Oleh: Syahrul Al Farabi
(Koordinator JIMM Takalar, Alumni Pascasarjana UNM)
KHITTAH.co – Kartini yang kita kenal bersama adalah sosok perempuan yang gigih memperjuangkan emansipasi perempuan pada masanya (1879-1904). Dia adalah sosok perempuan modern hasil didikan barat yang terus mengedukasi bangsanya (khusunya perempuan pribumi) untuk keluar dari lubang gelap kebodohan menuju alam terang pencerahan.
Menurut Pramoedya, Kartini adalah sang pemula dari sejarah modern Indonesia. Dialah yang menggodok aspirasi-aspirasi kemajuan di Indonesia yang untuk pertama kali muncul di Demak-Kudus-Jepara sejak pertengahan abad pra-kemerdekaan. Dialah sosok pemikir dan konseptor kemajuan. Melalui dirinya, kemajuan dirumuskan, dituliskan, dan diaktualkan untuk kepentingan ‘nation’ (bangsa) Indonesia.
April adalah bulan kelahiran Kartini. Diantara kita ada yang melihatnya sebagai moment untuk merayakan dan membikinkan kegiatan untuk menularkan semangat Kartini. Sebuah semangat emansipatoris, semangat kebebasan dan pengetahuan. Kartini, melalui semangat itu, berharap bisa berbuat lebih pada segala kemelaratan dan penderitaan orang – orang di sekitarnya. Dia mengakuinya sendiri melalui suratnya bertanggal 17 Mei 1902 kepada Estelle, demikian dia menulis ;
“Malulah aku terhadap keangkaraanku. Aku renungi dan pikirkan keadaanku sendiri, dan di luar sana begitu banyak derita dan kemelaratan melingkungi kami. Seketika itu juga seakan udara menggetar oleh ratap-tangis, erang dan rintih orang – orang di sekelilingku. Dan lebih keras daripada erang dan rintih itu, mendesing dan menderu di kupingku : Kerja! Kerja!Kerja! Perjuangkan kebebasanmu! Baru kemudian kalau kau telah bebaskan dirimu sendiri dengan kerja, dapatlah kau menolong yang lain! Kerja! Kerja! Aku dengar itu begitu jelas, nampak tertulis di depan mataku…”
Demikian mungkin sedikit keagungan jiwa Kartini. Keagungan yang dibentuk dari kepedulian rasa cinta, menghargai, dan ikut memikirkan kepedihan dan penderitan rakyatnya pada waktu itu, di atas penderitaanya sendiri sebagai perempuan dalam bingkai feodal tanpa kebebasan. Dia harus hidup terpisah (dipingit) dari masyarakatnya, namun hati dan pikirannya senantiasa tercurah pada mereka, katanya kepada Stella, “Aku sangat bangga, Stella, disebut dengan satu nafas dengan Rakyatku”.
Demikianlah sejarah dan narasi Kartini hadir pada pahaman kita sekarang. Melalui surat-suratnya, dapat kita baca semangat kemajuan luar biasa perempuan kelahiran Jepara ini. Semangat yang telah menginspirasi dan menggerakkan organisasi – organisasi politik, kebudayaan, dan sosial yang muncul kemudian. WR Soepratman, misalnya, adalah salah satu tokoh yang terinspirasi dari semangat ‘nation’ Kartini, hingga dia menggubah sebuah lagu dengan judul “Ibu Kita Kartini” yang masih sering dinyanyikan hingga sekarang.
Religiusitas
Terlepas dari segala tafsir sosial dan konsep emansipasi yang kita baca dari pikiran ataupun surat-surat Kartini, ada baiknya juga pembaca melihat beberapa kepingan Religiusitas atau kondisi bathin Kartini. Hal ini cukup penting, sebab kata Pramoedya, menulis (dan membaca) tentang seseorang bisa menjadi sia-sia, kalau sebelumnya tidak diketahui kondisi kejiwaanya. Sia-sia karena mungkin sekali studi yang banyak tentang seseorang itu akhirnya sampai pada pengetahuan, padahal sebenarnya orang yang dipelajarinya ternyata cuma pasien penyakit saraf.
Demikian juga Kartini, yang telah menjadi kiblat emansipasi evolusioner bagi banyak perempuan di Indoneisa dan dunia barat (Eropa), bahkan perempuan ini telah dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional. Sebagai tokoh perempuan yang menjadi panutan dan inspirasi dalam gerakan kebebasan dan kepedulian sosial, ada baiknya juga kita melihat sisi religiusitas atau keyakinan (bathin) Kartini.
