Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Gerakan Ilmu IPM: Risalah Kemerdekaan Menuju Indonesia Emas

×

Gerakan Ilmu IPM: Risalah Kemerdekaan Menuju Indonesia Emas

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*

KHITTAH. CO – Tulisan ini sejenis langkah memenuhi janji kemerdekaan. Sebab, ketika diri seseorang masih terjebak dalam janji yang belum ditunaikan, berarti kita belum merdeka sepenuhnya. 31 Juli 2025, beberapa pekan yang lalu pada acara puncak Resepsi Milad IPM oleh IPM Bantaeng dalam satu segmen Arisan Pemikiran, saya berjanji untuk menulis kembali materi yang saya ulas di depan ratusan kader. “Gerakan Ilmu IPM Bantaeng”, inilah tema yang dipercayakan ke saya untuk menjadi pemantik dahsyat dalam forum tersebut.

Bagi Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) tidak ada alasan untuk tidak melakukan gerakan ilmu. Gerakan ilmu atau spirit keilmuan yang melekat dalam diri Muhammadiyah sejak awal berdirinya sampai sekarang, ibarat gen yang mengalami proses genetika dari diri induknya ke dalam diri anaknya, sejatinya hal itu pun mengalami proses memetika (pewarisan spirit) ke dalam tubuh gerakan IPM.

Gerakan ilmu bagi IPM dan sejatinya tanpa kecuali ke dalam semangat IPM Bantaeng, itu menjadi DNA sejati, menjadi identitas, jati diri, dan karakter sejati yang mewarnai serta membingkai setiap langkah perjuangan atau pergerakannya. Bahkan penegasan IPM yang menjadikan QS. al-Qalam ayat 1 sebagai semboyan pergerakan dan logonya yang menyimbolkan sebuah pena jangan dibiarkan redup apalagi “dikhianati” dalam makna hanya dijadikan sebagai tagline dan/atau simbol semata.

Dilihat dari perspektif atau pandangan Habitus ala Pierre Bourdieu pun, tak terbantahkan bahwa karakter sejati IPM adalah gerakan ilmu. Ada banyak hal yang mewarnai dan mengiringi perjalanan sejarah Muhammadiyah sampai ke abad keduanya, yang ketika kita mencelupkan diri ke dalam Risalah Islam Berkemajuan-nya Muhammadiyah, di mana di dalamnya ada konsep dasar Islam Berkemajuan (IB), ada gerakan IB, dan ada perkhidmatan IB, ini bisa menjadi habitus ketika diturunkan dan dikontekstualisasi pemaknaannya. Dan, seharusnya ini  sebagai konsepsi dan tindakan nyata dalam diri Muhammadiyah, mengalami internalisasi ke dalam diri IPM.

Selain itu, ada banyak hal yang bisa menjadi modal kemudian berada dalam arena yang pada dasarnya semua itu bisa memperkuat proses internalisasi habitus sehingga menghasilkan sebuah praktik dalam hal ini gerakan yang bernama gerakan ilmu sebagai proses eksternalisasi atau implementasi spirit ke dalam realitas sosial. Apa lagi IPM ruang lingkup gerakannya dan sasaran dakwahnya adalah pelajar, sebagai sosok generasi yang dipandang harus menjadi garda terdepan dalam membangun masa depan bangsa, negara, dan peradaban yang lebih baik pada masa yang akan datang.

Karakteristik Lima yang dirumuskan oleh Muhammadiyah sebagai bagian dari konsep dasar Risalah Islam Berkemajuan (RIB) mulai dari berlandaskan pada tauhid; bersumber pada al-Qur’an dan al-sunnah; menghidupkan ijtihad dan tajdid; mengembangkan wasathiyah; dan sampai pada mewujudkan rahmat bagi seluruh alam, selain di antaranya ada yang bisa menjadi basis nilai, juga ada yang mensyaratkan apa yang dimaknai dari gerakan ilmu. Poin pertama saja dari Karakteristik Lima ini, “Berlandaskan pada tauhid” satu di antara maknanya diharapkan mampu menjadi gerakan nyata untuk mengubah kondisi kehidupan dan termasuk diharapkan bertransformasi menjadi sikap kritis. Tentu saja, hal ini mensyaratkan sesuatu yang hanya bisa ditemukan dalam gerakan ilmu.

Di dalam RIB pada bagian Gerakan Islam Berkemajuan, khususnya pada Gerakan Ilmu, Muhammadiyah menegaskan bahwa perwujudan Islam Berkemajuan adalah gerakan ilmu. Bahkan ditegaskan “Islam itu sendiri sangat menghargai ilmu dan memandang bahwa orang-orang yang berilmu lebih unggul dari mereka yang tidak berilmu”. Pandangan ini mendapat penegasan dan basis teologis yang kukuh dari QS. al-Zumar [39]: 9 dan QS. al-Mujadalah [58]: 11.

