Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Uncategorized

Milad 106 ‘Aisyiyah, Kepemimpinan Perempuan yang Mencerahkan Harus Entaskan Diskriminasi

×

Milad 106 ‘Aisyiyah, Kepemimpinan Perempuan yang Mencerahkan Harus Entaskan Diskriminasi

Share this article

KHITTAH.CO, MAKASSAR– Peringatan Milad ke-106 ‘Aisyiyah berhasil membuat pinggiran Jalan Jend M Jusuf Makassar menjadi cerah oleh seragam batik hijau berseri ibu-ibu, perempuan Islam berkemajuan.

Baru saja turun dari kendaraan, mereka saling cipika-cipika, lalu beramai-ramai masuk ke dalam Gedung Serbaguna ‘Aisyiyah.

Masih amat pagi, padanan batik dan jilbab kuning khas mereka, ditambah dengan wajah mereka yang berseri-seri, meneguhkan optimisme kemajuan Islam dan negeri.

Terlebih, kali ini milad mengangkat tema “Kepemimpinan Perempuan Mencerahkan Peradaban Bangsa”.

Ketua Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah (PWA) Sulawesi Selatan, Mahmudah dalam pidatonya menjelaskan, tema itu bermaksud untuk meneguhkan dan mendorong kepemimpinan perempuan yang kuat untuk membangun peradaban bangsa secara kolektif.

Ia menekankan, sebagaimana arahan dari PP ‘Aisyiyah, Gerakan Perempuan Islam Berkemajuan itu haru terus mencerahkan dengan membebaskan, memberdayakan, dan memajukan kehidupan.

“Karena secara teologis, gerakan pencerahan merupakan refleksi dari nilai-nilai transendensi, liberasi, emansipasi, dan humanisasi sebagaimana terkandung dalam QS Al-Imran ayat 110,” ungkap dia.

Hal itu ia sampaikan dalam pidato Milad ke 106 ‘Aisyiyah yang ia bacakan, pada Ahad, 18 November 2023. Peringatan Milad ke 106 ‘Aisyiyah oleh PWA Sulsel itu dilaksanakan secara hybrid.

Dosen Universitas Negeri Makassar itu mengajak seluruh elemen di ‘Aisyiyah untuk menjadikan kepemimpinan mereka sebagai amanah yang menggerakkan.

“Karena spirit organisasi ‘Aisyiyah adalah para pemimpin yang amanah dan menggerakkan. Tanpa amanah yang menggerakkan, maka ‘Aisyiyah akan statis, hanya jalan di tempat, tidak berkemajuan,” tegas dia.

Terlebih, di abad kedua ini, ‘Aisyiyah dituntut untuk lebih aktif dalam merespons sejumlah masalah keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan.

Permasalahan itu, misalnya tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak, baik kekerasan fisik maupun kekerasan seksual.

Demikian pula tingginya angka perkawinan anak dan permintaan dispensasi nikah, sementara angka perceraian juga meningkat.

Mahmudah juga sempat terisak ketika dirinya menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada seluruh penggerak ‘Aisyiyah di berbagai aspek kehidupan.

Ia mendoakan para pimpinan, kader, dan warga ‘Aisyiyah diberi kesehatan dan kekuatan dalam menjalankan misi dakwah dan tajdid gerakan Perempuan Islam Berkemajuan ini.

Sementara itu, Komisioner Komnas Perempuan RI, Alimatul Qibtiyah yang hadir membawakan materi dalam peringatan milad itu, mengaku setuju dengan Mahmudah.

Ketua Lembaga Penelitian dan Pengembangan ‘Aisyiyah (LPPA) Periode 2015–2022 itu mendorong gerakan perempuan yang telah berusia dua abad itu untuk terus aktif menjadi solusi atas permasalahan kemanusiaan universal.

Demikian pula terkait persoalan kepemimpinan perempuan, tantangan global, dan upaya penguatan kepemimpinan perempuan dalam politik.

Alimatul Qibtiyah mengungkapkan, saat ini, kasus kekerasan seksual ditemui hampir di seluruh sektor.

Celakanya, sebanyak 9% dari pelaku dan terlapor kasus kekerasan seksual berasal dari kalangan yang seharusnya menjadi teladan atau pelindung.

Ia menyebut pelaku yang dimaksud adalah pejabat publik, TNI, Polri, guru, dosen, bahkan tokoh agama. Hal itu berdasarkan data pelaporan di Komnas Perempuan 2018–2021.

Lebih lanjut, pada sebagian besar kasus kekerasan seksual memang ditemukan adanya relasi kuasa antara pelaku dan korban.

Selanjutnya, terkait persoalan perempuan dalam politik, Alim menyebut tiga persoalan, yaitu kepemimpinan dan representasi perempuan dalam pemilu yang belum mencapai target kuota 30 persen.

Diskriminasi terhadap perempuan sebagai bakal calon legislatif (bacaleg), caleg, maupun pemilih juga masih terus terjadi. Ia menyebut, politisi perempuan itu mendapatkan intimidasi, teror, dan ancaman.

Belum lagi, perundang-undangan dan kultur yang mendeskriminasi perempuan, baik sebagai caleg maupun pemilih.

Karena itu, ia mengajak ‘Aisyiyah untuk terus mendorong optimalisasi kebijakan afirmasi 30% pada seleksi penyelenggara pemilu.

‘Aisyiyah juga harus terus berupaya sehingga penyelenggaraan pemilu menjadi ramah perempuan dan inklusi. Demikian pula terkait kepekaan penyelenggara pemilu terhadap kerentanan perempuan dalam pemilu.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner UIAD

Leave a Reply