Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Cahaya Al-Qur’an: Four Habits to Create Change

×

Cahaya Al-Qur’an: Four Habits to Create Change

Share this article
Gambar ilustrasi
Sumber ilustrasi: www.id.pikbest.com

Oleh: Agusliadi Massere*

KHITTAH. CO – Semua orang sepakat dan tanpa bantahan bahwa Al-Qur’an adalah sumber utama ajaran Islam. Dalam pemahaman umum, Al-Qur’an yang diturunkan kepada Muhammad Saw melalui perantara malaikat Jibril selama 22 tahun, 2 bulan, dan 22 hari, terdiri dari 30 Juz, 114 surah, dan 6.236 ayat. M. Quraish Shihab pun dalam buku karyanya Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat (2013) menjelaskan bahwa Al-Qur’an terdiri dari 77.439 kata dan 323.015 huruf.

Durasi dua jam (2 x 60 menit) yang diberikan kepada saya untuk membahas materi di Pelatihan Kader Muda Taruna Melati II (PKM TM II) yang dilaksanakan oleh Pimpinan Daerah Ikatan Pelajar Muhammadiyah (PD IPM) Kabupaten Bantaeng yang berlangsung selama lima hari di Gedung PGRI Bantaeng, dengan judul Al-Qur’an: Sumber Ilmu dan Inspirasi, memang tidak cukup jika pembahasan materi tersebut diharapkan mencapai kesempurnaan atau minimal dalam target pembahasan yang amat mendalam. Delapan semester pun dalam pandangan saya terasa jauh dari kata cukup.

Target kesempurnaan dan kedalaman pembahasan materi tentang Al-Qur’an tersebut yang belum bisa dimaksimalkan, bukan hanya persoalan waktu, tentu saja termasuk pula kedalaman ilmu yang saya miliki masih sangat terbatas. Al-Qur’an sebagai bacaan paling sempurna dan bahkan oleh seorang orientalis H.A.R. Gibb (dalam M. Quraish Shihab) pun menilainya “…demikian luas getaran jiwa yang diakibatkannya…” itu telah menjadi sumber ilmu dan inspirasi bagi banyak orang karena keluasan dan kedalamannya tidak terbatas.

Jutaan jilid buku dan tafsir lahir dari hasil membaca, memahami, mengkaji, dan mendalami Al-Qur’an. Di antara koleksi pustaka pribadiku saja, di antara ribuan koleksi buku, ada minimal dua puluhan judul buku yang secara langsung membahas tentang Al-Qur’an. Sebagaimana judul materi yang saya bahas dalam perkaderan tersebut, tentu saja Al-Qur’an sebagai sumber ilmu dan inspirasi tidak bisa terbantahkan oleh argumen, dalil, bukti ilmiah apapun, dan pandangan filosofis dari filsuf mana pun. Kebenarannya tidak bisa diragukan.

Keluasan dan kedalaman Al-Qur’an, tentu saja durasi dua jam tidak cukup. Oleh karena itu, sebagaimana harapan tim fasilitator PKM TM II PD IPM Bantaeng tersebut, saya hanya fokus mengulas beberapa poin: Allah menuntaskan buta aksara dengan dasar pijakan QS.Al-Alaq ayat 1-5, iqra sebagai tradisi Islam, substansi QS. Ali-Imran ayat 190-191, Al-Qur’an membangkitkan kesadaran diri, dan Al-Qur’an sumber reformasi sosial.