Selain itu, Muhammadiyah pun memandang bahwa Islam Berkemajuan memandang bahwa ilmu itu sangat diperlukan dalam setiap segi kehidupan, berpikir, bersikap, dan bergerak, untuk mewujudkan ajaran-ajarannya dalam kehidupan nyata. Menurut Muhammadiyah, dengan ilmu umat Islam dapat menangkap pesan-pesan agama secara lebih tepat, mengembangkan tata kehidupannya secara lebih baik, dan menciptakan hal-hal baru untuk memajukan tingkat peradaban manusia.

IPM pun secara tegas melalui perumusan dan penetapan tujuannya “Membentuk pelajar muslim yang berilmu, berakhlak mulia, dan terampil, serta menegakkan nilai-nilai Islam untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” sesungguhnya mensyaratkan “gerakan ilmu”. Pelajar muslim yang berilmu dan terampil secara langsung bisa dilihat bahwa di dalamnya mewajibkan ilmu dan gerakan ilmu itu sendiri.

Pelajar muslim yang berakhlak mulia, itu pun jika diresapi, diselami, dan didalami juga mensyaratkan ilmu dan gerakan ilmu. Bagi saya, selama ini, terkesan ada pemahaman yang keliru dalam memaknai akhlak atau istilah umum adalah adab. Ketika orang menegaskan bahwa lebih utama akhlak atau adab ketimbang ilmu, seakan-akan terbangun persepsi dan pandangan bahwa ilmu itu tidak penting. Yang penting adalah akhlak atau adabnya. Padahal, kika harus memahami secara mendalam bahwa akhlak itu adalah buah atau dalam istilah Habitus Bourdieu “eksternalisasi” berupa implementasi dari perpaduan utuh antara iman dan ilmu. Mustahil akan lahir akhlak dan adab yang baik tanpa perpaduan utuh iman dan ilmu.

Dalam forum Arisan Pemikiran yang dilaksanakan oleh IPM Bantaeng sebagai rangkaian dari puncak Resepsi Milad IPM ke-64 untuk tingkat Kabupaten Bantaeng, saya pun meluruskan yang menurut saya ada pandangan sempit dan keliru yang selama ini dipegangi oleh kader-kader Muhammadiyah tanpa kecuali kader-kader IPM. Kiai Ahmad Dahlan sebagai “Manusia amal” atau “Manusia aksi” ini dipahami secara sempit dan keliru bukan hanya dalam tataran persepsi tetapi termasuk dalam tataran praksis. Seakan-akan ini sama maknanya dengan jargon Jokowi ketika menjadi presiden, yaitu “kerja, kerja, kerja”. Yang seakan-akan ilmu tidak penting, teori tidak penting, kajian tidak penting, dan banyak hal lainnya yang dinegasikan yang semua itu berada dalam spirit gerakan ilmu.

Padahal “Manusia amal” atau “Manusia aksi” yang dilekatkan pada diri Kiai Dahlan tidak sesederhana, sesempit, dan keliru seperti itu. Dalam diri Kiai Dahlan telah terpatri ilmu yang amat dalam. Keilmuannya sudah sangat tinggi bahkan karena berada dalam ketinggian di atasnya Kiai Dahlan mampu menatap masa depan yang lebih gemilang yang melampaui pada zamannya. Mustahil Kiai Dahlan mampu menerjemahkan dan mengontekstualisasi QS. Ali-Imran ayat 104 kemudian diperkuat ayat 110 dari surah yang sama dalam bentuk pelembagaan spektakuler, berkemajuan, strategis, dan memberikan implikasi luar biasa dalam kehidupan, jika dalam dirinya tidak memiliki kedalaman, keluasan, dan ketinggian ilmu.

Saya pernah terlibat perbicangan serius secara face to face via jaringan WhatsApp pribadi dengan seorang antropolog Muhammadiyah Sulawesi Selatan, Hadi Saputra (saya akrab menyapanya Kak Hadi). Dalam perbicangan itu membahas konsepsi Hannah Arendt mengenai konsepsi tentang tindakan. Konsepsi Arend ini, kami menarik  garis relasi dengan pandangan “Manusia aksi” Kiai Dahlan. Secara singkat, dalam perbincangan hangat face to face tersebut, dan saya juga mendapatkan pencerahan luar biasa dari seorang antropolog tersebut. Berbeda antara labour (kerja), work (karya), dan action (tindakan). Kesimpulan lainnya bahwa Kiai Dahlan itu bukan sekadar man of labour. Bukan pula sekadar man of work. Kiai Dahlan melampuai dari itu sebagai man of action.

