Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Berita

Tafsir Al-Qur’an dan Hadis Tentang Islam Wasathiyah

×

Tafsir Al-Qur’an dan Hadis Tentang Islam Wasathiyah

Share this article
Islam Wasathiyah
Wakil Ketua PWM Sulsel, Abbas Baco Miro memaparkan materi pada Pengajian Ramadan PWM Sulsel. (Sumber foto: AHZ)

KHITTAH.CO, MAKASSAR – Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Sulawesi Selatan (Sulsel) Abbas Baco Miro memaparkan Wasathiyah Islam berdasarkan tafsir Al-Qur’an. Menurut dia, salah satu ayat Al-Qur’an yang secara gamblang menyebut Wasathiyah adalah surat Al-Baqarah ayat 143.

Hal itu, Abbas sampaikan saat menyampaikan materi Tafsir Al-Qur’an tentang Al-Wasathiyah, sebagai pemateri pertama Pengajian Ramadan PWM Sulsel di Aula FKIK Universitas Muhammadiyah Makassar, Sabtu, 15 Maret 2025. Pengajian itu melibatkan 24 Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) se-Sulsel melalui Zoom Meeting.

“Dalam Al-Qur’an, kata ummat terulang sebanyak 51 kali dan 11 kali dengan bentuk imam. Tetapi hanya satu frasa yang yang disandarkan pada kata Wasathan, yaitu terdapat di dalam surat Al-Baqarah ayang 143,” tutur Abbas diawal pemaparannya.

Sikap Wasathiyah Mensyaratkan Sifat Adil

Abbas mengawali pembahasan tafsir Al-Qur’an tentang wasathiyah menggunakan pendekatan At-Thabari, salah satu mufassir terkemuka yang karyanya tetap eksis hingga hari ini.

“At-Thabari memiliki kecenderungan yang sangat unik, dalam memberikan makna, seringkali berdasarkan riwayat. Terdapat 13 riwayat yang menunjukkan kata al-wasath bermakna al-adl, disebabkan hanya orang-orang yang adil saja yang bisa bersikap seimbang dan disebut sebagai orang pilihan,” tutur dia.

Pendapat lain, kata Abbas, adalah pandangan Buya Hamka melalui karyanya, tafsir al-Azhar yang menekankan bahwa umat Islam yang hidupnya didedikasikan untuk kemanfaatan di dunia dan juga akhirat.

“Hamka dalam karyanya yaitu tafsir al-Azhar, ia memaknai kata ummatan wasathan pada ayat tersebut dengan makna umat yang ada pada posisi tengah, yang tidak cenderung dunia saja atau kehidupan akhirat saja,” kata Abbas.

Abbas juga menjelaskan alasan Allah menggunakan diksi al-Wasath ketimbang al-khiyar, padahal keduanya memiliki arti yang sama.

Pertama, Allah memilih diksi al-wasath karena ingin menjadikan umat Islam sebagai saksi umat sebelumnya. Untuk menjadi saksi, kata dia, mensyaratkan posisi tengah-tengah alias proporsional, agar melihat persoalan secara berimbang.

“Lain halnya jika hanya berada pada satu sisi, maka ia tidak bisa memberikan penilaian yang baik,” tutur Abbas.

Kedua, penggunaan diksi al-wasath mengindikasikan jati diri umat Islam yang sesungguhnya. Artinya, kelompok yang berada di tengah-tengah berarti tidak berlebih-lebihan dan tetapi juga tidak mengurangi, baik dalam hal akidah, ibadah, maupun muamalah.

Hal ini, kata Abbas, juga mendapat dukungan dari ayat Al-Qur’an yang lain, seperti surat An-Nisa ayat 17 tentang kecaman Allah kepada orang yang berperilaku melampaui batas dalam hal keagamaan. Tak hanya itu, kata dia, Allah juga menegaskan larangan berlebih-lebihan dalam muamalah melalui surat Al-Araf ayat 31.

“Nilai-nilai dasar ini menjadi pijakan para ulama sehingga pemikiran-pemikiran ekstrem sepanjang sejarah peradaban Islam selalu marginal dan tertolak dalam lingkungan umat Islam,” tandas Abbas.

Indonesia Surga Keragaman dan Keberagamaan

Setelah Abbas, materi yang sama dilanjutkan oleh Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Sulsel, Zulfahmi Alwi yang menyebut pentingnya sikap wasathiyah dimiliki umat Islam, khususnya yang lahir dan tinggal di Indonesia.

Sebab, bagi dia, Indonesia adalah negara dengan sejuta keragaman dan keberagamaan yang paling kompleks di dunia.

“Keragaman dan keberagamaan bukan untuk dipertentangkan tetapi dijaga dan dirawat dengan cara yang benar,” tutur Zulfahmi.

Di Indonesia, kata dia, kata wasath atau wasathiyah bisa diartikan moderat atau moderasi.

“Kata itu memiliki padanan kata dengan ta’adul, tawassuth dan tawazun yang mengandung makna keseimbangan atau jalan tengah antara dua hal yang berbeda atau berkebalikan,” jelas dia.

Islam Wasathiyah
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Sulsel, Zulfahmi Alwi. (Sumber foto: AHZ)

Zulfahmi melanjutkan pembahasan dengan menyebut Allah mengutus Nabi Muhammad SAW membawa agama yang lurus, tidak ekstrem kiri atau kanan. Selain itu, Islam juga toleran dan terbuka terhadap perbedaan.

“Buktinya, Nabi Muhammad konsisten meluruskan para sahabat yang bersikap ekstrem atau berlebih-lebihan. Karena misi utamanya adalah ummatan wasathan, memperagakan netralitas dan menghindari keberpihakan sehingga pantas menjadi teladan bagi umat lain. Karena itu, berperilaku wasathiyah merupakan sunnah dan tradisi kenabian Muhammad SAW,” jelas Zulfahmi.

Hal itu, kata dia, juga telah dipertegas oleh Nabi Muhammad melalui hadis, dengan meminta kepada sahabat kala itu agar menjauhi sikap berlebih-lebihan. Sebab, salah satu alasan Allah memusnahkan umat-umat terdahulu adalah sikap berlebih-lebihan.

“Nabi pernah menegur Zainab agar tidak berlebih-lebihan dalam beribadah, ketika itu Nabi menemukannya mengikat tali diantara dua tiang masjid untuk dijadikan tempat bergantung saat capek berdiri dalam salat,” ucap dia.

Dalam hal kenegaraan, Zulfahmi menyebut Nabi Muhammad telah memberikan contoh pemimpin yang layak diteladani melalui Piagam Madinah.

“Pertama, Piagam Madinah adalah perjanjian konstitusional pertama di dunia yang menjamin hak asasi universal manusia, bahkan kebebasan beragama dan menjamin hak-hak setiap individu tanpa membedakan ras, suku dan agama. Konsep ini juga berhasil meruntuhkan fanatisme kesukuan di Arab kala itu,” jelas dia.

Islam Washatiyah Sebagai Titik Temu

Ia sendiri tak menampik bahwa sikap wasathiyah atau tengahan terkada mendapatkan label sebagai orang yang tidak memiliki pendirian teguh dan tidak serius menjalankan agama. Hal ini, kata dia, menunjukkan bahwa sikap wasathiyah tidak akan bebas dari kritik.

“Namun Islam wasathiyah ini adalah titik temu dua poros ekstrem beragama, yaitu kelompok ultra konservatif dan kelompok ekstrem liberal,” kata Zulfahmi.

“Islam Wasathiyah yang berkemajuan mendorong lahirnya cara pandang, sikap, dan perilaku beragama yang lurus, adil, dan berimbang pada jalur yang ditunjukkan oleh Islam dalam membangun umat,” tambah dia.

Karena itu, ia meminta kepada seluruh peserta pengajian agar menjadikan Persyarikatan Muhammadiyah sebagai salah pilar penting pendorong dan mempromosikan Islam Wasathiyah yang berkemajuan di Indonesia.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner PMB UMSI

Leave a Reply