Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Bulan Ramadan: Retreat Spiritual-Religiusitas

×

Bulan Ramadan: Retreat Spiritual-Religiusitas

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*

KHITTAH.CO, – Sejatinya, agama bukan hanya sebagai pseudo-religious, sebagai tempat pelarian pada saat sedang terjebak masalah besar atas kesalahan dan/atau dosa-dosa yang dilakuan ketika tidak mengindahkan ajaran agama dan norma lainnya. Seperti yang dilakukan oleh segelintir orang, melakukan ibadah umroh ketika dirinya sedang tercium akan terseret kasus korupsi. Atau rajin bersedekah ketika sudah mulai terseret kasus korupsi. Ini beberapa contoh saja, sahabat pembaca pasti bisa mengutarakan lebih banyak lagi yang lainnya.

Agama pun bukanlah religion-tainment. Alat atau instrumen semata untuk memuluskan pencapaian tujuan atau target duniawi. Seperti ketika segelintir politikus pada masa kampanye, dirinya sangat piawai menggunakan jargon-jargon agama atau bahkan style yang ditampilkan sangat tampak islami. Padahal sebelum dan sesudahnya, sikap dan perilakunya sama sekali jauh dari ajaran dan nilai-nilai agama.

Agama sebagai retreat (retret) spiritual-religiusitas, sejatinya mendapatkan perhatian serius bagi umat apa lagi yang mendapatkan jabatan mulia dari negara. Sebelum mengulas tema ini lebih jauh, saya ingin terlebih dahulu menyampaikan dan menegaskan, bahwa untuk saat ini, pasti sebagian besar sahabat pembaca tidak asing dengan istilah retreat (retret). Terutama, retreat yang baru-baru diikuti oleh ratusan kepala daerah (Bupati dan Wakil Bupati) se-Indonesia yang baru dilantik. Kegiatan retreat bagi kepala daerah ini dipusatkan di Akademi Militer, Magelang, Jawa Tengah.

Dalam konteks retreat (retret) bagi kepala daerah ini, itu bisa disejajarkan istilahnya dengan yang lebih lazim kita pahami sebelumnya, “orientasi tugas” atau sejenis “upgrading pimpinan” bagi organisasi kepemudaan. Dari sejumlah literatur yang berserakan dan bisa kita temukan dan membacanya, semuanya menegaskan bahwa retreat berasal dari bahasa Latin “retrahere” yang artinya mundur atau menarik diri.

Kata mundur atau menarik diri di sini, khususnya penggunaan istilah retreat dalam dunia militer bukan berarti kalah. Melainkan menarik pasukan untuk kemudian merumuskan strategi baru untuk mencapai kemenangan.. Istilah ini bukan hanya digunakan dalam dunia militer, termasuk dalam dunia bisnis dan agama pun kerap kali digunakan.

Retreat (retret) pun bisa dimaknai beristirahat, bermeditasi untuk memulihkan diri dan memperbarui energi. Dalam konteks pertemuan organisasi, retreat pun bisa dimaknai sebagai pertemuan untuk membahas strategi, membangun tim, dan/atau memperbarui visi-misi.

Jika belajar dari sejarah kenabian, Rasulullah Muhammad Saw sebelum memasuki masa kenabiannya atau diangkat sebagai utusan Allah, Rasul, sering melakukan hal yang bisa disejajarkan dengan istilah retreat ini. Rasulullah sering menyepi atau menyendiri di gua Hira untuk menghindari hirup pikuk kehidupan kota Makkah pada saat itu, sambil mengharapkan kehadiran petunjuk yang bisa menjadi solusi atas kehidupan sekitarnya yang jauh dari nilai-nilai “mulia”. Penduduk kota Makkah pada saat itu banyak yang terjebak pada, menurut pandangan Eko Prasetyo, “Watak pragmatis”.

Apa yang terjadi di masa jahiliyah, seperti yang pernah dirasakan oleh Rasulullah, hingga hari ini meskipun dengan casing atau kemasan dan formulasi yang lain, masih dirasakan oleh orang-orang di balik kemajuan dan kemodernan kehidupan. Watak pragmatis sampai pada tingkat lahirnya mesin hasrat justru semakin “menggila” di tengah kehidupan kontemporer hari ini.

Hari ini pun, di tengah dunia yang berlari kencang bahkan dunia berada dalam kondisi seperti yang ditegaskan oleh Yasraf Amir Piliang “Dunia yang dilipat” batas-batas kehidupan semakin kabur. Seperti sulit lagi membedakan antara orang riya dan ikhlas. Begitu pun sulit membedakan antara negarawan dan pecundang. Tentu ini dalam perspektif kehidupan manusiawi dan duniawi. Jika dikembalikan kepada Allah, sudah pasti Allah Maha Mengetahui.

Selain batas-batas kehidupan semakin kabur, di tengah kehidupan ini pun, kita bisa menjumpai tubuh yang mengalami kekacauan organisme. Seperti organ kepala telah berubah menjadi dengkul, sehingga kini orang lebih banyak bertindak ketimbang berpikir. Organ mata telah menjelma menjadi otak, sehingga kini orang lebih banyak menonton ketimbang merenung. Ada banyak contoh lainnya dari Yasraf yang menggambarkan tubuh yang telah mengalami kekacauan organisme yang menjadi penanda kekacauan dalam kehidupan.

Selain kondisi di atas, kita pun bisa memahami dan menyadari dari ajaran agama Islam dan beberapa ayat dalam al-Qur’an yang bisa dimaknai bahwa sesungguhnya iman itu pun bisa bertambah dan berkurang. Begitu pun kondisi hati bisa mengalami bolak-balik. Dalam makna yang tepat ada hati yang terbelenggu ada pula hati yang tidak terbelenggu.

Dalam kondisi kehidupan yang seperti digambarkan di atas, begitu pun kondisi mental-spiritual yang kita miliki, belum lagi godaan-godaan duniawi yang semakin ganas menggerogoti dimensi religiusitas manusia. Maka, penting untuk kita “mundur” dan “menarik diri” sebagaimana konteks istilah retreat dalam dunia militer. Hal ini bukan berarti kita menyerah dan kalah, tetapi bagaimana kita menyusun langkah strategis menghadapi godaan-godaan yang luar biasa.

Kita pun membutuhkan untuk memulihkan diri, dimensi sejati dan/atau fitrah kemanusiaan kita harus di-upgrade dan tidak keliru pun jika kita membahasakan bahwa itu pun harus di-update, agar eksistensi sejati kita selaku manusia mampu menghadapi godaan kehidupan yang semakin multi wajah dengan siasat penyesatan yang multi-pendekatan pula. Jika menelusuri banyak referensi dan pengalaman sejarah kemanusiaan bahkan kenabian, kita akan menemukan, memahami dan menyadari bahwa agama dan berbagai dimensi agama, itu bisa menjadi ruang retreat terbaik.

Berdasarkan pemahaman mendalam saya, dari skema dan kerangka ESQ Ary Ginanjar Agustian yang mengskemakan dengan baik bagaimana relevansi antara hati, rukun iman, dan rukun Islam, saya menyadari betul bahwa memang agama itu bisa menjadi ruang retreat (retret) terbaik. Saya dan kita menyebutnya saja dengan “Retreat spiritual-religiusitas”.

Dalam kerangka ESQ Ary Ginanjar tersebut, kita bisa memahami bahwa hati harus dibersihkan dari belenggu, setelah dibersihkan maka hati harus dilindungi dengan rukun iman agar hati tidak kembali terbelenggu minimal oleh tujuh belenggu hati (pada tulisan-tulisan saya yang lainnya, saya pernah membahas terkait tujuh belenggu hati). Hanya saja, rukun iman yang berfungsi bagaikan baja untuk melindungi hati, itu pun berpotensi berkarat—iman memang berpotensi naik turun. Agar tidak berkarat maka iman pun harus selalu diasah dengan rukun Islam.

Rukun Islam mulai dari yang pertama sampai yang kelima, sebenarnya memang bisa menjadi retreat terbaik bagi umat Islam untuk terus mengasah imannya agar semakin kokoh melindungi hati yang memiliki suara fitrah, suara kebenaran dan kebaikan. Selain ibadah haji, maka bulan Ramadan bisa menjadi retreat spiritual-religiusitas terbaik.

Bulan Ramadan bisa menjadi retreat spiritual-religiusitas terbaik karena pada bulan tersebut kita sedang berada dalam medan energi, samudera frekuensi yang harmoni dan sinergi pada penghambaan dan orientasi yang kuat dan terfokus secara kolektif atas segala aktivitas kita kepada Allah.

Mulai pada malam hari jutaan bahkan miliaran frekuensi dari gelombang otak umat Islam, seluruh dunia terfokus pada ibadah, salat Isya berjamaah, mendengarkan ceramah, dan shalat tarawih. Tentunya frekuensi dan gelombang otak ini menciptakan medan gelombang yang dahsyat yang kembali memancarkan dan memengaruhi energi spiritual dan religiusitas umat Islam. Tingkat keikhlasan ibadah, saya berani mengatakan, bahwa pada saat itu jauh letih tinggi ketimbang di luar bulan Ramadan.

Shalat tengah malam pun akan semakin banyak dilakukan oleh umat Islam dan tingkat orientasi dan fokus kepada Allah yang semakin kuat. Sebelum subuh, miliaran umat Islam di seluruh dunia terbangun untuk sahur dan semua ini diniatkan semata-mata sebagai ibadah dan mengharapkan rida Allah. Ibadah-ibadah yang dilakukan oleh umat Islam ini, tidak hanya memancar dan mengetuk pintu langit untuk mendapatkan hidayah dari Allah. Ibadah-ibadah ini pun akan menghasilkan gelombang otak umat Islam yang memancarkan frekuensi yang sama untuk kemudian menghasilkan medan frekuensi yang dahsyat dan akhirnya kembali meng-upgrade dan bahkan akan ada yang mengalami updating spiritual dan religiusitas.

Amalan-amalan Ramadan di siang hari pun tidak kalah masifnya, seperti sedekah dan berbagai bentuk kebaikan lainnya yang ikut membahagiakan umat Islam lainnya yang selama ini mungkin kurang merasakan nikmatnya hidup. Bahkan, umat agama lain pun merasakan energi positif dahsyat dari aktivitas umat Islam pada bulan Ramadan.

Termasuk spirit atau energi Ramadan lainnya terus menyelimuti pikiran, hati, dan jiwa umat Islam, seperti nilai pahala yang berlipat ganda, bahkan tidur pun menghasilkan pahala. Janji energi dan kenikmatan malam lailatur qadar yang menjadi impian utama umat Islam, ini pun menjadi pemantik dan memiliki daya magnetis yang sangat kuat agar ibadah-ibadah yang dilakukan semakin ditingkatkan agar bisa merasakan nikmatnya malam tersebut.

Ketika kita mengikuti hukum energi fusi, jika energi-energi tersebut di atas bertemu dan saling bersahut-sahutan maka dipastikan akan menghasilkan energi yang sangat dahsyat dalam diri, pikiran, jiwa dan hati umat Islam. Belum lagi jika mengikuti hukum heliotropic, lalu umat Islam memfokuskan fisik-biologis, mental, psikis, dan spiritualnya ke semua energi tersebut terutama terhadap janji pencapaian prestasi yang dijanjikan Allah, “takwa” maka bisa dipastikan betapa semangatnya akan semakin menyala.

Ada banyak hal yang bisa diungkapkan tentang kedahsyatan dan kehebatan bulan Ramadan sebagai ruang retreat spiritual-religiusitas terbaik. Bahkan bulan Ramadan ini, jika para kepala daerah memanfaatkan secara maksimal untuk meng-upgrade dan meng-update spiritual dan religiusitasnya, bukan hanya akan melengkapi materi-materi retreat yang diperolehnya di Akademi Militer Magelang tersebut, justru akan memberikan nilai yang kokoh agar dirinya selain mampu menjabarkan semua materi tersebut dalam konteks pemerintahan dan tanggung jawabanya, juga akan membentengi dirinya agar tidak tergelincir dalam penyalahgunaan, penyelewengan, dan pengkhiatan terhadap sumpah/janji jabatan yang telah diucapkannya atas nama Allah.

Sumber gambar: Bernaz Ermanda (PAUD IT Al Hasanah Bengkulu)

*Pemilik Pustaka “Cahaya Inspirasi”, Wakil Ketua MPI PD. Muhammadiyah Bantaeng, dan Pegiat Literasi Digital & Kebangsaan

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply