Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipLiterasiNasionalOpini

Mencari Damai Melalui Teologi

×

Mencari Damai Melalui Teologi

Share this article
Keterangan : Suasana Saat Berlangsungnya Bedah Buku Teologi Damai di Ruang Redaksi Harian Fajar

(Essay Pengantar Bedah Buku Teologi Damai : Rekonstruksi Paradigmatik Relasi Kristen dan Islam)*

 

Oleh : Muh. Asratillah Senge

 

Teologi, Kepedulian dan Toleransi

Buku yang berjudul Teologi Damai : Rekonstruksi Paradigmatik Relasi Kristen dan Islam (2016) yang ditulis oleh Dr. Abdullah A.Thalib, M.Ag, bukanlah buku yang ditulis untuk dibaca sambil lalu. Isi buku ini cukup padat dan akan membuat repot para pembaca yang belum pernah terpapar oleh wacana-wacana teologi dasar. Tapi yang terpenting adalah kehadiran buku ini cukuplah penting karena dua alasan.

Alasan yang Pertama, setelah membaca buku ini saya berani mengambil kesimpulan, bahwa buku ini ditulis bukan hanya didasari oleh motif akademik an-sich, tetapi lebih didasari oleh motif kepedulian (care). Penulis Teologi Damai bagi saya telah memberikan semacam ketauladanan bahwa aktivitas akademik tanpa adanya kepedulian terhadap problem-problem konkret kemanusiaan hanya melahirkan akademisi menara gading, akademisi yang terjebak pada verbalisme belaka.

Alasan yang kedua, buku ini akan membawa kita melampaui toleransi antar umat beragama yang sifatnya minimalis-prosedural belaka. Saya yakin kata toleransi adalah kata yang hampir otomatis, muncul begitu saja dalam benak kita, saat membincang soal relasi antar umat beragama. Kata ini awalnya dipopulerkan oleh rezim orde baru, rezim yang menganggap pertumbuhan ekonomi yang mempersyaratkan stabilitas politik sebagai segala-galanya. Dan salah satu kata sakti untuk mewujudkan stabilitas politik saat itu adalah “toleransi”. Tapi sekali lagi toleransi orde baru hanyalah toleransi minimalis-prosedural belaka, yang secara kasat mata meniadakan konflik tapi memendam rasa benci ke tingkatan yang tersembunyi (latency), dan bisa membuncah kapan saja.

Maka dari itu kita membutuhkan toleransi yang lebih substansial, toleransi yang mendorong setiap kaum beragama untuk saling memahami bahkan saling menghidupi, bukan saling mengekslusi. Salah satu jalan yang bisa dilalui untuk mewujudkan itu adalah dengan memberikan bobot teologis yang berkualitas terhadap toleransi yang ada. Kita harus memperkenalkan dengan penuh kesantunan teologi agama yang kita anut , sekaligus mendengar dengan seksama teologi agama yang lain. Tapi yang ingin diraih dalam dialog teologi tersebut bukanlah dalam rangka mempertajam perbedaan tetapi mencoba mencari irisan-irisan aspirasi teologis yang sama. Dan soal ini sang penulis buku menuliskan pada pendahuluan bukunya “secara konseptual, perspektif kedamaian dalam agama-agama memiliki makna sama dalam perspektif ontologisnya”.

Teologi Damai dan Relevansinya

Essay ini sebenarnya tak bertujuan untuk mengulas tuntas dan detail soal konten buku Teologi Damai, karena kita bisa mengaksesnya dengan membaca langsung bukunya. Salah satu tujuaan essay ini adalah mencoba membahas relevansi mendaras buku Teologi Damai. Walaupun buku Teologi Damai mengkhususkan dirinya pada mendialogkan antara Teologi Islam dan Teologi Katolik secara tematik, tetapi ikhtiar untuk mempercakapkan teologi agama sendiri dengan teologi ama lain adalah sebuah keberanian dan memiliki relevansi etis yang cukup luas.

Lalu yang menjadi pertanyaan , dimana letak relevansi mendaras buku “Teologi Damai” ?. Melalui essay ini saya akan memaparkan tiga argumentasi yang akan menunjukkan relevansi mendaras buku tersebut. Pertama, kita tidak bisa nafikan bahwa “pengalaman negatif” adalah sesuatu yang sifatnya konstitutif pada eksistensi manusia. Yang saya maksud “pengalaman negatif” di sini adalah pengalaman yang mengundang derita, semisal perang, dusta, pengkhianatan, kekerasan, kejahatan, eksploitasi kemanusiaan, korupsi, perbudakan dll.

Karena pengalaman negatif adalah sesuatu konstitutif, maka ekspektasi/harapan serta intensi/hasrat terhap negasi akan “pengalaman negatif” merupakan sesuatu yang perennial pula pada diri manusia. Ekspektasi dan intensi inilah yang dalam Teologi Islam disebut dengan istilah “salam” yang artinya selamat, damai, tentram, terhormat dan tidak cacat. Atau dalam perjanjian lama (old testament) disebut dengan istilah “shalom” (Ibrani) yang juga searti dengan kata salvation (inggris), salvus (latin), heil (jerman) dan soteria (yunani), yang semuanya berarti selamat, utuh, tidak ada yang rusak, keadaan sehat, bebas dari kesulitan dan bahaya ataupun penyelamatan. Maka dari itu buku Teologi Damai adalah salah satu manifestasi intelektual dari harapan tersebut.

 

Argumentasi kedua,bahwa salah satu yang sering memiliki peran vital dalam “pengalaman negatif” khususnya tindak kekerasan adalah agama. Walaupun secara normatif kita bisa mengatakan bahwa tak ada agama yang mengaspirasikan kekerasan, tapi kenyataan perilaku para penganutnya berkata lain. Yang menjadi pertanyaan kita kemudian adalah, bagaimana bisa agama menjadi penyebab kekerasan ? ada tiga hal yang menyebabkan. Hal yang pertama adalah agama rentan untuk dijadikan Ideologi dominasi, dengan kata lain setiap kekuasaan ataupun rezim selalu mencari legitimasi/pembenaran terhadap setiap perilaku kekuasaannya (luhur ataupun bejat) dan agama menyediakan hal tersebut, agama rentan dijadikan sebagai alat untuk memistifikasi motif kekuasaan yang seringkali bejat.

Hal yang Kedua adalah, agama merupakan sumber dari identitas. Setiap manusia membutuhkan titik koordinat pasti nan stabil dalam ruang sosialnya, dan agama menyediakan ini. Untuk konteks Indonesia agama seringkali dijadikan sebagai rujukan pertama dan utama untuk menentukan koordinat tersebut. Maka dari itu berkompromi atau usaha untuk mencoba memahami koordinat agama lain, akan dianggap sebagai yang bisa melahirkan “kepanikan/kecemasan umat”, akan dianggap manifestasi iman yang lemah. Tapi buku Teologi Damai menawarkan semacam ukuran baru soal “kekuatan iman”, bahwa “kekuatan iman” justru akan terlihat melalui kesediaan kita mendengar dan memahami perpsektif agama lain.

Hal yag ketiga adalah soal legitimasi hubungan sosial. Kenapa demokrasi seringkali mentah ? mengapa konsep HAM seringkali ditolak dan dianggap konsep yang tidak islami ? karena sebagian kelompok menganggap bahwa konsep-konsep tersebut bersumber dari tradisi intelektual selain islam. Hal ini menunjukkan bahwa kebaragamaan kita adalah keberagamaan yang terkadang terperangkapn dalam simbol dan istilah-istilah belaka. Perlu ada usaha teologis untuk melampaui istilah/simbol/hutan rimba perbendaharaan kata masing-masing teologi, agar bisa melihat kalimatun sawa di mana kita berbagi aspirasi dengan agama-agama lain.

Argumentasi ketiga soal kenapa buku teologi damai relevan untuk didaras adalah perlunya kita untuk sejenak mengambil jarak dengan keyakinan agama sendiri, lalu mengapa ? minimal kita bisa menyadari bahwa keyakinan yang kita anut bukanlah sesuatu yang a-historis , bukanlah sesuatu yang memiliki kemutlakan sebagaimana kemutlakanNya. Selain itu, agar kita bisa mengambil manfaat dari kritik yang disampaikan oleh perspektif agama lain terhadap perspektif agama yang kita anut. Cara terbaik untuk menanggapi kritik bukanlah dengan apologia tetapi dengan transformasi, dengan kata lain perpsektif, teks ataupun teologi agama lain ada dalam rangka memperlua cakrawala teologi kita sendiri. Hal ini terlihat jelas dalam peradaban Arab-Islam abad pertengahan, di mana pertumbuhan nan subur dari khazanah intelektual Islam adalah hasil dari interaksi dengan yang lain (the others). Fiqh, falsafah, ilmu pengetahuan, ilmu kalam bahkan tasawwuf epistemik berkembang diakibatkan oleh usaha penerjamahan, dialog dan peminjaman unsur-usnur intelektual dari Yunan klasik, para pendeta kristen Nestorian (yang kebetulan salah satu pewaris tradisi yunani klasih saat itu), tradisi hindustan, tradisi persia yang pagan, tradisi romawi kristen dan sebagainya.

Tetapi yang terpenting adalah teologi harus melampaui dirinya hanya sebagai fiedes quaerens intelectum (iman yang mencari pendasaran rasional). Seharusnya teologi juga ada dalam rangka untuk mencipakan semacam understand ability dan communicability di antara tradisi agama-agama. Karepa pada dasarnya muara semua teologi adalah praksis-etik, dan praksis yang berkeadaban hanya bisa lahir jika dimulai dari keinginan untuk saling berkomunikasi dan memahami.

Perlunya Theological Literacy

Di era masyarakat informasi saat ini, sebagaimana generasi kita membutuhkan kterampilan dalam memanfaatkan secara tepat guna perangkat-perangkat teknologi informasi, begitu pula dalam hal beragama. Kita membutuhkan apa yang disebut oleh Robert Cumming Neville (2002) dengan istilah “theological literacy” atau “kefasihan teologis”.

Kefasihan teologis adalah kemampuan untuk mengakses, keberanian untuk membaca sekaligus memhami teologi agama-agama. Sebagaimana kefasihan teknologi informasi merupakan prasyarat agar bisa berkomunikasi dengan warga medsos, maka kefasihan teologi adalah prasyarat untuk bergaul sekaligus berdialog dengan penganut agama lain. Bahkan kefasihan teologi merupakan tuntutan sine qua non agar bisa menghayati agama, di mana globalisasi sudah menjadi sesuatu yang tak terelakkan.

Lalu kenapa kita perlu berdialog ?, sederhanya agar kita bisa saling memahami. Dan tentu saja, hasil yang kita harapkan dari dialog agama, bukanlah kesepakatan ataupun kesepahaman melainkan kesalingpengertian di antara agama-agama. Tanpa usaha dialog, teologi hanya berkutat pada spekulasi dan imajinasi agama “rumah sendiri”. Raimundo Panikkar (1994) pernah mengatakan bahwa dialog yang baik akan menyuburkan dan memperkaya, bukannya menggoyahkan dan melemahkan iman umat dari agama “rumah sendiri”.

 

*) Essay ini diasampaikan pada acara bedah buku “Teologi Damai” yang dilaksanakan pada tanggal 14 Oktober 2017, di ruang redaksi harian Fajar kota Makassar.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply