(Catatan kecil buat tulisan Bung Rahmat Zainal yang berjudul “Th. Sumartana dan Pemikiran Dialogisnya” )
Oleh : Idham Malik
Tulisan saudara Rahmat Zainal yang berjudul Th. Sumartana dan Pemikiran Dialogisnya merupakan tulisan yang perlu dicermati oleh kia semua. Kenapa? pertama karena tulisan seperti ini akan membawa kita pada pemahaman keagamaan yang lebih jauh, melampaui ekslusivitas – entah seperti apa kita memaknai batas-batas itu. Kedua, karena tulisan ini dicatat dengan baik oleh Saudara Rahmat Zainal, seorang mahasiswa yang tak jemu-jemu menggali dan menggali hal-hal yang berhubungan dengan persoalan pikiran serta persoalan yang rill di masyarakat.
Rahmat mencoba untuk menelusuri kegelisahan seorang Th. Sumartana, yang jika kita cermati, memuat unsur-unsur kemanusiaan, yang tidak lagi melihat perbedaan sebagai bencana, tapi sebagai rahmat.
Pembahasan utama terkait pemindahan kepemelukan agama (proselitisme), khususnya gerakan missionaris tahun 60-an. Dimana Th. Sumartana mendorong pemikiran untuk mengerti kebenaran pihak-pihak lain, termasuk Islam, berbarengan dengan hasil Konsili Vatikan II di Roma.
Yang menarik disimaki adalah kenapa harus tahun 60-an pemikiran inklusive ini berkembang? dan bagaimana pandangan para missionaris sebelum tahun 60-an? Hal ini mendorong saya untuk mengaitkan dengan beberapa literatur lain yang mungkin tidak begitu nyambung, yaitu buku Dr. Syamsul Bakri, yang berjudul Gerakan Komunisme Islam Surakarta, 1914 – 1942.
Pertama, kita harus melirik lagi proses proselitisisme yang terjadi sebelum 60-an, yang berhadap-hadapan dengan massa muslim yang juga sedang bangkit-bangkitnya. Khususnya di Jawa Tengah, pada tahun 1911 – 1920-an sedang berkembang sebuah organisasi dagang Islam, yang disebut Sarekat Dagang Islam (SDI) yang didirikan oleh Tirto Adie Soerjo yang kemudian berkembang di tangan H. Samanhoedi, pengusaha batik Surakarta-Solo. Sebelumnya, Samanhoedi mengembangkan Rekso Roemekso, sebuah organisasi Ronda untuk menjaga industri batik dari ancaman pencurian. Rekso Roemekso sering berbenturan dengan organisasi serupa milik pedagang Tiong Hoa, yaitu Kong Sing.
SDI kemudian berubah menjadi Sarekat Islam, ketika dipimpin oleh seorang aktivis gerakan Surabaya bernama Cokroaminoto, tujuannya lebih tegas dan humanis, yaitu menguatkan mentalitas kaum muslim, serta mengangkat derajat mereka. Saat itu, Snouck Hurgronje sudah mencium bau gerakan politik dan ekonomi di dalamnya. Lantaran demikian, gerakan SI ini tak diyana memelihara sentimen anti tionghoa, yang memang merupakan saingan pengusaha pribumi.
SI berkembang pesat dan gemuk, yang ujung-ujungnya pecah menjadi dua, yaitu SI putih yang dimotori oleh Cokro dan Agus Salim, mengedepankan gerakan Pan-Islamisme, di sisi lain berkembang SI Merah yang dikomandoi Semaun, menghembuskan pemikiran sosialisme komunisme (terpengaruh oleh Snevlit dan ISDV). Hal ini menyebabkan perkembangan SI di Surakarta menjadi mandek.
Dalam kondisi seperti itulah berkembang pesat gerakan kristenisasi yang dipimpin oleh zending-zending, yang disokong oleh Pemerintah Hindia Belanda. Hal ini pula yang mendorong seorang aktivis gerakan bernama H. Misbach untuk memberi penyegaran terhadap pemikiran Islam dalam terbitan Medan – Moeslimin, sebagai tandingan terhadap terbitan Kristen yang bernama Mardi Rahardjo. Pada tahun-tahun itu, kristenisasi berkembang melalui banyak cara, termasuk melalui media rumah sakit kristen, dimana orang diberi obat jika mau pelajari ajaran kristen. Hal ini kemudian mendorong bumiputera yang dominan Islam mendirikan rumah sakit Nirmolo untuk menolong orang-orang Islam yang lemah.
Nah, dari penjelasan tersebut, kita mendapat gambaran bagaimana agama dimanfaatkan untuk urusan politik dan ekonomi. Agama Islam identik dengan gerakan nasionalisme, gerakan kaum bumiputera, sedangkan agama kristen dan Tionghoa diidentikkan penyaing ekonomi ummat Islam dan agen kapitalisme.
Lalu, pada siapa saat itu menggantungkan harapan? Pada Muhammdiyah kah? Pada SI-nya Cokroaminoto kah? Dimana Cokroaminoto sendiri pernah memobilisasi ummat Islam dalam bentuk TKNM (Tentara Kandjeng Nabi Muhammad) untuk demonstrasi mengadili seorang Martodharsono, pimpinan Djawi Hisworo, penerbit yang dekat pada pemahaman Kejawen dan Theosofi. Martodharsono dianggap melecehkan nabi lewat terbitan Djawi Hisworo, yang menyebut Nabi Muhammad sebagai pemabuk dan pemadat. Cokro menurut sebuah artikel memanfaatkan pernyataan Martodarsono untuk mengembalikan wibawanya sebagai pemimpin SI, yang saat itu mulai berkurang pengaruhnya. Yang ujung-ujungnya, Marthodarsono, tidak dipecat dari koran, dan tidak diadili di pengadilan.
**
Lalu, tahun 60-an, terjadi peristiwa geger 65, yang begitu dahsyat. Biasanya, peristiwa dahsyat menimbulkan perombakan pemikiran yang dahsyat pula. Misalnya, kondisi keberagamaan masyarakat Belanda sebelum perang dunia dan setelah perang dunia, yang tergambarkan dengan jelas dalam buku Abad Bapak Saya – Geert Mak. Sebelum perang, orang belanda, apalagi di pedesaan masih berpandangan konservatif dan ekslusif, tatakrama betul terjaga, dimana gadis-gadis tidak boleh memperlihatkan betisnya sekalipun.
Tapi, setelah perang dunia, suasana berubah, orang mulai menikmati joget, pria dan wanita dengan mudah berpacaran dan menikmati tubuh masing-masing tanpa diikat status nikah.
Selain itu, pasca geger 65, pemerintah Indonesia mulai mewaspadai gerakan-gerakan yang mengancam disintegrasi bangsa, yang salah satunya adalah Islam Politik, yang saat itu mulai bangkit kembali melalui PPP setelah tidur lama yaitu Masyumi akibat tekanan Pemerintah Orla. Pemerintah kemudian memberi tempat kepada para tokoh-tokoh yang membawa corak berfikir inklusive, salah satunya Nur Cholis Madjid (diperoleh dari Biografi Gusdur – Greg Barton).
Lalu, apakah Th. Sumartono juga memperoleh gelombang inklusivitas yang dengan sengaja dihembus-hembuskan oleh pemerintah juga? Tujuannya, tidak lain agar rakyat Indonesia, yang saat itu sedang semangat-semangatnya membangun, dimana dalam membangun sesuatu, orang-orang harus bekerjasama, walau berbeda golongan, berbeda agama dan keyakinan. Yang diperjuangkan bukan lagi agamanya, tapi nasib-nya orang per orang dalam skema pembangunan semesta.
Menjawab ini, saya angkat tangan. Saya hanya mengcocologikan sesuai dengan pemahaman saya yang masih dangkal, untuk Islam saja saya merasa seperti burung yang kehausan di pinggir sungai, apalagi tentang Kristen, sangat-sangat dangkal.
Lalu, apakah kita menafikan inklusivitas? Tidak begitu juga, Indonesia dengan segala keberagaman dan diversitasnya, memang mengharuskan orang-orang di dalamnya untuk berfikir inklusif atau dalam bahasa sosiolginya, sudah menjadi takdir Indonesia (Tyssu Sosial – Durkheim). Jika tidak, kita harus disibukan dengan perbedaan-perbedaan, yang bukankah perbedaan itu adalah rahmat? hehehe.