KHITTAH.CO, Jayapura — Pembangunan ekonomi biru di wilayah kepulauan tidak dapat ditopang semata oleh regulasi teknokratik dan investasi infrastruktur. Ia membutuhkan pranata sosial yang hidup, dipercaya, dan diwariskan lintas generasi. Pesan inilah yang ditegaskan Muhammad Ihsan Maro melalui disertasi doktoralnya di Program Doktor Ilmu Sosial Universitas Cenderawasih (Uncen), Senin, 21 Juli 2025.
Lewat karya ilmiah yang berjudul Ongko sebagai Kearifan Lokal dalam Pembangunan Ekonomi Biru di Kabupaten Kepulauan Selayar, Ihsan menawarkan pembacaan baru atas praktik tradisional penguasaan ruang laut oleh komunitas nelayan Selayar.
Ia menunjukkan bagaimana pranata lokal bernama ongko, selama ini dikenal terutama sebagai “simpanan” atau klaim kepemilikan atas kawasan perairan yang kaya hasil, dapat diangkat menjadi modal sosial untuk memperkuat agenda ekonomi biru yang lebih berkelanjutan dan berkeadilan.
Dalam menulis disertasinya, Ihsan dibimbing oleh tim Promotor, Prof. Dr. Avelinus Lefaan, Dr. Ferry R.P.P. Sitorus, A.KS., M.Si. dan Dr. Sakaria To Anwar, M.Si.
Sementara tim penguji terdiri dari, Prof. Dr. Mardi Adi Armin, M.Hum., Prof. Julius Ary Mollet, SE., MBA., MT.Dev., Ph.D., Prof. Dr. Akhmad Kadir, M.Hum., Dr Usman Pakasi, M.Si., Dr. Ervina Indrayani, S.Si., M.Si., dan Dr. Albertina Nasri Lobo, S.Sos., M.Si.
Selaras dengan Lima Pilar Ekonomi Biru
Ihsan memetakan keterkaitan ongko dengan lima pilar pembangunan ekonomi biru yang tengah digiatkan pemerintah daerah dan nasional.
Pertama, Perluasan kawasan konservasi laut. Banyak ongko berada di atas bentang taka’/terumbu karang yang secara ekologis penting; pengakuan sosial atas ongko dapat disinergikan dengan penetapan zona konservasi formal.
Kedua, Penangkapan ikan terukur berbasis kuota. Pengaturan giliran dan pembatasan alat tangkap dalam ongko menciptakan efek serupa kuota sosial yang menahan eksploitasi berlebih.
Ketiga, Pengembangan perikanan budidaya berkelanjutan (laut, pesisir, darat). Pengetahuan lokasi-lokasi produktif dari peta ongko dapat memandu penempatan budidaya yang tidak merusak habitat alami.
Keempat, Pengawasan dan pengendalian wilayah pesisir serta pulau-pulau kecil. Jaringan kekerabatan pemegang ongko berfungsi sebagai sistem pemantauan dini atas masuknya pelaku destruktif dari luar.
Terakhir, Pembersihan sampah plastik di laut. Ikatan emosional-kepemilikan terhadap ongko mendorong komunitas menjaga kebersihan perairan yang menjadi “tabungan” bersama.
Dari Klaim Rahasia Menjadi Modal Sosial
Secara historis, informasi tentang letak ongko acap dianggap strategis dan dijaga dalam lingkar terbatas. Namun, dorongan membangun ekonomi biru menuntut transformasi tata kelola yaitu, bagaimana pengetahuan lokal dibuka secara selektif untuk pemetaan, zonasi, dan perlindungan habitat kritis tanpa menghapus hak sosial penanggungjawabnya.
Ihsan mengusulkan proses institusionalisasi ongko, yakni langkah bertahap yang menghubungkan pranata adat dengan perangkat regulasi formal. Tahapannya mencakup: inventarisasi partisipatif; pemetaan spasial berbasis komunitas; dialog adat-pemerintah; perumusan aturan ko-manajemen; dan penguatan mekanisme sanksi sosial yang kompatibel dengan hukum positif.
Ke Depan
Ihsan berharap temuan disertasinya dapat dimanfaatkan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Selayar bersama komunitas nelayan, lembaga adat, dan instansi kelautan untuk merancang model ekonomi biru yang bertumpu pada kekuatan sendiri. “Ketika ongko dipahami sebagai tabungan ekologis dan sosial, kita lebih siap menghadapi tekanan eksploitasi dan perubahan iklim,” ujarnya dalam pemaparan.
Jika rekomendasi institusionalisasi dijalankan, mulai pemetaan partisipatif, pengakuan terukur, hingga integrasi dalam rencana zonasi, Selayar berpeluang menjadi laboratorium kebijakan ekonomi biru berbasis kearifan lokal di Indonesia timur.
Jejak Pendidikan dan Kiprah Organisasi
Lahir di Pariangan, Kepulauan Selayar, pada 26 April 1973, Ihsan tumbuh dalam lingkungan masyarakat pesisir yang hidup dari kedekatan dengan laut dan tradisi keagamaan yang kuat.
Pendidikan dasar ditempuh Ihsan di SD Negeri 4 Pariangan Selayar dan selesai pada 1985. Masa remaja dihabiskan di lingkungan pendidikan berbasis nilai keislaman di SMP Immim Ujung Pandang (lulus 1988) dan SMA Immim Ujung Pandang (lulus 1991).
Pilihan studinya kemudian bergerak ke ranah keilmuan keagamaan dan bahasa, Ihsan meraih gelar sarjana dari Jurusan Bahasa dan Sastra Arab, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang diselesaikannya pada 1998.
Arus minatnya terhadap persoalan sosial-lingkungan pesisir membawa Ihsan melanjutkan studi magister di Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, mengambil Jurusan Sosiologi dan Penyuluhan Lingkungan, dan lulus pada 2001.
Jejak aktivisme Ihsan dapat dilacak sejak ia dipercaya sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Kabupaten Selayar (2005–2010).
Keterlibatannya melebar ke ranah kebijakan pendidikan daerah ketika ia duduk sebagai Anggota Dewan Pendidikan Kabupaten Kepulauan Selayar (2015–2020).
Dalam rentang waktu yang sama, Ihsan turut menguatkan kerja-kerja kelembagaan keumatan melalui struktur Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Kepulauan Selayar (2015–2027).
Pada lingkup pemikiran keislaman dan cendekia, ia tercatat di Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Organisasi Daerah Kepulauan Selayar (2022–2027).
Di sektor filantropi, Ihsan memegang amanah strategis sebagai Ketua Dewan Pengawas Syariah LAZISMU Kepulauan Selayar (2022–2027), memperkuat tata kelola zakat, infak, dan sedekah untuk pemberdayaan komunitas.
Saat ini, Ihsan mengemban amanah sebagai Wakil Rektor Institut Teknologi Sains dan Bisnis Muhammadiyah (ITSBM) Selayar sejak 2022 hingga sekarang.
(Andi Asywid Nur)