Al-Qur’an sebagai sumber ilmu, minimal dengan membaca buku ini saja, Nalar Ayat-Ayat Semesta: Menjadikan Al-Qur’an sebagai Basis Konstruksi Ilmu Pengetahuan (2015) karya Agus Purwanto dan buku Miracle of The Quran: Keajaiban Al-Quran Mengungkap Penemuan-Penemuan Ilmiah Modern (2010) karya Caner Taslaman, kita akan merasakan kebenaran yang tidak terbantahkan dengan keluasan dan kedalaman yang luar biasa dan  bisa terbukti secara ilmiah. Sama halnya ketika kita membaca buku Paradigma Al-Fatiha Memahami Petunjuk al-Quran Menggunakan Pendekatan Berpikir Sistem (2013) karya Dr. M. Masri Muadz, M.Sc., kita akan merasakan bahwa Al-Qur’an sebagai sumber ilmu dan inspirasi sungguh keluasan dan kedalamannya tidak terbatas. Satu surah saja yang dipahami, dikaji, dan didalami sudah bisa menghasilkan karya pemikiran yang dahsyat.

Saya saja, yang masih memiliki banyak keterbatasan dalam membaca dan memahami Al-Qur’an, telah mendapatkan banyak ilmu dan inspirasi, di antaranya tertuang di beberapa tulisan esai/opini saya yang pernah terbit di media online. Yang terbaru, tulisan saya yang terbit di media online dan itu hanya terinspirasi dari satu kata “Ar-Rahman”, itu menghasilkan tulisan sepanjang 1.673 kata. Bahkan sebenarnya, ini bisa lebih panjang lagi. Judulnya, Ar-Rahman Cahaya Ilahiah Penerang Ikhtiar di Ruang Sunnatullah.

Sama halnya dengan mengulas materi dalam perkaderan tersebut dengan judul Al-Qur’an: Sumber Ilmu dan Inspirasi, sambil membawakan materi, saya tiba-tiba saja mendapatkan satu percikan ilmu dan inspirasi tentang tiga habits (kebiasaan) yang bisa mengubah dunia yang bersumber dari pemahaman dan kesadaran substansial terhadap dua surah dan tujuh ayat, yaitu QS. Al-Alaq ayat 1-5 dan QS. Ali-Imran ayat 190-191

Kemudian, sambil memikirkan dan merenungkan tiga habits (kebiasaan) yang rencananya akan saya tuntaskan tulisannya untuk terbit di media online, saya pun kembali mendapatkan satu percikan ilmu dan inspirasi, padahal yang saya pikirkan dan renungkan tetap pada surah dan ayat yang sama. Inilah bukti kebenarannya, sebagaimana pandangan dan tafsiran Quraish Shihab terhadap surah Al-Alaq ayat 1-5, “Pengulangan perintah membaca dalam wahyu pertama…memberikan pula isyarat bahwa mengulang-ulangi bacaan Bismi Rabbika (demi karena Allah) akan menghasilkan pengetahuan dan wawasan baru walaupun yang dibaca itu-itu juga”. Saya menangkap pemahaman bahwa “membaca” demi karena Allah bisa menghasilkan ilmu dan inspirasi baru. Atau membaca Al-Qur’an meskipun hanya surah dan ayat-ayat itu saja, yang sama secara berulang-ulang, bisa menghasilkan percikan ilmu dan inspirasi yang berbeda-beda dan dahsyat.

Cahaya Al-Qur’an: Four Habits to Create Change yang menjadi judul tulisan ini adalah percikan ilmu dan inspirasi yang saya maksud sebagai hasil membaca dan berbagi ilmu yang fokusnya pada dua surah dan tujuh ayat yang saya sebutkan di atas. Awalnya berjudul Al-Qur’an sebagai Sumber Ilmu dan Inspirasi: Four Habits For Change. Setelah mendiskusikan ketepatan penggunaan bahasa Inggris dari judul yang saya gunakan dengan seorang kader andalan IPM, Suarni Dewi-Indah, akhirnya saya menggunakan judul di atas.

Berdasarkan judul tulisan ini, tentu saja yang substansial sebagai cahaya Al-Qur’an adalah empat hal yang saya yakini bisa menciptakan perubahan. Tetapi, empat hal itu harus menjadi habits (kebiasaan) bahkan sebagai karakter, dan ini sebagai efek lanjutan dari habits. Empat hal tersebut tentu saja dan sekali lagi saya tegaskan terinspirasi dari QS. Al-Alaq ayat 1-5 dan QS. Ali-Imran ayat 190-191.

Saya belum menguasai Al-Qur’an, apalagi saya pun bukan seorang pakar tafsir atau mufasir yang memahami suatu surah dan ayat dengan metode yang mendalam dan komprehensif dengan mengkaji kata demi kata, huruf demi huruf, bahkan berdasarkan kajian tematik dan asbabun nuzul. Saya hanya memahaminya berdasarkan terjemahan al-Qur’an—yang ini pun masih bisa dipandang sebagai tafsir sederhana—dan lebih jauh memahaminya berdasarkan tafsir-tafsir dari pakar tafsir yang ada.

Apa yang saya maksud dari four habits to create change tersebut? Empat habits (sesuatu yang harus menjadi kebiasaan dan bahkan sebagai karakter) dan saya yakini bisa menciptakan perubahan, minimal pada diri sendiri itu adalah membaca, berzikir, berpikir, dan menulis. Berdasarkan surah dan ayatnya tersebut, mungkin seharusnya saya menulisnya empat itu adalah—berdasarkan urutan—membaca, menulis, berzikir, dan berpikir, tetapi saya membuat urutan baru berdasarkan mekanisme dan proses agar melahirkan hasil yang maksimal.

Al-Alaq 1-5 mendorong dua hal penting dan strategis untuk menciptakan perubahan dalam kehidupan yaitu membaca dan menulis (karena di dalam surah tersebut disebut pula tentang pena/qalam). Saya yang membaca sedikit sejarah Islam dan perjalanan Muhammad Saw, menemukan satu hal substansial yang menggerakkan Rasulullah untuk senantiasa ke gua Hira melakukan perenungan, yaitu untuk mendapatkan petunjuk yang akan menjadi solusi atas pelbagai problematika kehidupan yang melanda Arab Jahiliyah pada saat itu. Ketika QS. Al-Alaq ayat 1-5 yang diturunkan sebagai ajaran pertama yang mengandung substansi utama berupa perintah iqra, dalam pandangan sempit dan sederhana saya, itu adalah ajaran utama, tepat, dan strategis.

Berdasarkan pemahaman mendalam saya, kunci utama dari berbagai persoalan yang ada memang adalah iqra dalam perspektif QS. Al-Alaq lima ayat pertama tersebut. Dalam pandangan umum dan universal untuk semua umat manusia, mungkin jawabannya adalah literasi. Hanya saja dalam pandangan saya, literasi memiliki maqam, posisi atau level yang berada di bawah iqra. Quraish Shihab pun menegaskan makna iqra bukan hanya membaca teks, tetapi termasuk pula meneliti, menelaah, mendalami, mengetahui ciri-ciri sesuatu, membaca alam, tanda-tanda zaman, sejarah, diri sendiri, baik yang tertulis maupun tidak tertulis.

Bukan hanya itu—sebagaimana makna iqra berdasarkan penafsiran Quraish Shihab—sehingga substansi literasi berada di bawah posisi iqra. Sebab, literasi pun tentu saja maknanya bisa sedalam itu. Yang paling utama, sehingga posisi dan level iqra lebih utama dan tinggi karena substansi iqra harus terintegrasi dengan Bismi Rabbika (Demi karena Allah). Jadi, membaca dalam konteks iqra harus atas nama Allah.

Membaca dan terus membaca terutama atas nama Allah dipastikan akan memantik pemahaman dan pengetahuan baru, tanpa kecuali sesuatu yang lahir dalam bentuk inspirasi atau intuisi sebagaimana ketika kita mencoba merenungkan ayat 5 dari QS. Al-Alaq tersebut. Membaca atas nama Allah, kemudian kelak menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi akan mampu membingkai karya dan produk tersebut memberikan dampak positif dan konstruktif bagi kehidupan. Bukan justru sebaliknya. Sebab sikap awal, termasuk dalam hal ini yang dimaknai sebagai niat, akan memengaruhi perilaku dan pemanfaatan hasil karya dan pemikiran.

