Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipMuhammadiyahOpini

Aksi Bela Islam ala Muhammadiyah

×

Aksi Bela Islam ala Muhammadiyah

Share this article

Oleh: Sulaeman Masnan

(Wakil Sekretaris Majelis Tablig PW. Muhammadiyah Sulawesi Selatan)

Dibandingkan Buya Syafii, pesona Habib Rizieq Syihab jelas kini lebih memukau di mata sebagian warga Muhammadiyah. Rizieq Syihab dipersepsi sebagai pembela Islam yang ulung. Seruan jihadnya membahana dan warga Muhammadiyah pun menyambutnya dengan heroik. Rizieq Syihab dan warga Muhammadiyah join di gelanggang “jihad” yang sama: bersekutu membela Islam dari ucapan nista Ahok (seorang Kristen, Tionghoa, dan calon gubernur). Buya Syafii berteriak kalau itu bukan jihad, tetapi tidak digubris, malah ia balik dinista.

Tentu ada banyak alasan dan motif di balik aksi bela Islam yang berjilid-jilid itu. Di sini hanya menelisik satu hal, yaitu latar teologisnya. Bahwa salah satu raison d’etre Muhammadiyah memang untuk membendung misi kristenisasi. Karya otoritatif Alwi Shihab, Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, sudah menarasikan fakta ini.

Kontra misionaris menjadi misi teologis yang melekat dalam kiprah dakwah Muhammadiyah. Wajar jika berkembang pemahaman teologis yang tidak dapat menerima eksistensi Kristen untuk berpartisipasi dalam banyak aspek, terutama politik. Ada anggapan, Kristen merupakan ancaman bagi eksistensi keberislaman, karena itu, meminjam istilah Wahyuddin Halim, “meniadakan” mereka merupakan tugas keberagamaan jangka panjang. Sehingga, bukanlah kejutan (element of surprise) kalau ada warga Muhammadiyah turut berkerumun di barisan penentang Ahok.

Dari al-Maidah 51 ke al-Ma’un

Penistaan terhadap al-Maidah 51, atau penghinaan terhadap ulama yang memahami ayat tersebut secara tekstual, telah memicu gelombang protes. Terakhir, aksi 212 yang spektakuler, bukan saja karena mampu menjadikan kawasan Monas sebagai lautan manusia, tetapi juga memperlihatkan keadaban aksi yang mengagumkan. Ini tentu harus diapresiasi karena mengindikasikan adanya kekuatan energi umat yang dahsyat. Nilai terpenting dari momentum tersebut adalah kesatupaduan dalam keragaman. Tampaknya, umat yang terfragmentasi dapat menyatu secara apik jika ada musuh bersama (common enemy).

Kini, momentum 212 telah usai. Ahok pun sudah menjalani persidangan. Namun, banyak persoalan lain di hadapan kita yang justru memerlukan suntikan energi besar. Maka, frasa “dari al-Maidah 51 ke al-Ma’un” dimaksudkan sebagai pengingat khalayak Muhammadiyah agar tidak menghabiskan energi dari demo ke demo, apalagi terhanyut dalam irama yang dimainkan orang lain. Ingat, di kerumunan itu ada kaum fundamentalis, hadir geng khilafah, dan berkeliaran politisi oportunis yang boleh jadi punya agenda sendiri.  Tepatlah jika PP Muhammadiyah (16/11/2016) mengajak umat Islam untuk lebih baik mencurahkan energi dan perhatian optimal dalam melakukan kerja-kerja cerdas dan produktif.

Popularitas al-Ma’un jauh mendahului kepopuleran al-Maidah 51. Kisah pelajaran al-Ma’un oleh Kyai Ahmad Dahlan kepada para muridnya telah melegenda dalam sejarah Muhammadiyah. Efek al-Ma’un luar biasa. Elaborasi atau tafsir tentangnya melahirkan “teologi amal” yang bercorak praksis. Manifestasinya adalah  terwujud tiga ranah utama aktivitas yang dikembangkan dan menjadi brand Muhammadiyah: pendidikan (schooling), kesehatan (healing), dan santunan kaum du’afa (feeding). Etos amal salih dan praksisme al-Ma’un inilah yang membawa Muhammadiyah melintasi usia 104/107 tahun dengan memiliki ribuan karya, seperti perguruan tinggi, sekolah, rumah sakit, mesjid, panti asuhan, dan layanan kesejahteraan sosial yang lain.

Muhammadiyah di abad kedua, telah mendeklarasikan dirinya menjadi “gerakan pencerahan” (al-harakah al-tanwiriyah) dan “Islam yang berkemajuan.” Di abad kedua ini pula, muncul gagasan “trisula baru Muhammadiyah,” yaitu: gerakan peduli bencana, gerakan pemberdayaan masyarakat, dan gerakan filantropi Islam. Gerakan ini melengkapi “trisula lama Muhammadiyah,” yaitu: pendidikan, kesehatan, dan sosial. Bahkan, Muktamar Muhammadiyah ke-47 merekomendasikan pengembangan dakwah komunitas, layanan terhadap kelompok difabel dan minoritas, peningkatan tradisi ilmiah dan dialog antar mazhab dalam mengatasi konflik di Indonesia, serta penegasan negara pancasila sebagai dar al-ahdi wa al-syahadah. Gambaran tentang agenda Muhammadiyah di abad kedua ini memperlihatkan betapa medan jihad warga Muhammadiyah terbentang sangat luas. Lalu mengapa memilih berdesak-desakan dalam kerumunan di jalan raya, mengepalkan tinju, lalu takbir dengan suara serak hanya untuk sebuah kata “jihad”?

Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah mengingatkan tentang rendahnya daya saing bangsa Indonesia (dan juga bangsa-bangsa muslim) di kancah global. Modal untuk bisa bersaing adalah kuasai sains dan teknologi. Tentu, dalam belajar sains dan teknologi tidak perlu berlaku al-Maidah 51. Artinya, boleh menjadi warga kampus yang dipimpin oleh nonmuslim. Boleh bersekutu dengan nonmuslim dalam kegiatan riset ilmiah. Tidak perlu memboikot beasiswa dari lembaga nonmuslim. Tidak usah canggung untuk belajar dari nonmuslim. Kyai Dahlan punya kisah soal terakhir ini, seperti dikutip Hadi Fajarianto (Sekretaris PDM Palopo) dalam disertasinya bahwa: perjumpaan Kyai Dahlan dengan para misionaris, seperti van Lith, van Driesse, DomineBakker, dan Dlaberton, selain berdialog tentang teologi, juga belajar tentang kemajuan Barat. Dari mereka, Kyai Dahlan menyerap “energi kemodernan” yang selanjutnya diejawantahkan dalam kiprah pembaruannya.

Mengembangkan sains dan teknologi adalah jihad akbar (aksi bela Islam) yang menantang, sebab seperti disindir Haedar: “mengumpulkan orang demo lebih mudah, berbeda dengan mengajak orang ke perpustakaan atau mengembangkan ilmu pengetahuan.” Di sinilah letak biang kekalahan umat Islam dibanding umat lain. Populasi 1,7 milyar umat Islam masih dipecundangi Yahudi yang cuma 15 juta. Bagaimana tidak dipecundangi, di saat umat Islam sibuk berdemo, umat Yahudi sedang membangun pusat-pusat sains dan teknologi. Begitulah, lantas berapa jilid lagi demo yang dibutuhkan demi memenangkan umat Islam dalam kompetisi global?

(Sumber: Majalah Khittah versi Cetak Edisi Januari 2017)

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply