Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipOpini

Islam dan Paradigma Sains (Bag.1)

×

Islam dan Paradigma Sains (Bag.1)

Share this article

Oleh : Mahram Mubarak

Hubungan Yang Terjadi Antara Sains dan Agama Islam

Dalam pandangan dunia Islam sendiri, sains dan agama memiliki dasar metafisika yang sama dan tujuan pengetahuan yang diwahyukan (‘Ilm hudhuri) maupun pengetahuan yang diupayakan (‘ilm hushuli) adalah mengungkapkan ayat-ayat Tuhan dan sifat-sifat-Nya kepada umat manusia. Jadi kita bisa mempertimbangkan kegiatan ilmiah sebagai bagian dari kewajiban agama, dengan catatan bahwa ia memiliki metodologi dan bahasannya sendiri.

Kita meyakini bahwa inkonsistensi yang dituduhkan kepada sains dan agama, seperti yang ditudingkan oleh sebagian orang dimasa lampau maupun dimasa kita sekarang ini, adalah karena diabaikannya keterbatasan sains oleh sebagian ilmuwan, atau karena campur tangan yang tak semestinya dari para otoritas agama dalam persoalan saintifik.

Demikian juga di Barat, beberapa orang ilmuwan terkemuka memandang kegiatan ilmiah sebagai bagian dari pengalaman beragama. Albert Einstein misalnya mengatakan, “Saya ingin tahu bagaimana Tuhan menciptakan dunia ini, saya tidak tertarik pada fenomena ini atau itu, pada spektrum ini atau itu. Saya ingin mengetahui pikiran-pikiran-Nya. Selebihnya adalah perincian-perincian saja”.

Pada abad pertengahan, sekitar abad ke-7 sampai ke-10 M, merupakan puncak dari tradisi intelektual Islam. Salah satu tokoh sentral, filsuf sekaligus ilmuwan dan juga seorang sufi, Ibn Sina adalah seorang intelektual yang filsafatnya memadukan antara pemikiran Yunani dan Islam namun memiliki keunikan dalam beberapa hal, ide-ide Ibn Sina memiliki pengaruh yang kuat bagi masa depan pemikiran Timur dan Barat.

Ibn Sina sendiri bisa kita jadikan sebuah sampel tokoh ensiklopedik yang multidisipliner, tidak hanya tampil sebagai seorang filsuf, tetapi juga seorang ilmuwan, dokter dan juga sufi, bahwa tradisi keilmuwan yang berkembang di abad pertengahan Islam merupakan tradisi intelektual yang integralistik.

Adapun misalnya ketika Al Ghazali mengkategorisasi ilmu sebagai ‘ilm syar’iyyah dan Ghair syar’iyyah, sementara Ibn Khaldun misalnya menyebut keduanya sebagai ‘ilm naqliyyah dan ‘ilm aqliyyah. Tetapi karena mereka menggunakan konsep ilmu yang integral dan menemukan basis yang menyatukan keduanya, dikotomi yang mereka lakukan lakukan hanyalah sekedar penjenisanbukan pemisahan apalagi penolakan validitas yang satu terhadap yang lain sebagai bidang atau disiplin ilmu yang sah.

Sekalipun al Ghazali lebih condong kepada ilmu-ilmu agama dengan menganggapnya fardhu ‘ain bagoi setiap Muslim untuk menuntutnya, dibandingkan dengan ilmu-ilmu umum, yang menurutnya fardhu kifayah untuk menuntutnya, paling tidak dia menganggap fardhu untuk menuntut kedua kelompok ilmu tersebut, sekaligus menerima validitas kedua ilmu tersebut.

Paradigma Sains Islam, Tokoh-Tokoh dan Varian Pemikirannya

Sebagaimana yang telah diuraikan pada bagian pendahuluan, bahwa titik gelisah kita dalam persoalan integrasi sains dan peradaban Islam tidak hanya muncul dari pendikotomian yang tajam terhadap inter disipliner keilmuan secara epistemologis, tetapi kita juga bisa mengacu kepada dampak yang ditimbulkan oleh pendikotomian itu sendiri, baik itu dalam lingkup sosial maupun lingkungan alam.

Pelbagai problem dan krisis global yang serius pada zaman memasuki millenium ketiga sekarang adalah krisis kompleks dan multidimensional. Krisis ekologis, kekerasan, dehumanisasi, moral, kriminalitas, kesenjangan sosial yang kian menganga, serta ancaman kelaparan serta penyakit yang masih menghantui dunia merupakan problem-problem yang saling terkait satu sama lain. Problem kehidupan pada era informasi ini juga telah merambah kehidupan domestik dan personal.

Maraknya kasus-kasus perceraian, penggunaan obat-obat terlarang, depresi, psikopat, skizofrenia, dan bunuh diri yang disebut oleh Fritjof Capra sebagai “penyakit-penyakit peradaban” ikut menambah keprihatinan para arif-cendikiawan. Mereka menyaksikan bahwa perkembangan sains dan teknoogi yang spektakuler pada abad ke-20 ternyata tidak selalu berkorelasi positif, dengan kesejahteraan umat manusia. Arnold Toynbee menyebutkan terjadinya ketimpangan yang sangat besar antara sains dan teknologi yang berkembang sedemikian pesat dan kearifan moral dan kemanusiaan yang sama sekali tidak berkembang, kalau tidak dikatakan malah mundur ke belakang.

Krisis-krisis yang terjadi tersebut bukanlah sepenuhnya kesalahan dari sains dan teknologi itu sendiri melainkan konstruk paradigma berpikir yang terbangun pada diri manusia yang cenderung eksploitatif terhadap alam, termasuk kepada sesamanya. Dan paradigma seperti ini banyak dicetuskan oleh para filosof yang berideologikan empiristik dan rasionalistik, dimana dikotomi subjek-objek menjadi fokus utama, kemudian menyebar kepada dikotomi antara empirik dan metaempirik.

Untuk itu para pemikir Muslim kontemporer sekarang ini, mencoba merekonstruksi sebuah paradigma baru untuk mengharmonisasikan alam, maka muncullah berbagai macam produk pemikiran, misalnya Ismail R. Al Faruqi dengan Islamization of Knowledgenya, Syed Naquib AL Attas dengan wacana pendidikan Islamnya, Ziauddin Sardar, Seyyed Hossein Nasr, dan Mehdi Gholsani dengan Sains Islamnya, meskipun begitu perbedaan wacana yang dikeluarkan oleh para pemikir Muslim tersebut sama-sama mencoba menjawab tantangan dari kebuntuan sains modern.

Disampinng itu, terdapat pula penentang terhadap adanya islamisasi seperti itu, misalnya datang dari Fazlur Rahman, seorang pemikir modernis yang memusatkan kajiannya pada Al Qur’an, bahwa menurutnya ilmu itu sendiri tidaklah buruk tetapi penyelahgunaannya yang buruk, dari situ dapat diketahui bahwa solusi yang ditawarkan Rahman bagi kebuntuan sains modern adalah dengan ditetapkannya etika dalam ilmu pengetahuan, pandangan Rahman ini nampaknya sama dengan Harun Nasution yang menganggap ilmu pengetahuan itu pada dasarnya adalah netral.

Atau mungkin juga pandangan lain datang dari Kuntowijoyo dimana ia tidak lagi memakai islamisasi pengetahuan, dan ingin mendorong supaya gerakan intelektual umat sekarang ini melangkah lebih jauh, dan mengganti islamisasi pengetahuan menjadi pengilmuan Islam. Dari reaktif menjadi proaktif, pengilmuan Islam adalah proses, paradigma Islam adalah hasil, sedangkan Islam sebagai ilmu adalah proses dan hasil sekaligus. Namun, bagaimanapun para pemikir tersebut memiliki spirit yang sama yaitu menjawab tantangan modernitas. Pembahasan kita akan banyak mengurai proyek dari sains Islam itu sendiri dengan proyek filsafat integralismenya dengan iringan nafas sufistik.

Integralisme bisa dipandang sebagai sebuah poststrukturalisme Timur. Berbeda dengan poststrukturalisme Barat yang berhenti dengan dekonstruksi totalnya, hal ini bisa ditandai dengan hadirnya filsuf-filsuf postmodernis. Filsafat integralisme melakukan rekonstruksi bertahap dimana filsafat Barat adalah salah satu bagiannya.Integralisme melihat segala sesuatu dari partikel fundamental hingga alam semesta membentuk sebuah hierarki seperti halnya pandangan sains modern. Akan tetapi, integralisme juga meletakkan hierarki ini dalam suatu hierarki yang lebih besar dengan memasukkan alam metafisika atau bisa juga kita sebut alam akhirat dan ciptaan Tuhan itu sendiri sebagai penghujung jenjang material.

Dalam perspektif sains sendiri, menurut Thomas Kuhn bahwa perlawanan seumur hidup terhadap paradigma baru bagi mereka yang sudah terikat dengan paradigma lama bukanlah merupakan pelanggaran standar-standar ilmiah, melainkan ratio dari hakikat riset ilmiah itu sendiri. Jadi, terjadinya sebuah revolusi dalam paradigma saintifik, yakni dari modern ke paradigma Islam adalah sangat mungkin terjadi karena hal tersebut memang merupakan tuntutan dari riset ilmiah.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner UNISMUH MAKASSAR

Leave a Reply