Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Quo Vadis Aktivis Era Digital

×

Quo Vadis Aktivis Era Digital

Share this article

Oleh: Fadli Andi Natsif*

KHITTAH. CO – Setiap orang ada masanya dan setiap masa ada orangnya. Demikian sering kita dengar kalimat ini ketika orang menceritakan masa lalunya. Sah-sah saja ada kebanggaan menceritakan masa lalu yang dipenuhi dengan aktivitas bermanfaat. Sebut saja itu seorang aktivis mahasiswa, ada romantisme sejarah dalam kehidupannya pada saat menjadi mahasiswa.

Itu juga saya alami. Hidup saya lakoni sekarang tidak terlepas dari pengalaman yang sangat berharga di masa lalu ketika menjadi mahasiswa beberapa puluh tahun lalu (1986 – 1990). Datang ke kampus semata-mata bukan hanya sekadar kuliah.

Teringat pada awal menginjakkan kaki di Kampus “jaket merah” – demikian UNHAS sering digelari, kami disuguhi dengan dinamika aktivitas senior-senior. Ada coretan-coretan di dinding luar kelas yang kita tempati kuliah. Kata-kata protes sebagai wujud ekspresi ketidaksetujuan atas kebijakan yang diambil oleh pimpinan fakultas.

Sebagai mahasiswa baru, fenomena itu belum kita pahami. Maklum semasa SMA jarang melihat suasana demikian. Untuk memahami dinamika aktivitas dunia kampus yang berbeda dengan masa SMA, kita digembleng lebih awal dengan kegiatan orientasi dunia kampus dan kemahasiswaan. Saat itu disebut sebagai “ospek”, orientasi studi dan pengenalan kampus.

Manfaat didapatkan dari kegiatan orientasi, senior-senior yang memandu acara selalu memberikan motivasi bahwa status mahasiswa yang disandang sekarang sangat berbeda dengan status siswa dulu. Ini menjadi bekal awal, tidak boleh hanya sekedar datang kuliah semata tetapi harus punya kepedulian sosial. Peduli terhadap kepentingan sosial yang terjadi di luar kampus. Masa itu sering kami dengar status mahasiswa sebagai “agent of change”. Kelompok yang sangat berperan sebagai fasilitator perubahan dalam kehidupan sosial.

Dengan motivasi itulah, kami menyadari untuk menyandang status agen perubahan harus memiliki aktivitas selain kuliah. Kesadaran tersebut membawa kami untuk aktif mengikuti kegiatan. Ada kegiatan lingkup dalam kampus disebut intra kampus, masa itu dikenal SEMA dan BEM, serta kegiatan UKM. Kegiatan di luar kampus, seperti HMI, IMM, PMII, PMKRI, GMKI. Selain itu juga berdiri banyak kelompok-kelompok studi yang berorientasi khusus melatih ketajaman analisis mahasiswa terkait disiplin ilmunya yang dihubungkan dengan problem sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.

Urgensi kegiatan mahasiswa baik lingkup intra dan ekstra kampus ketika itu jika dihubungkan dengan era sekarang (zaman now) itu lah yang biasa digalakkan oleh komunitas penggiat literasi. Sebuah komunitas yang melakukan aktivitas bertujuan menggalakkan kemampuan dalam membaca dan memahami bacaan. Dalam rangka meningkatkan kualitas hidupnya. Kegiatan komunitas seperti ini secara tidak langsung dapat dikatakan ikut membantu pemerintah mewujudkan tujuan bernegara yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai amanat pembukaan konstitusi Indonesia.

Pengalaman jadi mahasiswa, selain kuliah, juga menempah diri dalam kegiatan organisasi kampus (intra dan ekstra). Motivasi menjadi agen perubahan justru banyak diperoleh dengan melakukan kegiatan di luar kuliah. Seperti HMI, yang saya anggap sebagai kampus kedua. Keaktifan di HMI memberikan motivasi untuk memiliki buku dan membaca hal di luar disiplin ilmu, seperti keislaman, kemasyarakatan dan kebangsaan.

Begitu pun aktif di organisasi kelompok studi. Masa itu kelompok studi yang memengaruhi kehidupan intelektual saya adalah Kelompok Diskusi Bulukunyi (KDB). Sebuah kelompok studi yang diprakarsai oleh senior yang juga sebagian besar aktivis HMI. Keaktifan di kelompok diskusi, ini sangat urgen karena selain memotivasi banyak membaca juga melatih kita untuk menganalisis persoalan sosial yang terjadi dalam masyarakat.

Aktifitas dan spirit di masa lalu yang keranjingan membaca dan berdiskusi inilah yang hilang di era mahasiswa sekarang. Mahasiswa jarang lagi kita lihat menenteng tas yang isinya buku-buku. Mungkin bisa dimaklumi kalau era dulu kita tidak memiliki teknologi semacam HP atau Gadget. Sebuah perangkat teknologi yang memiliki fasilitas berkomunikasi atau mengakses informasi yang disambungkan dengan perangkat internet.

Dengan teknologi digital yang mahasiswa miliki sekarang dan memudahkan memperoleh pengetahuan secara cepat. Apalagi dengan adanya aplikasi artificial intelligence (AI); seperti ChatGPT, Deepseek, Gemini dan lain-lain. Ditambah dengan perkembangan media sosial yang massif, sehingga mahasiswa seolah berada di zona nyaman. Tidak perlu buang-buang waktu membaca buku untuk mendapat pengetahuan.

Kalau “zona nyaman” ini, ketergantungan dengan AI dan media sosial terus dinikmati mahasiswa tanpa kembali sadar dan sama sekali melupakan pentingnya buku, maka mahasiswa terjebak dalam kondisi post truth (pasca-kebenaran). Suatu kondisi, yang akan memengaruhi pikiran dan jiwanya dan menganggap sesuatu kebenaran yang hanya berseliweran di media sosial. Oleh sebuah penelitian menunjukkan ketergantungan terhadap konten digital di media sosial, akan menyebabkan “brain rot”, pembusukan otak atau penurunan fungsi kognitif, karena terjadi penurunan motivasi belajar.

Era aktivis mahasiswa dulu dengan banyak terlibat kegiatan organisasi diskusi mahasiswa, yang belum ada fasilitas digital seperti sekarang, menuntut kita untuk banyak membaca buku. Sebenarnya spirit lahirnya kelompok diskusi mahasiswa dulu di era sekarang bisa ditumbuhkembangkan kembali. Tidak menjadi alasan penyebab era sekarang yang dimanjakan dengan fasilitas gadget (HP), untuk kembali menghidupkan spirit aktivis mahasiswa masa lalu yang keranjingan membaca buku dan berdiskusi. Kalau tidak mau, quo vadis sang aktivis? (*)

*Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin dan Mantan Ketua HMI Komisariat Fakultas Hukum UNHAS

 

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner UIAD

Leave a Reply