Sebagai seorang bangsawan Jepara, Kartini lahir dan tumbuh dalam lingkungan agama Islam. Hampir semua keluarganya memeluk agama ini. Namun, bagi Kartini, Islam yang dipeluknya hanyalah sebuah warisan keyakinan semata. Islam yang diajarkan padanya adalah Islam yang tertutup (ekslusif) bagi penafsiran ataupun pertanyaan. Oleh sebab itu, identitas keislamannya hanyalah sekedar nama, tanpa ritual ibadah, apalagi pengetahuan tentang Islam yang lebih dalam.
Pada tahun 1899, dia menulis kepada Stella, “Tentang ajaran agama Islam itu, tak dapat aku menceritakannya, Stella, sebab Ia melarang para pemeluknya mempercakapkannya dengan orang lain yang tidak seiman. Dan bagaimanapun, aku adalah seorang Muslimat, karena leluhur ku beragama Islam. Bagaimana mungkin aku bisa mencintai agamaku, kalau aku tidak mengenalnya? Tidak boleh mengetahuinya? Qur’an terlalu suci untuk diterjemahkan dalam bahasa apapun. Di sini tiada seorang pun mengenal bahasa Arab.”
Demikianlah pengakuan Kartini, Islam sampai kepadanya sebagai sesuatu yang dangkal dan tak terjamah. Sebuah pengalaman beragama yang miskin akan interpretasi sosial. Islam bagi Kartini sekedar jadi barang warisan yang karena tidak dikenalnya dengan baik disimpan saja dalam lemari, kata Pramoedya.
Dibandingkan dengan Islam, nampaknya pengaruh ajaran Buddha lebih kuat tertanam pada dirinya. Untuk hal ini, dia misalnya mengakui sendiri bahwa dia adalah seorang Buddhisme,”Aku adalah anak Buddha’, dan sebutan itu saja sudah cukup jadi alasan bagiku untuk tidak makan daging”, tulisnya di suratnya yang bertanggal 27 Oktober 1902. Pada surat ini, dia menceritakan alasan dia kemudian meyakini ajaran ini. Dia pernah sakit, dokter sudah angkat tangan, dan satu-satunya yang bisa menyembuhkan penyakitnya adalah seorang Tionghoa yang menawarkan kesembuhan dengan bekas air abu sesaji yang dia persembahkan kepada sebuah patung Arca yang kudus. Sejak saat itulah dia mengaku dirinya sebagai anak Buddha.
Selain Buddhisme, Kartini juga adalah seorang penganut Hindu. Dia terinspirasi oleh sosok Pandita Ramabai di India. Ramabai pada mulanya adalah seorang Hindu, namun berpindah keyakinan ke Nasrani akibat kecewa dan jadi korban kedzaliman oleh kaum Agamawan. Oleh sebab itulah, sosok perempuan ini akhirnya memperjuangkan kebebasan perempuan dari doktrin Patriarki Hindu. Dia melarikan diri ke Inggris dan bicara di forum-forum resmi tentang kondisi bangsanya. Kondisi perempuan yang hidup dalam kenistaan dan pendzaliman yang luar biasa oleh doktrin agama. Salah satu dari kekejaman itu adalah perempuan tidak diperkenankan mendengar atau membaca Kitab Suci Veda. Kalau sampai mereka didapati mendengar, maka telinganya akan dimasukkan dalam air yang mendidih hingga meleleh.
Pada Ramabailah Kartini terinspirasi. Sebuah semangat yang juga melahirkan kepedulian dan cinta pada bangsanya. Tak peduli akan keyakinan Ramabai, Kartini mengikuti jalan hidup dan pikiran perempuan Hindu ini.
Dari sinilah, Kartini bisa digolongkan sebagai penganut singkretisme yang kuat. Dia telah memadukan beberapa paham-paham atau aliran-aliran agama atau kepercayaan. Lewat daya singkretis ini, Kartini dengan amat baik mempertahankan keyakinan ‘asal’ leluhurnya tentang kebatinan. Semacam kepercayaan pada ‘hakikat’ sebuah ajaran tanpa melihat bentuk lahiriah ajaran tersebut. Kepercayaan yang benar-benar bersifat Jawa. Semua agama sama saja menurut Kartini. Namun yang paling penting, bagaimana menjalankan ajaran inti dari agama itu. Dia, dengan demikian, tidak terjebak pada dogma dan ritual, melainkan dia menjalankan sebaik – baiknya perintah agama, perintah Tuhan, yakni berbuat kebajikan dan mencintai sesama manusia.