Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Negara yang Menjadi Monster Ingatan

×

Negara yang Menjadi Monster Ingatan

Share this article

Oleh: Fahrul Dason (Ketua PW IPM Sulsel, Bidang PIP)

KHITTAH.CO – Monster tidak hanya hidup di film Hollywood seperti yang kita bayangkan soal Godzilla, dan hantu-hantu di film horor Indonesia. Monster sesungguhnya justru menjelma dalam diri manusia, terlihat persis ketika empati telah lenyap, saat seseorang berlagak berlebihan, dan bilamana kita menolak untuk menerima kenyataan.

Dalam film Jepang berjudul Monster (2023), karya sutradara bernama Hirokazu Kore-eda. Film ini mengisahkan  tentang Minato, seorang anak yang mengalami perubahan sikap secara drastis hingga sering mengulang satu frasa: Siapakah “monsternya”?

Pertanyaan itu tidak hanya dimiliki Minato saat ini, dalam sejarah panjang Indonesia, kita pun bisa bertanya hal yang sama: Siapakah monster di balik kelamnya sejarah? Betul apa yang dikatakan oleh Winston Churchill, seorang politikus Britania Raya, “sejarah  selalu ditulis bagi mereka yang memiliki kuasa, atau oleh para pemenang”.

Ungkapan ini menunjukkan bagaimana penguasa dengan segala sistem yang ia miliki sangat berpotensi untuk mengaburkan fakta-fakta sejarah yang dianggap merugikan kekuasaan. Fenomena ini telah tergambar melalui isu penulisan ulang sejarah dari Fadli Zon, Menteri Kebudayaan.

Senada dengan itu, seorang antropolog kelahiran Haiti bernama Michel-Rolph Trouillot juga mengingatkan bahwa sejarah bukan sekadar kumpulan fakta lama, tapi sangat dipengaruhi oleh siapa yang berkuasa. Kekuasaan kini nampak memperlihatkan wajah “monsternya” yang berupaya menggerogoti ingatan kita. Hampir seluruh pembahasan publik ramai mempersoalkan terkait proyek penulisan sejarah nasional Indonesia. Bukan tanpa alasan, bayangkan saja jika narasi sejarah pada peristiwa kerusuhan massal 1998 berupaya untuk dikaburkan. Mulai dari pemerkosaan, diskriminasi, dan pembunuhan dianggap tidak memiliki bukti yang kuat.

Padahal, melalui penyelidikan dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk oleh Presiden BJ Habibie pada bulan Juli 1998, telah mengeluarkan laporan dengan sangat gamblang bagaimana kekerasan seksual, termasuk pemerkosaan, terjadi selama kerusuhan Mei 1998, dengan sebagian besar korban adalah perempuan etnis Tionghoa. Bahkan, TGPF juga menemukan bahwa kekerasan seksual tidak hanya terjadi selama kerusuhan, tetapi juga sebelum dan sesudahnya. Hal inilah yang membuat berbagai para aktivis dan sejarawan geram mendengar pernyataan Fadli Zon.

Termasuk Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas, menyebut bahwa Fadli Zon melalui narasinya berupaya mendiskreditkan kerja TGPF dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang telah melakukan pendokumentasian dan penyelidikan mendalam atas peristiwa Mei 1998. Bahkan yang lebih berbahaya, proyek ini tak hanya mengKhianati korban dan penyintas, tapi juga mencabik-cabik ingatan kolektif bangsa.

Dalam sejarah Indonesia, Mei 1998 adalah momen kelam yang sampai hari ini masih berselimut kabut: entah siapa dalangnya, siapa pelakunya, masih belum pernah diadili secara hukum. Namun, kita tahu bahwa peristiwa tersebut bagian dari agenda politik dari pemerintahan Orde Baru.

Ingatan yang Dibungkam

Tak dapat lagi kita bayangkan bagaimana dampak kedepannya, jika buku-buku sejarah itu beredar di bangku para pelajar Indonesia. Negatifnya tentu terjadi pengaburan besar dalam sejarah: mulai hilangnya kebenaran, pembungkaman, dan normalisasi kekerasan.

Memang penulisan ulang sejarah bukanlah hal yang tabu. Sejarah selalu ditulis ulang seiring dengan perkembangan zaman dan perolehan informasi baru. Namun, dalam penulisan ulang sejarah harus juga dilakukan dengan hati-hati, jujur, dan terbuka secara publik dengan melibatkan berbagai sejarawan independen, aktivis, dan pembacaan lebih teliti terhadap literatur yang telah ada sebelumnya.

Seperti yang Mohammad Yamin maknai soal sejarah, bahwa ilmu pengetahuan yang disusun harus melalui proses yang teliti atas hasil penyelidikan beberapa peristiwa yang dapat dibuktikan dengan bahan kenyataan. Kenyataan memang pahit, tapi ia juga harus diterima dengan apa adanya sebagai bahan perenungan bagi kita semua. Supaya, bangsa ini tidak terjatuh dalam peristiwa yang sama. Namun yang perlu kita ingat bersama, bahwa kekuatan sipil akan selalu bergerak untuk mengawasi setiap gerak-gerik dari ketidakadilan yang terjadi.

Terakhir, seperti kritik John Locke terhadap Thomas Hobbes dalam bukunya Leviathan (1651). Bahwa, negara tidak seharusnya absolut, sebab ia akan cenderung menindas rakyat. Pernyataan ini bukan hanya narasi kosong, tapi sebuah pengingat untuk kita semua—bahwa dalam konteks sejarah, mau itu kelam atau menyedihkan, ia tidak seharusnya dilupakan. Apalagi sengaja dihilangkan.

Penulisan ulang sejarah Indonesia seharusnya menjadi ruang refleksi, bukan menjadi agenda propaganda. Ia harus mendengarkan suara korban, dan saksi sejarah. Sebab, sejarah yang jujur tidak membuat kita menjadi bangsa yang lemah. Justru sebaliknya, ia menjaga kita agar tidak mengulangi luka yang sama.

 

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner UIAD

Leave a Reply