
KHITTAH.CO,. MAKASSAR — Keputusan Presiden Prabowo Subianto memberikan rehabilitasi kepada mantan Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry, Ira Puspadewi, memunculkan perdebatan luas mengenai batas kewenangan eksekutif dan implikasinya bagi prinsip kepastian hukum dalam perkara korupsi.
Akademisi Hukum yang juga Wakil Dekan I Fakultas Hukum (FH) Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, Andika Aulia, SH, MH, menilai keputusan tersebut harus dipahami secara hati-hati dalam kerangka konstitusi dan dinamika penegakan hukum. Saat ditemui di Kampus Unismuh Makassar, Rabu, 26 November 2025, Ia menyebut rehabilitasi sebagai mekanisme korektif yang diatur jelas dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Menurut Andika, kewenangan Presiden dalam memberikan rehabilitasi merupakan hak prerogatif yang dijamin Pasal 14 ayat (1) UUD 1945. Presiden dapat memberikan grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
Makna Rehabilitasi
Rehabilitasi, kata dia, berbeda dengan grasi dan tidak dapat disamakan dengan amnesti atau abolisi. Grasi menghapus pelaksanaan pidana, sedangkan rehabilitasi memulihkan nama baik seseorang tanpa membatalkan putusan pengadilan. Adapun amnesti menghapus segala akibat pidana dengan pertimbangan DPR, dan abolisi menghentikan proses pidana sebelum putusan inkracht.
“Dalam konteks Ira Puspadewi, rehabilitasi tidak mengubah isi putusan. Putusan pengadilan tetap final, tetapi hak sipil dan nama baiknya dipulihkan oleh Presiden sesuai mekanisme konstitusi,” ujarnya.
Aspirasi Publik
Di sisi lain, Andika menyoroti munculnya penjelasan pemerintah bahwa keputusan ini juga mempertimbangkan aspirasi masyarakat dan usulan DPR. Ia mengingatkan bahwa konstitusi tidak mencantumkan aspirasi publik sebagai prasyarat formil pemberian rehabilitasi.
Aspirasi masyarakat dapat menjadi masukan, tetapi tidak dapat berdiri sendiri sebagai dasar keputusan negara. Ia menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara partisipasi publik dan independensi peradilan.
“Partisipasi masyarakat penting sebagai kontrol demokratis, tetapi tidak boleh menggantikan syarat-syarat hukum yang sudah digariskan konstitusi,” katanya.
Menanggapi kekhawatiran publik mengenai finalitas putusan pengadilan, Andika menegaskan bahwa rehabilitasi tidak bertentangan dengan asas kepastian hukum. Putusan pengadilan tetap merupakan kebenaran hukum yang mengikat, namun Presiden diberi ruang untuk mengoreksi keadaan tertentu ketika ditemukan adanya ketidakadilan substantif atau kekeliruan penerapan hukum.
Dalam kasus ini, rehabilitasi menyebabkan status terpidana Ira Puspadewi gugur dan pelaksanaan pidana dihentikan. Namun, menurutnya, langkah tersebut merupakan bagian dari mekanisme hukum yang sah dan telah diatur dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Preseden Sensitif
Meski demikian, ia mengingatkan bahwa kasus ini dapat memunculkan preseden sensitif, terutama karena korupsi dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa atau extraordinary crime. Penanganan korupsi selama ini mensyaratkan konsistensi dan ketegasan agar memberi efek jera dan menutup ruang negosiasi politik.
“Jika rehabilitasi tidak disertai argumentasi hukum yang kuat, publik dapat menilai bahwa sanksi atas korupsi bisa dinegosiasikan. Namun, bila rehabilitasi diberikan karena adanya kekeliruan hukum yang jelas, maka itu justru menjadi catatan penting bagi pembenahan penegakan hukum,” ujarnya.
Andika juga menekankan bahwa pemulihan hak-hak sipil Ira Puspadewi setelah rehabilitasi tidak serta-merta menyelesaikan persoalan integritas pejabat publik. Agenda pemberantasan korupsi, menurut dia, harus tetap berjalan dalam koridor yang tegas dan konsisten.
Meski demikian, ia menilai rehabilitasi tidak perlu membuat pejabat negara merasa khawatir dalam mengambil kebijakan strategis selama keputusan tersebut diambil secara transparan, akuntabel, dan berorientasi pada kepentingan publik.
“Bagi pejabat yang bekerja dalam koridor hukum, tidak ada alasan untuk takut. Yang paling penting adalah proses pengambilan keputusan yang bersih dari konflik kepentingan,” katanya.
Menutup pandangannya, Andika menggarisbawahi bahwa rehabilitasi harus dipahami sebagai instrumen korektif atas ketidakadilan yang mungkin timbul dalam proses hukum, bukan sebagai celah untuk melemahkan independensi peradilan ataupun membuka ruang kompromi dalam penanganan korupsi.
“Rehabilitasi semestinya menjadi mekanisme pemulihan terhadap kekeliruan, bukan pintu masuk bagi delegitimasi putusan pengadilan atau penyimpangan politik hukum,” ujarnya.





