IPM sebagai wadah pelajar muslim yang ruang lingkup gerakannya juga adalah pelajar, dalam konsepsi masa depan suatu bangsa dan negara, tentu saja memiliki posisi yang sangat strategis sebagai generasi muda. Tujuan dan cita-cita nasional yang mulia dari Indonesia “Mencerdaskan kehidupan bangsa” sejatinya IPM melekatkan tanggung jawab besar dalam dirinya dalam bentuk gerakan ilmu.

Ketika Nelson Mandela, Swami Vivekananda, dan Ki Hadjar Dewantara memandang fungsi penting dari pendidikan untuk mengubah dunia, membangun kemandirian generasi, dan sebagai sesuatu yang mengarahkan menuju pada arah kehidupan berupa kebahagiaan batin dan keselamatan hidup lahir, maka sesungguhnya itu adalah bentuk pelembagaan dari gerakan ilmu. Intinya adalah ilmu yang dimasifkan dan disistematisasi dalam bentuk gerakan ilmu.

Andaikan disusun Risalah Kemerdekaan Menuju Indonesia Emas, maka poin penting yang tidak boleh hilang, terlewatkan, dan terlupakan di dalamnya adalah Gerakan Ilmu IPM. Gerakan ilmu dalam makna sesuai konteks zaman pada saat itulah yang menyelamatkan Eropa dan Barat dari era kegelapannya. Gerakan ilmulah yang diletakkan basis teologisnya dengan turunnya QS. Al-Alaq 1-5 yang menyelamatkan Arab dari zaman jahiliyah pada saat itu.

Gerakan ilmulah yang digerakkan oleh Muhammadiyah sejak awal berdirinya yang secara perlahan-lahan membebaskan nusantara pada saat itu dari kebodohan, keterbelakangan, ketertindasan, dan penjajahan. Gerakan ilmulah dan ilmu yang amat dalam dari Kiai Dahlan sehingga memantik pemahaman dan kesadarannya sehingga untuk mempelajari al-Ma’un saja diulang-ulang sampai kurang lebih tiga bulan dan akhirnya membuahkan amal usaha Muhammadiyah yang hingga kini akhirnya Muhammadiyah dinobatkan sebagai organisasi terkaya di dunia. Meskipun Kiai Dahlan tidak pernah menjelaskan tentang konsepsi habits pada saat itu, tetapi pengulangan al-Ma’un selama tiga bulan itu merefleksikan prinsip, hukum, dan mekanisme dari salah satu sunnatulllah Allah,akhirnya nyata hasilnya.

Hanya saja, saya sebagai kader yang pernah menjadi bagian penting dalam tubuh IPM yang dulu disebut Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) saya merasakan khususnya dalam lingkup IPM Bantaeng, semangat gerakan ilmu itu terasa redup. Nyalanya kurang terang. Sebagaimana mekanisme on/off DNA sedang mengalami mekanisme off. Padahal kondisi seperti ini, itu bisa dimaknai sebagai pengkhianatan terhadap jati diri dan karakter sejatinya sendiri.

Kesimpulan ini, tidak bisa dibantah dengan dalil pembelaan bahwa eranya sudah berbeda, kecenderungannya berbeda, dan karakternya berbeda. Karena gerakan ilmu baik ditinjau secara filosofis, teologis, sosiologis, organisatoris, dan ideologis dalam tubuh IPM sendiri, itu adalah kewajiban sepanjang masa. Tidak berhenti hanya dengan dalil adaptasi zaman dan perkembangannya.

Oleh karena itu, Gerakan Ilmu IPM Bantaeng sejatinya harus kembali dinyalakan dengan menghidupkan terlebih dahulu RIB dalam dirinya. Agar minimal dengan ini, DNA keilmuan yang sudah terpatri dalam dirinya sebagai anak ideologis Muhammadiyah mengalami kembali mekanisme on.

Apa lagi IPM harus mengambil peran penting dan strategis menuju Indonesia Emas 2045 dengan memaksimalkan gerakan ilmu untuk melahirkan generasi emas. Sehingga, Indonesia Emas bukan hanya indikatornya dengan kemajuan infrastruktur, material, dan pembangunan fisik semata. Tetapi ada keseimbangan dari berbagai aspek kehidupan sebagai salah satu kristalisasi dari spirit dari wasathiyah.

*Pemilik Pustaka “Cahaya Inspirasi”, Wakil Ketua MPI PD. Muhammadiyah Bantaeng, dan Redaktur Opini Khittah.co

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply