KHITTAH.CO— Bagaimana jadinya jika kita sedang asyik menikmati perjalanan di perkotaan yang menyajikan gedung pencakar langit, terlihat indah, tapi secara tidak sengaja, kita mendapatkan pemandangan yang menyajikan sekelompok manusia dengan kondisi lingkungan kumuh dan tidak terawat.
Apakah yang timbul dalam pikiran kita? Apakah kita akan men-judge mereka yang kumuh itu sebagai kelompok yang tidak bisa mengambil peluang di tengah riuhnya persaingan antar individu?
Atau mungkin, kita akan menyalahkan mereka karena memiliki pendidikan rendah dan tidak sadar dengan perkembangan industrialisasi saat ini.
Tentunya, berbagai spekulasi akan berkeliaran dalam benak kita ketika disajikan dua pemandangan yang saling bertindihan itu.
Fenomena yang disaksikan oleh mata manusia modern itu tentunya merupakan salah satu produk pembangunan yang menjanjikan kesejahteraan dan kemajuan kehidupan masyarakat.
Dengan berbagai konsep yang dicita-citakan oleh beberapa pihak, sebagai upaya untuk mencapai kesejahteraan dan kemajuan tersebut, membawa kita berhadapan dengan berbagai kenyataan yang dilematis.
Sejalan dengan cita-cita kesejahteraan tersebut, dalam agama Islam pun, manusia diarahkan untuk memanfaatkan segala sumber daya yang ada di alam semesta untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Namun, dalam pemanfaatan tersebut, tentunya harapan sejahtera bukan hanya untuk manusia semata, tetapi juga alam semesta.
Hal itu sebagaimana dalam pandangan Vandana Shiva yang menganggap manusia menjadikan dirinya sebagai subyek dan alam sebagai obyek.
Hal itu juga membuat terjadi ketimpangan di antara keduanya. Padahal, pada dasarnya, keduanya harus dianggap sebagai subyek yang saling membutuhkan.
Menilik pernyataan Luxemburg, pembangunan merupakan akumulasi kapital dan komersialisasi ekonomi bagi generasi yang menikmati kelimpahan dan keuntungan selanjutnya.
Pembangunan bukan sekadar melahirkan kemakmuran serta keuntungan, tetapi juga sebagai sumber kemiskinan dan pemerasan.
Bendungan, tambang, bangunan-bangunan megah merupakan candi pemujaan agama baru yang yang menyajikan rasionalitas atas pemodernisasian negara, birokrasi, dan teknokrasinya.
Perubahan yang diharapkan dalam altar agama ini tentunya membutuhkan berbagai upaya untuk mewujudkannya. Salah satunya adalah pemanfaatan sumber daya alam.
Ideologi pembangunan cenderung memasukkan sumber daya alam ke dalam pasar ekonomi untuk memenuhi kebutuhan manusia yang diatur menjadi produk komoditas.
Vandana Shiva mengartikannya sebagai proses pengakhiran ikatan ekologis dan budaya dengan alam di dalam masyarakat sehingga tidak lagi tercipta hubungan harmonis antara keduanya.
Hal itu dapat dilihat dari berbagai proyek yang digarap dengan mengusung cita-cita kesejahteraan masyarakat.
Sejak terjadinya revolusi industri dan ilmu pengetahuan, teknologi dan ilmu ekonomi saling menguatkan asumsi-asumsi bahwa batas alamiah harus ditolak untuk mencapai kemakmuran.
Dengan demikian, dampak terbesar yang dirasakan akibat penolakan tersebut adalah hilangnya kesadaran dalam memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia.
Agenda revolusi industri yang kerap kali melahirkan sentralisasi peraturan terkait asas pemanfaatan alam membawa manusia pada kenyataan yang tidak lagi sejalan dengan harapan dan cita-cita dalam konsep pengesaan Tuhan (baca; tauhid).