Membaca yang melahirkan dan/atau menciptakan perubahan adalah membaca yang dilakukan secara berulang-ulang dan membaca—yang dalam istilah dan perspektif Hernowo disebutnya membaca secara esoterik (menyelami kedalaman makna). Basis kedahsyatannya, itu berdasarkan penafsiran “pengulangan perintah membaca” dalam QS. Al-Alaq berdasarkan tafsir Quraish Shihab, termasuk pula berdasarkan pemahaman prinsip, hukum, dan mekanisme kerja “habits” sebagai salah satu hukum alam atau sunnatullah yang diciptakan pula oleh Allah Swt di alam semesta, di bumi, tanpa kecuali dalam diri manusia.

Setelah membaca, menulis pun menjadi sangat penting dan strategis, selain karena penegasan dari QS. Al-Alaq ayat 4 termasuk yang terdapat dalam surah dan ayat lain, seperti QS. Al-Qalam ayat 1, dalam pandangan Hernowo pun, menulis adalah cara terbaik untuk mengikat makna. Sebab yang terpenting dari membaca adalah menemukan makna lalu mengikat maknanya. Membiasakan diri untuk senantiasa menulis, itu akan mampu melahirkan dan menciptakan perubahan, minimal dalam diri sendiri. Namun, sekali lagi, berdasarkan urutan yang saya buat di atas setelah membaca, sebaiknya membiasakan berzikir dan berpikir terlebih dahulu, agar aktivitas menulisnya bisa semakin maksimal dan dahsyat.

Berdasarkan QS. Ali-Imran ayat 190-191, saya menemukan tiga hal yang sangat substansial, strategis, dan sejatinya ketika ini melekat sebagai habits dan karakter pada diri akan mampu menciptakan perubahan dalam kehidupan. Tiga hal tersebut adalah berakal, berzikir, dan berpikir.

Dalam ayat ini, orang yang berakal itu, penegasannya harus senantiasa atau membiasakan berzikir dan berpikir. Bahkan perintah berzikir bukan hanya dalam satu kondisi, tetapi semua kondisi: berdiri, duduk, dan berbaring. Di hadapan para peserta perkaderan pun, saya menyimpulkan ini untuk semua keadaan. Sebab, tiga posisi yang Allah tegaskan pada dasarnya itulah posisi dasar dalam aktivitas manusia. Jika tidak berdiri, duduk, jika tidak duduk ya, berbaring. Berlari tentu saja bagian dari makna berdiri, jongkok, sebagai contoh saja, itu bagian dari makna duduk.

Manusia pun diharapkan memikirkan penciptaan langit dan bumi, apa lagi semua ciptaan Allah itu tidak ada yang sia-sia. Memikirkan atau berpikir adalah pembeda utama manusia dengan binatang yang merupakan sama-sama ciptaan Allah sebagai bagian dari unity of creation. Akal yang dimaksimalkan secara fungsional dalam bentuk memikirkan atau berpikir menjadi syarat utama agar mandat kosmik dari Allah sebagai khalifah bisa dijalankan dengan baik, yang tentunya ultimate goals-nya adalah melahirkan peradaban yang berkemajuan.

Saya pun menemukan hal dahsyat dari dua ayat dalam  QS. Ali-Imran tersebut, yaitu perintah berpikir diawali dengan perintah berzikir, selain bahwa keduanya ini menunjukkan ciri dan identitas utama manusia atau orang-orang berakal, ternyata ada mekanisme operasional yang menunjukkan bahwa kedahsyatan proses berpikir bisa semakin dahsyat, terus bangkit, ketika diawali dengan berzikir.

