Oleh: Agusliadi Massere*
KHITTAH.CO, – Sebagai generasi, pelajar memiliki posisi yang sangat strategis. Bahkan, David Efendi (2014: 195)—meskipun penegasannya dalam konteks gerakan—ditegaskan “Kaum pelajar menduduki aktor sejarah paling utama dibanding dengan kelompok lain, seperti buruh, tani, nelayan, dan kaum aristokrasi tradisional”.
Hanya saja, berdasarkan realitas kehidupan yang saya amati, telah bergeser jauh dari yang terungkap di atas. Sangat sedikit yang menyadari betapa sangat strategisnya posisi pelajar. Apatah lagi sebagai generasi emas. Atas bentuk-bentuk pemahaman dan kesadaran ini, saya memandang untuk segera ada upaya, terutama membangun kesadaran pelajar itu sendiri.
Kesadaran bukan hanya dalam makna memahami dan memperhatikan keadaan diri dan lingkungan, Kesadaran pun di dalamnya mencakup adanya tindakan, kepedulian, pilhan sikap dan perilaku terhadap sesuatu yang positif, kemudian berkomitmen dan konsisten terhadapnya. Jadi melampaui dari sekadar pemahaman dan perhatian.
Meskipun saya belum memiliki data statistik, saya mengamati dalam realitas kehidupan masih banyak pelajar yang menjadi generasi strawberry. Generasi yang secarang casing, penampilan fisik mantap, begitu pun aksesoris dan fasilitas yang melekat pada dirinya, bisa mendapatkan banyak apresiasi dan kekaguman. Namun, secara mental-psikologis dan intelektualitas dirinya sangat rapuh, lembek, sering cemas, dan sering dirundung kegalauan.
Saya yakin khususnya untuk masa depan bangsa dan negara Indonesia, kita menginginkan lahirnya generasi emas, bukan sebaliknya generasi strawberry. Generasi emas dalam makna sederhana adalah generasi yang sikap dan perilakunya senantiasa positif, produktif, konstruktif, kontributif, fungsional, dan berorientasi masa depan yang lebih baik. Sikap dan perilaku ini pun bukan untuk dirinya semata. Namun, termasuk pula kehidupan kolektif secara luas, tanpa kecuali lingkungannya.
Pelajar yang memiliki kesadaran atau dalam dirinya telah terbangun kesadaran sebagai generasi emas akan memiliki pemahaman dan kesadaran tentang eksistensi dirinya. Secara eksistensial pelajar akan mampu merawat dan mengoptimalkan tiga hal yang ada pada dirinya: akal-pikiran, qalbu-rasa, dan jasad.
Dalam konsepsi relevansi antara eksistensi manusia dan Islam, ada hal yang dalam pandangan saya bisa menjadi modal utama untuk menjadi generasi emas, jika hal ini dipahami dengan baik dan disadari. Akal-pikiran dengan menggunakan logika, kita akan mampu memahami benar-salah. Untuk menjadi generasi emas, kita akan memilih untuk tetap pada yang benar atau jalan kebenaran. Ini relevan dengan salah satu pilar Islam, yaitu Islam itu sendiri.
Kalbu-rasa dengan pendekatan ilmu etika, kita akan mampu membedakan baik-buruk. Sebagai generasi emas, kita akan memilih yang baik dan terus berjalan pada rel kebaikan. Hal ini relevan pula dengan pilar Islam yang lain, yaitu iman. Jasad dengan pendekatan estetika, sejatinya mampu membedakan indah-jelek, dan kita akan berkomitmen dan konsisten pada keindahan. Ini relevan dengan pilar ketiga Islam yaitu amal.
Seorang pelajar yang menyadari posisinya sebagai generasi emas akan senantiasa berjalan di atas rel kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Hal ini merupakan dimensi fungsional positif atas eksistensi dirinya yang terdiri dari akal, qalbu, dan jasad. Apatah lagi ini sesuai dengan tiga pilar Islam: Islam, iman, dan amal.
Pelajar pun hakikat dirinya adalah belajar, belajar, dan belajar. Ini sebagai cerminan dari perintah pertama dan utama dalam konsepsi ajaran Islam, iqra. Belajar terutama bertujuan untuk merawat akal-pikran agar dalam beramal senantiasa mampu membedakan benar-salah dan selanjutnya berkomitmen pada jalan kebenaran. Mengasah kalbu-rasa selain melalui jalan keimanan dan ibadah, pembiasaan untuk senantiasa berbuat hal-hal sesuai ajaran agama, bisa terawat dengan baik. Cara merawat jasad yang paling mudah dilakukan.
Pelajar yang hakikat dirinya adalah belajar sekaligus sebagai upaya menjaga akal-pikirannya, harus pula menyadari bahwa ketersediaan dan kecanggihan teknologi terutama kecerdasan buatan atau aritificial intelligence (AI) memang memberikan kemudahan, dan menjanjikan efektivitas dan efesiensi. Namun, ada yang harus dibayar mahal.
Pelajar yang mengalami ketergantungan penuh kepada AI berpotensi besar mengalami kelumpuhan akal-pikiran. Menggunakan AI sama saja jarang lagi menggunakan akal-pikirannya karena AI telah menyiapkan secara mudah dan cepat. Sehingga proses belajar matang tidak lagi terjadi dalam diri pelajar.
Seorang pelajar yang menyadari posisi dirinya sebagai generasi emas, mampu memahami dan menyadari porsi penggunaan teknologi dan AI secara tepat. Jadi, saya pun tidak menyimpulkan bahwa pelajar sama sekali tidak boleh menggunakan teknologi dan AI. Tetap boleh tetapi dengan porsi yang tepat, dan masih senantiasa mengasah akalnya melalui belajar, sering berpikir, menganalisis, mengamati, dan lain-lain.
Bahkan, jika kita memahami pandangan-pandangan Dr. Joe Dispenza yang mengelaborasi dan mengeksplorasi secara baik teori fisika quantum, proses terbentuknya realitas, dan potensi dahsyat yang telah built-in dalam diri manusia, kita akan menyadari betapa pentingnya untuk merawat (terutama) akal-pikiran-otak dan kalbu-rasa-jantung. Akal-pikiran adalah software dan otak adalah hardware. Kalbu-rasa sebagai software dan jantung sebagai hardware.
Dispenza yang kajiannya sampai memahami dengan baik tentang prinsip dasar teori fisika quantum, meyakini bahwa realitas bisa dipengaruhi oleh keadaan psikologis seseorang. Hal dimaksud adalah gelombang elektromagnetik yang terpancar dari dalam diri manusia. Ini yang bisa memengaruhi dan bahkan membentuk realitas tertentu. Sedangkan gelombang elektromagnetik yang dahsyat itu terbentuk dari keselarasan antara sinyal listrik (elektrik) yang berasal dari pikiran, dan daya magnetis yang bersumber dari perasaan atau kalbu.
Pelajar yang dalam dirinya telah terbangun kesadaran terutama sebagai generasi emas akan senantiasa memahami dan mengoptimalkan potensi-potensi luar biasa yang ada dalam dirinya yang sangat fungsional. Ada alam bawah sadar, ada jenis-jenis gelombang otak dahsyat, seperti alpha dan theta.
Seorang pelajar yang memiliki kesadaran tidak hanya fokus pada dimensi internal dirinya untuk dioptimalkan dan difungsionalkan. Hal eksternal pun, di luar dirinya dioptimalkan dan difungsionalkan, meskipun tetap mekanismenya akan diinternalisasi, diserap dan dilekatkan ke dalam diri untuk selanjutnya diimplementasikan atau diaplikasi dalam kehidupan sehari-hari.
Atas pemahaman dan kesadaran ini, Pelajar yang akan menjadi generasi emas akan memperhatikan pula seperti apa yang menjadi pandangan hidup, dasar, dan falsafah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu dalam forum Latihan Dasar Kepemimpinan (LDK) SMK Negeri 4 Bantaeng, ketika saya diamanahi mengulas tema sesuai dengan judul tulisan ini, saya pun menegaskan tentang Profil Pelajar Pancasila.
Profil Pelajar Pancasila idealnya diinternalisasi, diserap ke dalam diri seorang pelajar, terus diresapi, dibiasakan pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari sejak dini agar Pancasila bisa melekat sebagai karakter pelajar. Profil pelajar Pancasila sangat penting, mengingat karakter elit negara hari ini kebanyakan tidak menceriminkan nilai-nilai Pancasila. Korupsi, penyalahgunaan wewenang, manipulasi hukum adalah di antara perbuatan yang sesungguhnya mengkhianati nilai-nilai Pancasila.
Pelajar yang dipersiapkan sebagai generasi emas untuk menerima tongkat estafet kepemimpinan dan pemerintahan pada masa yang akan datang, sangat penting dan strategis untuk sejak dini nilai-nilai Pancasila itu ditanamkan dalam dirinya. Upaya dini yang dilakukan ini agar Pancasila menjadi profil atau menjadi karakter utama dalam dirinya.
Ada enam elemen atau karakteristik dari Profil Pelajar Pancasila: 1). Beriman, bertatakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak muliah. 2). Mandiri. 3). Bergotong-royong. 4). Berkebhinekaan global. 5). Bernalar kritis, dan 6). Kreatif.
Enam elemen Profil Pelajar Pancasila ini pun relevan dengan 4 skill yang dibutuhkan abad 21 yang meliputi berpikir kritis, komunikasi, kolaborasi, dan kreativitas. Enam elemen Profil Pelajar Pancasila pun akan lebih dahsyat untuk menopang skill yang dibutuhkan abad 21 karena di dalamnya moralitas, nilai-nilai ketuhanan, kesadaran atas keragaman dalan kehidupan pun dipertegas dan diutamakan.
Ada banyak hal yang memiliki relevansi dalam upaya membangun kesadaran pelajar sebagai generasi emas. Seperti bagaimana memahamai proses algoritmik di era digital. Jadi akses dan segala dinamika pelajar melalui dunia virtual dan media sosial harus pula menjadi perhatian agar porsi dan versi yang dipilih tepat untuk merawat potensi dirinya selaku generasi emas. Apatah lagi proses algoritmik yang dimaksud bukan hanya terjadi dalam ranah teknologi termasuk pula terjadi dalam diri manusia.
Artinya informasi, ilmu, dan apa saja yang diakses oleh pelajar itu akan memengaruhi big-data yang ada dalam dirinya. Dan selanjutnya data-data yang ada dalam diri seorang pelajar bisa dipastikan memengaruhi proses algoritmik dalam pengambilan keputusan termasuk sikap, perilaku yang dilakukan sangat bisa dipengaruhi.
Sumber ilustrasi: sman6bone.sch.id
*Pemilik Pustaka “Cahaya Inspirasi” dan Wakil Ketua MPI PD. Muhammadiyah Bantaeng