Oleh: Nashrul Mu’minin (Content Writer Yogyakarta)
KHITTAH. CO – Di tengah dunia yang semakin bising oleh opini, komentar, dan perdebatan, diam sering kali dianggap pasif, bahkan lemah. Namun, dalam pandangan Islam, diam bisa menjadi bentuk dakwah yang paling tulus dan berpengaruh. Dakwah dalam diam bukan berarti berhenti menyampaikan kebenaran, tetapi menyampaikan pesan dengan cara yang lembut—melalui akhlak, keteladanan, dan perilaku sehari-hari. Ia adalah seruan kebaikan yang tidak terdengar oleh telinga, tetapi dirasakan oleh hati.
Dalam kehidupan modern yang serba terbuka, banyak orang berlomba menasihati orang lain lewat kata-kata, tetapi lupa bahwa perilaku adalah bahasa yang lebih kuat dari sekadar ucapan. Dakwah dalam diam hadir sebagai bentuk keseimbangan—mengajarkan bahwa kebaikan sejati tidak selalu perlu disiarkan, dan ketulusan tidak butuh tepuk tangan. Melalui kesabaran, keikhlasan, dan konsistensi dalam berbuat baik, seseorang dapat menjadi cermin yang memantulkan nilai-nilai Islam tanpa harus banyak berbicara.
Dalam dunia yang serba cepat ini, kata-kata sering kali menjadi senjata paling mudah digunakan — baik untuk menyebar kebajikan maupun untuk menyakiti. Namun, dalam kesunyian, ada kekuatan dakwah yang sering terlewatkan: dakwah dalam diam. Dakwah diam bukan berarti pasif; justru ia adalah bentuk keikhlasan dan strategi bijak yang mencerminkan kedalaman iman. Ia mengingatkan kita pada peran sunyi Nabi Muhammad ﷺ yang awalnya berdakwah secara rahasia sebelum tampil terang-terangan, sehingga langkah dakwahnya tetap tertata dan tidak terburu-buru.
Al-Qur’an sendiri mengajarkan bahwa seruan kebaikan harus disertai dengan hikmah dan akhlak terpuji. Allah SWT berfirman: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik.” (QS. An-Nahl : 125)
Ayat ini menggarisbawahi bahwa dakwah tak mesti selalu lewat suara lantang. Bahkan ketika sedang diam, seseorang bisa “manggil” orang lain melalui teladan tindakan, melalui kasih, dan melalui perilaku sehari-hari yang mencerminkan nilai-nilai Al-Qur’an tanpa harus selalu berkata banyak. Dalam hadits pun terdapat makna penting diam sebagai bentuk perlindungan. Nabi bersabda, “Perlindungan diri itu ada sepuluh bagian, yang sembilan terdapat dalam diam”.
Diam menjadi dakwah ketika kita memilih untuk tidak ikut dalam perkataan yang sia-sia, ketika kita menyebar kebaikan lewat perilaku tanpa banyak bicara, ketika kita menolong tanpa pamrih, dan ketika kita menjaga lisan agar tidak melukai. Dalam kesunyian itulah, hati memiliki ruang untuk mendengarkan panggilan Allah dan mengenalkan nilai-nilai-Nya melalui tindakan. Ketika seseorang membantu orang lain atas dasar kebaikan, bukan untuk dipuji, maka dia telah berdakwah dalam diam.
Contohnya sederhana: seorang siswa yang rajin menolong teman dalam kesulitan akademik tanpa mencari perhatian, seorang kakak yang menjaga adiknya tanpa harus menyuruh, seorang guru yang memberi perhatian lembut kepada murid yang tertinggal — semua itu adalah dakwah diam. Setiap langkah kecil itu menjadi sinyal bagi lingkungan bahwa Islam bukan sekadar kata-kata, tetapi hidup dalam keseharian.
Kekuatan dakwah diam juga terlihat dalam perjalanan dakwah Nabi Muhammad Saw di masa awal. Selama sekitar tiga tahun, beliau berdakwah secara rahasia kepada keluarga, sahabat dekat dan orang-orang terdekat, agar tidak menimbulkan perlawanan keras yang prematur. Strategi ini menunjukkan bahwa menabur benih keimanan tidak selalu butuh sorotan; kadang justru butuh ketulusan yang tersembunyi agar akar tumbuh kuat.
Namun demikian, dakwah diam tidak berarti membisu sepenuhnya ketika keadilan dan kebenaran harus dipertahankan. Ketika rentang dosa dan penindasan terlihat nyata, maka suara harus diangkat — tetapi tetap dengan hikmah dan akhlak. Dakwah diam dan terang bukan dua hal yang saling meniadakan, melainkan saling melengkapi. Ketika kondisi memungkinkan, dakwah terang bisa dilakukan; ketika situasi berisiko atau tak kondusif, dakwah dalam diam menjadi jalan yang lebih aman dan bijak.
Dalam konteks masa kini, terutama di era media sosial, dakwah diam semakin relevan. Karena kata-kata dapat “terus berbicara” setelah diunggah — sering tanpa filter, sering mempolarisasi. Dakwah diam akan mengajak kita untuk lebih berhati-hati: memilih untuk tak ikut dalam debat yang tak perlu, memilih untuk memberi kritik konstruktif dari balik tabir, memilih untuk menebar konten positif tanpa menebar kebencian. Ketika seseorang memandang profil kita — tanpa kita posting apa pun — kelakuan baik, sabar, santun dalam interaksi, jiwa toleran, itu semua berbicara.
Dakwah dalam diam adalah salah satu metode paling mulia karena ia murni ditujukan kepada Allah SWT tanpa berharap pujian manusia. Dalam diam, seseorang menjaga kemurnian niat, menghindari riya, dan tetap menyebarkan kebaikan melalui keteladanan. Pelaku dakwah diam tidak butuh sorotan publik, sebab pengaruhnya hadir lewat karakter yang menenangkan dan sikap yang konsisten mencerminkan nilai Islam. Ketika orang lain kemudian bertanya mengapa kita sabar, mengapa kita menolong tanpa pamrih, saat itulah kita bisa menjawab dengan sederhana, “Karena Allah.” Maka sejatinya dakwah sudah berjalan sebelum kata-kata terucap.
Dakwah dalam diam bukan berarti bungkam sepenuhnya, melainkan memilih diam dari hal remeh, diam dari kemunafikan, dan diam dari perkataan sia-sia, sambil tetap bersuara melalui tindakan nyata. Ia adalah bahasa hati yang tak terdengar telinga, tapi mampu menggugah jiwa. Kebaikan yang dilakukan dengan tenang dan tanpa kebisingan justru lebih bermakna, seperti embun yang lembut namun menyegarkan bumi. Maka semoga kita semua dapat menjadi bagian dari orang-orang yang berdakwah dalam diam dengan tulus dan istiqamah, agar setiap langkah kecil kita menjadi ladang pahala yang diterima di sisi Allah SWT.