Oleh : Muh. Asratillah Senge
Siapa yang tak mengenal si kecil Sutan Sjahrir. Orang yang berhasil walaupun dipenuhi kontroversi, membawa soal kedaulatan Republik Indonesia ke meja perundingan Internasional, andai tidak, saat itu Indonesia akan menjadi bulan-bulanan agresi militer tentara sekutu yang bersenjata lengkap. Bung Sjahrir memperlihatkan, terkadang diplomasi lebih ampuh ketimbang amunisi, menunjukkan perundingan terkadang lebih elegan dibanding perang, menegaskan terkadang kata lebih efektif daripada senjata.
Bung Sjahrir lebih condong kepada kata dibanding senjata, karena kata lebih menjamin kebebasan ketimbang senjata. Tapi yang jadi pokok pikiran Sjahrir adalah kebebasan, bukan kata, karena kata juga kerap menjadi instrumen rezim (rezim akademik maupun rezim politik) dalam mengangkangi kebebasan.
Soal rezim akademik yang mengkebiri kebebasan akademik itu sendiri, sjahrir menuliskan pemberontakannya dalam Indoneische Overpeinzingen, :”Lama –kelamaan saya tau bagaimana membebaskan diri dari pembudakan ilmu resmi. Otoritas ilmiah tidak terlalu berarti bagiku secara batin. Dengan begitu seolah-olah jiwaku semakin bebas, tidak ada nama besar dan tenar, yang resmi maupun tidak resmi, yang menguasai pikiranku untuk membutakanku dengan kehebatannya dan membuang atau membantai semua kegiatan orisinalku…yang lebih penting bagiku adalah bagaimana tiba pada kebenaran harmonis dan pribadi sifatnya”. Dan Bung Sjahrir meyakini bahwa “Seorang pemegang titel itu hanya pemegang titel sahadja, tidak lebih dari itu.”
Di dalam Indoneische Overpeinzingen, Sjahrir tak hanya mengeluh soal kultur akademik, tapi dia juga banyak membincang tentang rasa kepemilikan akan tanah-air atau tumpah-darah tertentu, katakanlah nasionalisme. Tapi jika kita membuka buku sejarah, memang saat itu, ada beberapa kejadian yang mengganggu cita rasa humanisme Sjahrir. Ambillah contoh saat itu di daratan eropa, ada kecenderungan untuk menempatkan nation pada posisi yang lebih superior dibanding individu warga negara. Kecenderungan inipun mengambil bentuk dalam rupa gerakan Nazi (Hitler) di Jerman serta Fasisme di Italia (Mussolini) dan Spanyol (Franco).
Di Belanda sendiri di mana Sjahrir menuntut ilmu saat itu, dan dikenal sebagai kampium individualisme, telah populer apa yang disebut oleh Sjahrir dengan pandangan organik tentang hidup dan politik. Di mana negara secara organik-biologik dianggap menjadi “bentuk yang lebih tinggi diantara semua pilihan bentuk masyarakat mansia. Dan tentunya ini akan mengarah pada staatsabsolutisme. Bahkan di The Kyoto School of Philosophy di Jepang, mengembangkan hal serupa. Bahwa nilai etika baru akan mencapai kesempurnaan ketika semuanya diambil alih oleh negara. Hanya negara yang menjamin kesempurnaan etis. Kesempurnaan etis akan diterjemahkan secara konkrit dalam rupa ekonomi persemakmuran dalam naungan jepang.
Mungkin atas latar belakang itulah Sjahrir mengajak kita untuk mawas diri dalam menghadapi “Nasionalisme”. Tatkala Nasionalisme dianggap sebagai semacam azimat yang dapat menyelamatkan rakyat banyak dari nistanya penjajahan asing, Sjahrir justru mengatakan bahwa terkadang Nasionalisme tak lebih dari ekspresi “rasa rendah diri”. Terkadang Nasionalisme sekedar ungkapan inferioritas kaum terjajah dihadapan tatapan dan ujung senapan Sang Penjajah. Dan hal ini mengingatkan kita kepada seorang kritikus intelektual asal Prancis Julia Benda, yang menaruh rasa curiga pada nasionalisme, karena bisa jadi rasa nasionalisme hanyalah bentuk korup dari kecendekiaan serta slogan untuk menutupi nafsu tuk berkuasa.
Bukannya Sjahrir membenci Nasionalisme, sebab dia termasuk orang yang mewakafkan diri sepenuhnya demi meraih kemerdekaan. Sjahrir seakan-akan sekedar ingin menunjukkan, bahwa nasionalisme sama fananya dengan manusia, jika manusia adalah makhlukh yang paradoks, begitu pula dengan nasionalisme. Saat Nasionalisme menjadi semacam tungku yang membakar semangat anak-anak muda dalam elan kemerdekaan, Sjahrir datang untuk mendinginkannya. Sebab bagi Sjahrir kemerdekaan nasional tidaklah final. Kemerdekaan hanyalah ruang dari perjuangan politik, bagi terbukanya kemungkinan-kemungkinan bagi rakyat untuk merealisasikan kemanusiaanya serta menunjukkan bakatnya dalam kebebasan.
Sjahrir pun mengingatkan, bahwa tanpa demokrasi, nasionalisme akan bersekutu dengan feodalisme. Dan persekutuan yang tak suci ini akan melahirkan totalitarianisme. Apapun alasan, asal-usul atau klaimnya, toalitarianisme pasti bermuara pada pengkebirian kebebasan manusia. Di sini ada dilema memang, di satu sisi kita dituntut sekaligus menuntut untuk saling mengikatkan diri dalam nation tertentu, tapi di sisi lain kita juga menuntut agar ikatan tersebut tak membuat nafas kebebasan kita terengah-engah karena sesak. Bagi Sjahrir kebebasan adalah titik optimum untuk mempertemukan prefrensi sosial dan preferensi individu.
Tapi kebebasan hanya bisa menjadi efektif, jika disertai dengan kecintaan dan rasa percaya kepada manusia. Walaupun Sjahrir secara pemikiran politik berada di kubu sosialisme, tapi kecintaanya pada manusia dan kemanusiaan membawanya kepada sikap tengahan, ini terbukti dari ucapannya, “…selama dunia tempat kita hidup dikuasai oleh modal, kita harus memastikan bahwa kita idak memiliki kebencian yang dalam terhadap kapitalisme. Ini menyangkut negeri kita yang dibuka untuk kegiatan ekonomi asing sejauh mungkin atau selalu dengan syarat tidak merusak kesejahteraan rakyat kita. Begitu pula dengan masuknya orang asing ke negara kita..”. Ada yang jauh lebih luhur ketimbang label-label aliran dan kelompok (islamisme, sosialisme, komunisme, kapitalisme), ada yang jauh lebih penting dibanding batas-batas geografi yaitu manusia.
Berbicara soal nasionalisme, Ideologi Pancasila, doktrin NKRI, Ideologi negara, empat pilar dan sebagainya, adalah soal identitas. Mendaku sebuah identitas bukanlah dosa, tapi harus disertasi dengan keinsafan bahwa “no purely today is purely one thing” kata Edward Said, tak seorang pun di hari ini yang secara utuh dan murni hanya terdiri dari satu hal (identitas) saja. Atau seperti yang dikemukakan oleh Julia Kristeva, bahwa pada hakikatnya, manusia sang pendaku identitas merupakan “subjek-dalam-proses”, subjek yang belum rampung, yang selalu dalam proses kemenjadian (boceming). Sehingga sebenarnya yang terjadi adalah “Identitas-identitas kita tak putus-putusnya dipersoalkan, digugat, dibatalkan” lanjut Kristeva