Sejatinya, kita perlu menyepakati kembali pandangan Harun Nasution bahwa paham tauhid akan membawa manusia menjadi humanitarinisme yang mencintai seluruh aspek ciptaan Tuhan. Kita dengan pahmana tauhid harusnya membuat kita mengakui bahwa terdapat paham semakhluk atau kesatuan sebagai makhluk yang ada di alam ini.
Sumber daya alam yang terus-menerus dipakai untuk mempertahankan hidup semakin tererosi oleh permintaan ekonomi pasar yang didominasi oleh kegiatan global.
Demikian pula anggapan bahwa alam semesta merupakan obyek yang berada dalam kekuasaan manusia (baca; antroposentrisme). Pandangan itu lebih banyak memberikan sumbangsih atas kerusakan alam.
Vandana Shiva memandang bahwa terciptanya ketidakseimbangan yang diakibatkan oleh aktivitas ekonomi yang merusak lingkungan hadir dalam dua cara.
Pertama, ketidakseimbangan privilege dan kekuasaan yang menyebabkan ketidakseimbangan akses pemanfaatan sumber daya alam.
Kedua, peraturan pemerintah memungkinkan proses produksi yang semakin intensif untuk mendapatkan akses terhadap sumber daya alam, yang sebagian orang, terutama dari kelompok ekonomi yang kurang memiliki privilege, banyak bergantung pada sumber daya alam tersebut.
Jaminan atas kesejahteraan dalam keberlangsungan kehidupan manusia yang disajikan oleh orang-orang kapital tentunya sejalan dengan ancaman berbagai bahaya yang menghantui kehidupan manusia.
Keduanya berjalan beriringan, tapi nyaris tak dilirik oleh segelintir pihak yang terlibat dalam pengusungan agenda besar untuk kehidupan manusia ke depannya. Lingkaran setan pembangunan menyebabkan masyarakat terjebak oleh kemisikinan.
Hegemoni kekuasaan oleh kelompok pemilik modal oleh Foucault dinilai sebagai salah satu penyebab masyarakat mengalami penurunan penghasilan.
Bahkan, masyarakat adat yang berada di sekitar tempat penggerusan sumber daya alam tidak diberikan kesempatan untuk mengakses sumber daya yang dimiliki.
Tentunya, kesejahteraan dan kemakmuran yang cita-citakan oleh pembangunan hanyalah sebuah paradoks.
Berbagai proyek pembangunan yang dijalankan hanya akan merampas kekayaan sumber daya dan ikatan batin antara masyarakat dan alam.
Tidak ada lagi rasa saling memiliki atau rasa cinta yang tertanam di antara keduanya. Sehingga dalam usaha untuk mencapai cita-cita masyarakat modern yang sejahtera, memerlukan kontemplasi yang lebih dalam, bukan sekadar menjiplak produk pemikiran yang dinilai sarat akan pemiskinan dengan dalih kemakmuran dan kelompok yang memiliki kepentingan di dalamnya.
Apa yang akan dijalani oleh generasi yang akan datang sejatinya tergantung pada usaha manusia saat ini.
Sejalan dengan hal tersebut, manusia sebagai makhluk rasional tentunya memiliki kemampuan untuk mempertimbangkan serta menyusun segala hal yang akan dilakukan tanpa lupa memperhitungkan kegagalan yang mungkin akan menyertainya.
Tampaknya, perlu pembacaan kembali, apakah kesejahteraan yang dicita-citakan sudah sejalan dengan makna sejahtera yang sebenarnya?
Sejahtera seperti apa yang terusung dalam benak kita? Itu penting ditanyakan karena melihat realitas yang ada saat ini, berbagai upaya yang dilakukan cenderung hanya menyejahterakan manusia.
Namun, kita melupakan alam yang dianggap hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan manusia.
Semua pihak tentunya memiliki tanggung jawab tanpa terkecuali, sehingga perlu adanya kerjasama untuk merevisi berbagai tindakan yang telah dilakukan agar tidak melahirkan kerusakan-kerusakan yang baru.
Ditulis oleh: Nurafni- IMMawati dari Gowa