Oleh : Idham Malik
Sains dan Agama menurut Dr. Yustin Paisal, ST bukanlah hal baru, tapi sudah merupakan kodrat manusia sejak awal mula kehidupan di muka bumi. Hal ini saya coba tambahkan berdasarkan referensi serta pemahaman yang sejauh ini terbangun dalam pikiran saya.
Mengungkit sains dan agama bukan urusan sebentar, tapi urusan masa lalu yang jauh. Sains ngomong tentang teknis manusia untuk menaklukkan yang lain, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Di masa-masa awal, manusia menerapkan teknik tercanggih untuk membunuh hewan-hewan besar, secara kolektif dan dagingnya didistribusikan secara merata kepada anggota komunitas.
Dalam aktivitas membunuh dan bertahan hidup itu, dimana sains dan juga seni bermula, manusia menuai makna. Hewan-hewan itu, dibunuh dengan buas, namun sekaligus dihormati. Darahnya melumuri tombak atau anak panah yang didesain dengan penuh kesetangkupan. Darah hewan juga dipakai untuk menciptakan karya seni berupa cap-cap tangan, serta visualisasi hewan buruan. Harapannya, hewan yang dibunuh itu dapat kembali ke dunia asalnya, dunia alter ego, dunia di sana.
Bahkan, terdapat cerita, dari Buku Karens Amstrong terbaru, Fields Blood, orang-orang zaman berburu, ketika telah membantai hewan buruan, mengoleskan darah hewan itu ke tubuh mereka, lalu menangis di dekat hewan yang jadi korbannya. Kulit hewan itu pun digunakannya sebagai pakaian, manifestasi rasa hormat yang dalam terhadap hewan kurban.
Sejak saat itu, kita semakin sulit memisahkan antara sains dan religio (rasa takjub) yang sekarang diistilahkan dengan agama. Orang-orang dulu, jika kita bisa membuatnya hidup, lalu kita bertanya ke mereka, dari mana asal usul kepercayaan, agama dan teknik bertahan hidup? mereka pasti kesulitan menjawab, sebab agama menyatu dalam kehidupan mereka. Penghormatan itu sebagai bentuk kasih manusia terhadap mahluk yang telah berkorban untuk kelangsungan hidup mereka.
Masa-masa setelahnya, dalam kehidupan agraris, juga bukan zaman yang gampang. Masyarakat yang sudah menetap itu menderita kelemahan fisik serta munculnya beragam penyakit baru, lantaran mereka harus menyesuaikan dengan pangan berbasis biji-bijian. Selain itu, faktor-faktor alam menyebabkan kegagalan panen, cuaca, badai, serangan hama, menghantamnya ke dalam dunia makna, membuat manusia menaruh harapan pada kondisi alam yang baik. Maka, bumi dianggap sebagai pemelihara, tanah menjadi sesuatu yang sakral. Muncullah mitos-mitos terkait kesuburan, dewi kesuburan, dewa pemelihara, sapi-hewan penggarap sawah di belahan India, begitu dihormatinya sehingga menjadi haram untuk dimakan.
Di sini pula-lah muncul pemegang otoritas magis, yaitu dukun-dukun pemilik ilmu pengetahuan mengenai cuaca, astronomi, perubahan iklim. Dukun-dukun ini, menurut Anthonie van Peursen dalam buku Strategi kebudayaan begitu dihormati, hingga pengetahuan mereka dianggap sakral. Dukun-dukun ini pun mendapat posisi tinggi di tengah-tengah masyarakat, dan akhirnya sebagian dari dukun ini memanfaatkan otoritas pengetahuan-bercampur religi untuk kepentingan pribadinya saja.
Lantaran surplus pangan dengan implikasi bertambahnya jumlah manusia, sebagian kecil manusia mulai melatih dirinya dalam bentuk kekuatan dan teknik berperang, dan akhirnya melakukan penaklukan-penaklukan terhadap kampung dan para petani, mengharuskan petani menyerahkan sebagian hasil panennya kepada elit-elit yang membentuk dirinya sebagai aristokrat-bangsawan. Kemampuan tempur diperkuat, tentara diperbanyak untuk mengamankan aktivitas petani, dan menghalau komunitas lain merebut kawasan pertanian yang berada di bawah pengawasannya.
Elit-elit ini pun, dengan kekuatan memaksanya, mengeksploitasi sebagian rakyatnya untuk membangun tembok-tembok megah, irigasi yang kokoh, untuk membantu peningkatan produksi biji-bijian. Maka, berkembanglah teknik sipil, teknik arsitektur, rekayasa, serta teknik pertanian. Di samping itu, agama digunakan oleh para penguasa untuk menjaga semangat rakyatnya dalam memproduksi bahan pangan, rakyat harus patuh pada agama, sebagaimana patuhnya rakyat pada penguasa. Agama juga dalam segala lapisan zaman, selalu didukung oleh kekuasaan. Tidak ada agama tanpa kekuasaan besar yang menyokongnya. Tidak ada kekuasaan tanpa teknik dan pengetahuan mendalam yang menyokongnya.
Bisa kita bayangkan, fungsi elit ini, dalam hal menjaga keamanan, penegakan hukum, serta pengaturan air irigasi. Di sisi lain juga menyebabkan penderitaan yang sangat kepada para petani. Petani diperas hidupnya, dipaksa mengolah ladang, dengan ancaman kematian.
Masa berlanjut, akumulasi pengetahuan yang dilakukan oleh tuan-tuan yang melakukan refleksi terhadap peristiwa-peristiwa alam serta aktivitas manusia kebanyakan, akhirnya melahirkan banyak inovasi-inovasi. Manusia mulai terspesialisasi, dan manusia pun tereduksi dalam dunia kerja di masyarakat. Masing-masing orang mengambil peran, yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas. Yang disela-selanya diselingi oleh peperangan-peperangan antar kota, saling rebut dan rampas. Perang pun menjadi bagian penting, untuk mengatasi kekeringan makna hidup yang ditempa kebosanan. Perang dianggap sebagai bentuk pengalaman tertinggi suatu bangsa, menjernihkan jiwa, dan menajamkan insting-insting terdalam manusia. Dalam perang ini pula, teknologi atau dalam istilah sekarang disebut sains mendapat porsi penting. Manusia-manusia khusus berlomba-lomba menghasilkan senjata-senjata, para jendral berlomba-lomba memikirkan taktik dan strategi, para tentara dengan disiplin membentuk fisik dan membangun mental mereka.
Untuk itu, kita tidak bisa memisahkan sains dan agama, teknik dan relegio, kebutuhan hidup dan kerinduan akan makna hidup. Serta, hal-hal yang menyertainya, pengetahuan dan kekuasaan (politik), kepemilikan pribadi dan klaim teknik, dimana dukun-dukun dan pesona magic di dalamnya. Dimana magic, tidak lain adalah penguasaan manusia satu dengan manusia lainnya, dengan perantara pengetahuan.
* Penulis adalah pegiat literasi di Kota Makassar