Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Tidak Ada Kartini Hari Ini

×

Tidak Ada Kartini Hari Ini

Share this article

Oleh: Herlyana Septiasri (Ketua PC. IMM Kota Parepare)

KHITTAH. CO – Kita kenal dengan nyali juga gagasannya mendobrak batas. Sosok yang diperingati setiap 21 April, Kartini. Perempuan yang menjadikan pendidikan sebagai perhatian membangun tembok utama sebuah peradaban. Berjuang dalam dekapan tradisi dan adat yang mengekang hak perempuan. Tapi, bersahabat dengan buku adalah caranya mempertahankan emansipasi wanita.

Pada zamannya, perempuan tidak dibiarkan untuk cerdas. Dalam tradisi feodalisme Jawa, mereka hanya harus bersiap dinikahkan dan manut pada suaminya. Memasak, berdandan, dan beranak adalah pekerjaannya. Jangankan memberi makan akalnya agar tak tunduk terinjak, mereka seperti dipasung tak berantai dan tidak bergerak.

Pada akhirnya, Kartini menikah dengan Bupati Rembang. Takluk pada adat lalu mati dengan kontroversi. Namun, dalam kisahnya, Kartini tidak sekadar menikah mengikuti tradisi Jawa. Beliau mengajukan proposal syarat; tidak mau mencium kaki suami, enggan berjalan jongkok di depan suami dan tidak menggunakan bahasa kromo di dalam rumah tangganya. Bentuk perlawanan menuntut hak yang sama untuk perempuan.

Tak asing bagi kita yang tahu Kartini. Dalam bukunya Habis Gelap Terbitlah Terang, berangkat dari penggalan ayat dalam surah Al-Baqarah ayat 257, “Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya”. Sebuah tulisan mendalam yang menjelaskan akan ada akhir jika diperjuangkan. Keberanian Kartini bahkan diakui hampur seluruh masyarakat melalui peringatannya pada setiap April. Dijadikan sebagai profil yang mampu menjadi teladan bagi perempuan.

Kartini, namanya menyeruak tapi tak banyak yang mengenali, hanya sekadar nama dan gambar yang diperkenalkan pada masa kecil. Tokohnya bersanding dengan pahlawan yang lain, bahkan dipola untuk diperingati. Kartini, dikenal pemberontak juga kiri. Kemampuannya menyuarakan hak perempuan dan berani membela hal yang patut diperjuangkan. Bahkan, ditakuti karena berjiwa sosialis dan dianggap mengancam sistem yang dibangun Belanda. Dan, kematiannya disinyalir adalah andil dari Belanda pula.

Kesan pergerakan dalam tubuh Kartini dibungkam lewat propaganda orde baru. Setiap hari peringatannya, perempuan Indonesia memakai kebaya dan bersanggul tanpa bersuara. Mengisyaratkan, bahwa Kartini hanya sosok perempuan Jawa yang ayu dan penurut. Tak ada tanya perihal itu, karena kita larut dalam eksistensi seakan merayakan Kartini namun faktanya hanya membunuh esensi.

Adakah Kartini hari ini?

Dekapan media sosial menjadi kawan sekaligus lawan perempuan saat ini. Standar kehidupan bahkan ditentukan dari setiap reels atau story buatan manusia yang menghegemoni seperti apa harusnya perempuan. Keinginan orang lain menjadi prioritas untuk sekadar diakui. Bagi sebagian perempuan, penghakiman orang lain menjadi nilai untuk mengukur diri. Tolok ukur keperempuanan bukan lagi Kartini, tapi cerobong media sosial masa kini.

Beberapa perempuan bermata indah tapi buta. Tidak mampu membaca hal yang terlihat jelas tapi berupaya menafsirkan yang buram. Setiap perkara yang didukung mayoritas, dipandang sebagai hal benar tanpa membaca ulang. Bertindak dalam rangka dilihat dan dinilai oleh mata yang juga cacat. Subjektivitas mengelabuinya.

Alasan tepat untuk memberikan pola pada perkara ini adalah pendidikan. Tapi, apakah zaman kita sama seperti Kartini? Jika pada masa Kartini perempuan bahkan dilarang menempuh pendidikan, hal ini berbanding terbalik dengan perempuan hari ini. Akses bukan lagi kendala, bahkan terbuka lebar tapi mungkin terlalu lebar. Tak ada batasan yang tiba-tiba membuat kita hilang ketika membaca buku atau dibungkam saat bersuara. Walaupun ancaman patriarki tetap meneror dan menempatkan perempuan di posisi yang tidak setara dengan laki-laki.

Dunia pendidikan yang gampang diakses malah menjadi bahan gampangan. Berdalih setiap hal bisa instan untuk diraih, memanfaatkan teknologi katanya tapi akibatnya mencengkram lalu mengerdilkan nalar dan parahnya merasa benar dengan argumentasi yang bukan dari dirinya tapi diakuinya, bajakan. Sisi positifnya hanya karena mudah mencari sesuatu, tapi sisi negatifnya membuat perempuan lupa akan esensi kekuatan perempuan yang mampu mengolah akalnya untuk menciptakan peradaban besar sebagai pendonor gen yang baik untuk generasi selanjutnya.

Bukan hanya itu, perempuan akhirnya menjadi bisu dalam banyaknya kata yang mereka ucap. Bukan berarti tak bersuara, tapi yang mereka suarakan hampir tidak memiliki nilai. Hanya sekadar mengejar pengakuan, bahwa mereka ada dengan suaranya. Lantang celotehnya mengunci paham banyak awam tentang perempuan yang hanya harus menghabiskan jatah katanya dalam setiap hari, meskipun nilai dalam lisannya tak mencapai standar.

Mencari Kartini hari ini menjadi berat, bukan karena tidak ada perempuan yang menyamai atau bahkan menyaingi. Banyak perempuan hebat yang mampu menyandingi kehebatannya. Namun, tidak banyak pula yang masih jauh dari pola perjuangan perempuan layaknya Kartini. Seyogyanya tidak perlu menjadi Kartini untuk disebut perempuan, karena setiap insan akan besar dengan kemewahannya masing-masing. Tugas utama seorang perempuan adalah mendidik diri dan memastikan nalarnya tetap waras agar semuanya selaras.

Banyak perempuan yang ingin menjadi Kartini, sebelum menjadi diri sendiri. Bagi saya, ketimbang mengasuh diri dalam belaka eksistensi, ada baiknya mengasah diri.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply