Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Berita

Pelatihan Pendamping Disabilitas di Unismuh: Ubah Rasa Iba Menjadi Dukungan Kompetensi

×

Pelatihan Pendamping Disabilitas di Unismuh: Ubah Rasa Iba Menjadi Dukungan Kompetensi

Share this article


Khittah.co, Makassar
— Universitas Muhammadiyah Makassar (Unismuh) menggelar pelatihan pendamping mahasiswa disabilitas untuk membekali mahasiswa lintas program studi dengan pemahaman dasar inklusi, etika, serta keterampilan awal dalam mendampingi penyandang disabilitas. Pelatihan tahap pertama itu berlangsung di Ruang Rapat Wakil Rektor, Lantai 16 Gedung Iqra, Kampus Unismuh Makassar, Kamis, 4 Desember 2025.

Pelatihan diselenggarakan melalui Pusat Layanan Disabilitas (PUSDIS) di bawah koordinasi P4-DF (Pusat Pengembangan Pendidikan, Pembelajaran, dan Difabel), sebagai bagian dari komitmen kampus memperkuat layanan pendidikan inklusif. Pengampu kegiatan, Dr Ishaq Madeamin, M.Pd, menyebut pelatihan ini menjadi pintu masuk untuk menyiapkan pendamping yang memahami cara berpikir inklusif sebelum masuk pada keterampilan teknis dan etika pendampingan.

“Kegiatan kita hari ini adalah satu rangkaian awal untuk menyiapkan pendamping yang memahami cara berpikir inklusif,” ujar Ishaq dalam pengantar.

Ishaq menjelaskan, Unismuh telah menerima mahasiswa berkebutuhan khusus, antara lain dengan hambatan penglihatan, pendengaran, fisik, maupun intelektual. Karena itu, pendampingan diposisikan sebagai upaya memperluas akses dan mendorong kemandirian, bukan menggantikan peran mahasiswa dalam proses belajar. Ia menegaskan, relasi pendamping dan mahasiswa disabilitas semestinya dibangun di atas penghormatan pada kompetensi.

Pelatihan, lanjut Ishaq, dirancang dalam tiga tahap. Tahap pertama menekankan perubahan pola pikir; tahap kedua berfokus pada keterampilan teknis seperti mobilitas dan komunikasi; sedangkan tahap ketiga menajamkan etika serta peran pendamping dalam konteks pembelajaran inklusif. “Kita ingin mengubah rasa kasihan menjadi dorongan untuk memperkuat kemampuan mahasiswa yang kita dampingi,” kata Ishaq.

Wakil Rektor I Unismuh, Prof Andi Sukri Syamsuri, yang membuka kegiatan, menekankan bahwa perguruan tinggi berkewajiban memastikan akses setara bagi mahasiswa berkebutuhan khusus. Ia merujuk regulasi pendidikan tinggi yang menempatkan layanan inklusif sebagai bagian dari tanggung jawab institusi, termasuk dalam penilaian mutu dan akreditasi.

“Perguruan tinggi wajib memberikan treatment yang sama. Jika ada perbedaan kebutuhan, maka wajib ada cara untuk memediasinya, salah satunya dengan menyiapkan pendamping,” ujar Andi Sukri.

Suara difabel: dukungan lingkungan, bukan asumsi

Sesi materi menghadirkan tiga narasumber difabel: Yoga Indra Dewa, Ridwan M., dan Nurufadila. Ketiganya merupakan penyandang disabilitas netra dengan pengalaman studi, aktivitas organisasi, hingga prestasi olahraga.

Yoga membagikan kisah kehilangan penglihatan bertahap sejak sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama. Ia menilai daya bertahan seseorang sering ditentukan oleh dukungan lingkungan, bukan semata-mata kondisi disabilitas. “Tidak banyak orang yang bisa bertahan seperti saya. Saya bisa seperti ini karena lingkungan saya akhirnya mendukung,” ujarnya.

Ia mengingatkan para calon pendamping agar tidak menjadikan rasa kasihan sebagai dasar berinteraksi. Menurut Yoga, relasi pendampingan harus bertumpu pada pengetahuan tentang kebutuhan dan preferensi individu, bukan asumsi. Ia juga mengajak peserta pelatihan melihat kampus sebagai ruang bersama yang perlu diatur agar ramah bagi semua.

Nurufadila, mahasiswa Unismuh, menceritakan awal perkuliahannya yang berlangsung daring pada masa pandemi. Ia memilih memperkenalkan diri sebagai mahasiswa netra sejak awal, sekaligus menunjukkan kemampuannya dalam diskusi dan presentasi. “Saya harus memperlihatkan apa yang saya bisa supaya teman-teman mengubah mindset mereka,” ujarnya. Ia menegaskan, pendamping yang baik adalah yang membantu tanpa mengambil alih.

Sementara Ridwan menekankan pentingnya memahami ragam disabilitas serta membangun komunikasi terbuka. Ia mengusulkan agar pendamping mencatat pengalaman mereka sebagai bahan pembelajaran kolektif, bahkan disusun menjadi buku antologi untuk mendokumentasikan praktik baik pendampingan. Bagi Ridwan, dokumentasi itu penting agar layanan inklusif tidak bergantung pada individu, melainkan menjadi pengetahuan institusional yang bisa diwariskan.

Menuju layanan yang lebih terstruktur

Pelatihan juga diwarnai tanya jawab mengenai etika interaksi, batas kedekatan emosional antara pendamping dan penyandang disabilitas, serta tantangan teknis di lapangan. Para narasumber menekankan bahwa kunci pendampingan adalah konsistensi, kesabaran, dan kemauan belajar—karena kebutuhan setiap individu bisa berbeda.

Unismuh menargetkan pelatihan berlanjut ke tahap keterampilan teknis dan pendalaman etika, hingga penerbitan sertifikat pendamping. Kampus juga membuka peluang agar program pendampingan diakui sebagai bagian dari Surat Keterangan Pendamping Ijazah (SKPI) atau dikembangkan menjadi mata kuliah tertentu.

Melalui program ini, Unismuh berharap pendamping yang terlatih dapat menjadi penggerak budaya inklusi di kampus, sekaligus memastikan mahasiswa penyandang disabilitas belajar dan berkembang setara dengan mahasiswa lainnya.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner PMB UMSI

Leave a Reply