Hal dahsyat dari dua ayat dalam QS. Ali-Imran ini, saya temukan sebagai hasil berpikir integratif dengan pendekatan keilmuan dan konsepsi lain di luar dari Al-Qur’an, dan beroperasi dalam proses algoritmik diri yang telah sampai pada keyakinan mendalam dan kukuh, bahwa ayat-ayat qauliyah dan kauniyah Allah Swt. tidak ada yang bertentangan. Dalam buku Quantum Learning karya Bobbi DePorter dan Mike Hernacki, kita bisa menemukan satu skema yang menegaskan bahwa fungsi otak yang dahsyat bisa bangkit atau bangun ketika ditunjang oleh suasana hati yang tenang, senang, dan bahagia. Berzikir adalah menyebut dan mengingat Allah dan Allah sudah berjanji dengan mengingat diriNya, hati akan tentram (berarti tenang, senang, dan bahagia).

Berpikir yang telah menjadi kebiasaan atau yang melekat pada diri sebagai kebiasaan apalagi sebagai karakter akan mampu menciptakan karya terutama perubahan peradaban yang lebih baik. Itulah pula, era kontemporer terutama dalam abad ke-21 ini masih memandang bahwa satu di antara  empat skill yang dibutuhkan adalah berpikir kritis.

Berpikir yang dilakukan secara terus menerus akan mengalami proses transformasi menjadi kemampuan berpikir kritis, yaitu kemampuan berpikir yang tidak biasa-biasa saja, tetapi kemampuan berpikir yang memiliki kepekaan, kemampuan membaca dan merasakan hal sederhana sekalipun yang berpotensi memiliki dampak, baik dalam jangka waktu singkat maupun dalam jangka waktu lama.

Menjadikan membaca, berzikir, berpikir, dan menulis sebagai habits yang melekat dalam diri dipastikan akan mampu menciptakan perubahan minimal dalam diri. Saya sebagai penulis telah banyak merasakan perubahan dalam diri, termasuk yang bertransformasi ke dalam kehidupan meskipun hanya setetes inspirasi, itu adalah sebagai dampak positif, produktif, dan konstruktif dari membaca, berzikir, berpikir, dan menulis yang telah saya jadikan sebagai habits dan bahkan saya berupaya untuk menjadikannya sebagai karakter.

Contoh terbaik tentang dampak positif, produktif, dan konstruktif dari pemaknaan membaca, berzikir, berpikir, dan menulis, bisa kita temukan dalam tubuh, sejarah, dan dinamika Muhammadiyah (tentu saja oleh para tokoh-tokohnya). Kiai Dahlan yang mengajarkan kepada muridnya membaca QS. Al-Maun saja, itu selama tiga bulan, hasilnya lahir amal usaha Muhammadiyah (AUM), sejak Muhammadiyah lahir sampai sekarang yang jumlah, dampak, dan manfaatnya sangat luar biasa bagi kehidupan manusia. Dari hasil pembacaan surah Al-Ma’un secara berulang-ulang selama tiga bulan lahir panti asuhan, perguruan tingi, rumah sakit, dan sekolah-sekolah Muhamadiyah yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, bahkan sudah ada yang berada di beberapa negara lain.

Membaca QS. Al-Asr selama tujuh sampai delapan bulan secara berulang-ulang setiap hari mendorong Muhammadiyah menjadikan dirinya sebagai organisasi yang berkemajuan dan adaptif terhadap perubahan dan perkembangan zaman. Kiai Dahlan yang membaca QS. Ali-Imran ayat 104 akhirnya mampu menginspirasi dirinya untuk melahirkan Muhammadiyah. Tentu saja, Kiai Dahlan mampu melahirkan semua itu karena semangat membaca, berzikir, berpikir, dan menulis (meskipun Kiai Dahlan hanya meninggalkan sedikit catatan karya tulis) itu melekat pada dirinya sebagai habits dan karakter.

Yang tertuang dalam tulisan ini, hanya mengungkap sedikit hal yang saya sampaikan pada waktu membawakan dan mengulas materi dalam forum perkadaran yang saya sebutkan di atas.

 

*Pemilik Pustaka “Cahaya Inspirasi”, Wakil Ketua MPI PD. Muhammadiyah Bantaeng, dan Redaktur Opini Khittah.Co

 

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner UNISMUH MAKASSAR

Leave a Reply