Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
BeritaMuhammadiyah

Ketua PP Muhammadiyah Saad Ibrahim Beberkan 4 Etos Kerja Warga Muhammadiyah di Makassar Islamic Fair

×

Ketua PP Muhammadiyah Saad Ibrahim Beberkan 4 Etos Kerja Warga Muhammadiyah di Makassar Islamic Fair

Share this article
Dr. K.H. Saad Ibrahim, MA. saat membawakan pengajian di acara Tabligh Akbar rangkaian acara Makassar Islamic Fair (MIF). (Foto: HZ)

KHITTAH.CO, MAKASSAR – Ketua PP Muhammadiyah, Saad Ibrahim memaparkan empat etos kerja ala warga Persyarikatan. Saad menyampaikan itu saat menjadi narasumber Tabligh Akbar pada acara Makassar Islamic Fair (MIF) 2024 di Gedung Wisma Negara area CPI, Selasa, 20 Agustus 2024.

Awalnya, Saad menyitir salah satu ayat Al-Qur’an yang membahas tentang manusia diberi mandat oleh Allah untuk mengelola semua sumber daya yang ada di bumi.

“Seluruh yang ada diantara langit dan bumi semuanya milik Allah. Lalu bumi diberikan oleh Allah kepada manusia, maka apapun yang kita miliki di bumi itu milik kita atas dasar dipinjami Allah,” ujar dia.

Meski begitu, Saad menekankan perlunya manusia, khususnya umat Islam agar memiliki pemikiran yang tepat tentang barang atau harta kepemilikan.

“Surat Al-baqarah ayat 29 “Dialah Allah yang menciptakan segala yang di bumi ini, maka tekanannya pada laakum, bukan maa fil ardi jamia. Kita harus menyadari, bahwa apapun yang kita punyai, itu milik Allah. Apakah kita merasa gagah-gagah dengan mobil, padahal itu pinjaman. Ketika kita menyadari hal itu, maka berbangga-bangga dengan harta kepunyaan bukan bagian dari kita,” papar dia.

Ia lalu mengajak para peserta Tabligh Akbar untuk membayangkan bumi sebagai hunian manusia hanya dimiliki oleh satu orang. Alih-alih disebut kaya, Saad lalu melanjutkan perumpamaannya itu dengan menyebut bumi dan seisinya hanya bagian kecil yang tak pantas dibanggakan.

“Mari kita bandingkan, andai kata, seluruh bumi dan isinya menjadi milik salah seorang diantara kita. Gedung ini milikinya, Makassar miliknya, Indonesia miliknya, Benua Amerika miliknya, Benua Asia miliknya, Buruh Khalifah juga miliknya, Dubai miliknya dan semua miliknya, sekali lagi semua itu sangatlah kecil dibandingkan shalat dua rakaat sebelum subuh. Jadi bumi ini satu nokta saja, nokta kecil,” jelas dia.

“Maka gambaran hadits itu tentang dua rakaat sebelum subuh lebih baik dari dunia dan isinya. Kita mencoba untuk membangun mindset mengenai kehidupan kita di dunia,” imbuh Saad.

Dia juga menyinggung pola pikir banyak orang yang memandang manusia yang bergelimangan harta sebagai pertanda kebaikan dan kemiskinan sebagai tanda yang buruk. Ia lalu mengutip salah satu potongan ayat Al-Qur’an di Surat Al-Fajr yang membantah pola pikir tersebut.

“Kadang orang berpikir bahwa kekayaan itu tanda kebaikan, kemiskinan atau kefakiran tanda kehinaan. Di Surat Al-Fajr “apapun kondisi manusia, apakah punya kekayaan atau tidak, bukan tanda kebaikan atau kehinaan,” ucapnya.

Setelah itu, ia mengajak warga persyarikatan yang hadir di acara itu untuk merefleksi cara pandang dalam meningkatkan pendapatan ekonomi. Saat itulah, ia membeberkan empat hal yang seharusnya menjadi dasar orang Islam, khususnya warga Muhammadiyah dalam hal bekerja dan mendapatkan keuntungan sesuai dengan aturan Allah.

“Maka tanda kebaikan dalam kaitan dengan harta, bukan soal kita punya atau tidak, tetapi apakah kita berikhtiar dan punya etos kerja atau tidak. Kalau sudah bekerja keras, ikhtiar secara optimal. Ini adalah tanda yang pertama bahwa kebaikan kita berhubungan dengan kekayaan. Kedua, cara kita mendapatkannya, kalau baik sesuai dengan yang digariskan Allah dan rasulnya, maka itu tanda yang kedua. Ketiga, apakah ketika kita sudah dapatkan, digunakan untuk apa, kalau untuk kebaikan, baik, kalau maksiat, jelek. Terakhir, apakah ia bersyukur atau tidak, itu kriteria keempat. Kalau tidak berhasil, apakah putus asa, atau tetap bekerja keras,” papar Saad.

Ia lalu berkesimpulan bahwa kepemilikan barang atau kekayaan berlebih bukanlah pertanda Allah memberi ridha-nya. Menurut Saad, penilaian Allah terletak pada proses seseorang saat mengusahakan terkumpulnya benda atau kekayaan.

“Karena itu bagi Muhammadiyah, kepemilikan dan kekayaan bukan tanda baik atau buruk, tapi kalau ikhtiar mulai Ranting, Cabang, PD, PW hingga pusat, kalau bekerja keras, itu adalah tanda kebaikan,” ujar dia.

“Sebenarnya kita punya kesadaran teologis bahwa Allah itu maha pengasih dan penyayang, ketika kesadaran ini memicu kita berusaha, baik diberikan atau tidak, itu pasti yang terbaik bagi kita. Bahkan, ada kalanya kita bekerja keras, caranya sudah benar tapi belum dapat, jangan disimpulkan tidak dapat, itu pasti dapat, cuman belum sekarang, bisa juga di belakang,” tambahnya.

Dalam hal perdagangan, atau ekonomi syariah, Saad meyakini setiap orang yang berprofesi sebagai pedagang akan mengalami untuk rugi di tiap-tiap waktu. Karena itu, ia menyebut perdagangan yang mendapatkan ridha dari Allah tidak akan pernah berujung pada kerugian.

Ia lalu bercerita tentang kisa Ali bin Abi Thalib yang suatu waktu hanya memiliki 10 dirham (perak). Ali lalu berangkat ke pasar membeli bahan makanan untuk dihidangkan bersama Fatimah di rumahnya.

Namun, ketika Ali pulang dari pasar dengan menenteng belanjaan, ia menemui seseorang dengan wajah lesu dan tampak seperti belum makan. Tak berpikir panjang, Ali langsung memberikan sejumlah makanan yang baru saja ia beli di pasar.

Setelah tiba di rumah, Fatimah lalu memandangi Ali karena pulang tak membawa apa-apa. Ali lalu bercerita tentang belanjaannya yang telah disedekahkan kepada seseorang saat perjalanan pulang. Fatimah yang merasa heran masih tetap memandangi Ali tanpa berkata-kata. Karena itu Ali menghibur Fatimah agar berpuasa hingga sore hari.

Sore hari, Ali keluar dari rumah, dari kejauhan, Ali melihat seseorang yang menunggangi kuda. Setelah tiba di hadapan Ali, orang itu lalu memberikan kuda untuk dijual dengan harga 500 dirham. Perjanjiannya, Ali hanya mendapatkan 100 dirham.

Ali lalu bergegas membawa kuda itu kepada pembeli. Setelah beres, ia kembali mencari seseorang yang membawakan kuda sebelumnya. Karena tak kunjung ketemu, Ali langsung bergegas menemui Nabi Muhammad SAW untuk menanyakan kasusnya itu. Singkat cerita Nabi Muhammad menghibur Ali dengan menyebut 500 dirham hasil penjualan kuda sebelumnya adalah milik dia sepenuhnya.

Ali masih tak mengerti dengan hal yang dialaminya itu. Kemudian Nabi Muhammad menyebut amalan yang diperbuat Ali di pagi hari, yang memberikan makanan kepada seseorang yang tampak lesu dan lapar telah membuat Allah tersenyum. Karena itu, perbuatannya dibalas berkali-kali lipat.

Saad mengisahkan itu dengan menyebut perbuatan Ali sebagai bentuk perniagaan kepada Allah yang tidak akan memberikan kerugian, namun justru akan mendatangkan keuntungan.

“Hukum berdagang dalam konteks dunia, ada kalanya untung dan ada rugi. Dalam satu tahun, pasti ada yang untung dan ada yang rugi, kita untung-untung, pasti ada saja satu bulan yang rugi. Apakah saat jatuh kita bangun, atau putus asa. Tapi ada satu perdagangan yang diperkenalkan oleh Allah seperti tercantum misalnya di dalam surat Fatir. Ada yang disebut dengan Tijaratan Lan Tabur, untuk mengasikan sama sekali yakni berdagang dengan Allah itu sama sekali tidak akan pernah merugi,” tutur Saad.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply