KHITTAH.CO, YOGYAKARTA — Budaya patriarki yang masih melekat dan sudah mendarah daging membuat perempuan masih ditempatkan dalam posisi subordinat di masyarakat.
Subordinasi itu berawal dari pembagian kerja berdasarkan gender dan dihubungkan dengan fungsi perempuan sebagai ibu.
Publik juga menjadikan fungsi perempuan itu sebagai alasan untuk membatasi perannya hanya pada peran domestik dan pemeliharaan anak.
Sementara itu, kerja-kerja domestik dianggap bukan sebagai profesi karena tidak menghasilkan nilai ekonomi.
Pengasuhan anak masih secara dominan ditugaskan pada perempuan daripada laki-laki. Perempuan pada akhirnya dianggap sebagai tenaga kerja yang tidak produktif dan tidak menyumbang kepada proses pembangunan.
Ariati Dina Puspitasari, Ketua Umum Pimpinan Pusat Nasyiatul ‘Aisyiyah, menyebutkan bahwa berbagai permasalahan mengenai perempuan di Indonesia ini sangatlah kompleks, sebut saja masalah kekerasan pada perempuan.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat, sebanyak 25.050 perempuan menjadi korban kekerasan di Indonesia sepanjang 2022.
Jumlah tersebut meningkat 15,2% dari tahun sebelumnya sebanyak 21.753 kasus. Kekerasan yang terjadi berupa kekerasan seksual hingga kekerasan mental.
“Selain masalah kekerasan, persoalan kesehatan perempuan juga masih menjadi tantangan besar. Angka Kematian Ibu (AKI) yang merupakah salah satu indikator hasil pembangunan di bidang kesehatan masih cukup tinggi,” kata dia.
“Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) yang dilakukan oleh Badan Pusat Stastistik (BPS) pada tahun 2015 mencatat AKI 2 pada kisaran angka 305 kematian per 100 ribu kelahiran hidup,” ungkap Ariati.
Ariati menyampaikan itu dalam sambutan Refleksi Milad ke-95 Nasyiatul Aisyiyah “Perempuan Tangguh Mencerahkan Indonesia” yang dilaksanakan secara daring pada Sabtu, 15 Juli 2023.
Rentan Gangguan Mental
Ia melanjutkan, untuk kesehatan mental, data yang disajikan Institute for Health Metrics and Evaluation dalam Global Burden of Disease pada 2018, menunjukkan gangguan kesehatan mental pada perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki.
Perempuan di Indonesia rentan mengalami gangguan kesehatan mental akibat dari kebiasaan, peran, posisi, dan tuntutan yang diberikan kepada perempuan yang harus dihadapi setiap hari.
Hal itu berakar dari budaya patriarki, diperperah dengan banyak lagi persoalan yang menjadikan perempuan sebagai objek.
“Problematika tersebut menjadikan Indonesia selalu berada pada ranking 5 besar atas kasus-kasus kekerasan perempuan di dunia. Belum lagi berapa banyak TKW Indonesia yang mengalami kekerasan hingga menyebabkan kematian,” kata dia.
“Hal ini menjadi PR bersama, khususnya bagi pemerintah untuk mengatur regulasi undang-undang agar pro terhadap pembangunan dan pemberdayaan perempuan. Sekalipun telah ada kementerian khusus yang menangani hal tersebut, namun keterjangkauan program acapkali hanya sebatas seremonial,” jelas dosen Universitas Ahmad Dahlan itu.
Menurut Ariati, Nasyiatul ‘Aisyiyah sebagai organisasi perempuan yang konsisten dalam pengembangan dan pemberdayaan perempuan, sudah selama 95 tahun memberikan bakti kepada negeri ini.
Nasyiatul ‘Aisyiyah telah memberikan pendampingan kepada perempuan-perempuan, bahkan sejak sebelum berdirinya Indonesia.
“Nasyiatul ‘Aisyiyah mengajak perempuan-perempuan di Indonesia untuk menjadi perempuan yang tangguh. Mari bersama memaknai perempuan tangguh melalui 10 elemen Keluarga Muda Tangguh Nasyiatul Aisyiyah, ” jelas Ariati.