinamika kehidupan. Ingat sila Ketuhanan adalah fundamen dasar (fundamen moral) bagi fundamen politik (sila kedua sampai dengan sila kelima), maka jadikanlah bulan Ramadan sebagai momentum untuk mengukuhkannya kembali.
*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023.