Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Aku Bukan Sukidi

×

Aku Bukan Sukidi

Share this article

Oleh: Fadli Andi Natsif*

KHITTAH.CO., – Semakin aku sering membaca, semakin merasakan banyak hal yang belum kutahu. Termasuk keseringan beli buku, yang khusus menyiapkan budget setiap bulan untuk itu. Tetapi, semakin tertinggal mengoleksi buku-buku yang seharusnya juga sudah terpajang di perpustakaan mini rumahku.

Semakin banyak melihat progres karya-karya orang, baik berupa opini atau artikel jurnal, semakin kusadari apa yang pernah kutulis belumlah dapat dibandingkan dengan karya orang yang mencerdaskan dan mencerahkan.

Semakin sering melihat status mereka yang sangat progresif di dunia kerja-kerja intelektual, semakin aku mengenal diriku belumlah banyak melakukan sesuatu yang membanggakan.

Aku selalu menyadari, diriku hanyalah seorang yang memang hobby mengajar dan berdiskusi di ruang kelas. Termasuk hanya sering nongkrong di warung kopi menghabiskan waktu membaca dan menulis. Atau hanya ketemuan teman, ngobrol ngalor-ngidul semata—yang  istilah ngalor- ngidul dalam bahasa Jawa ini, dimaknai tutur yang tak tersambung. Ngobrol yang tidak mempunyai arah dan tujuan, biasa saja sekadar basa-basi sambil menyeruput kopi susu.

Terkadang sering muncul kebanggaan semu, kalau di depan kelas berdiskusi kemudian membahas materi, Aku meminta “maha terpelajar”—mahasiswa—men-download karya opiniku yang dimuat di media cetak. Tentu, opini yang relevan dengan materi pokok bahasan yang didiskusikan. Hanya kebanggaan semu karena mahasiswa mengapresiasi dengan gimik rasa kagum. Apa lagi memiliki salah satu buku Aku yang bertitel Ketika Hukum Berbicara.

Buku yang hanya menghimpun opini yang berserakan di berbagai media cetak. Sebagai bahan referensi tambahan dari mata kuliah yang Aku ampuh, Hukum Internasional dan Hukum dan HAM. Lantas Aku hanya menepis dengan menyampaikan, ini hanya sekadar opini sederhana yang tidak berkualitas dibanding karya artikel jurnal teman kolega yang ber-Sinta dan Scopus. Opini yang tidak berkualitas karena tidak laik disitasi. Sumber kutipan yang tidak di-“rekeng” sebegai referensi dalam membuat karya ilmiah sekelas skripsi terlebih karya tesis dan disertasi.

Semakin rendah diri lagi dengan melihat status teman atau mereka yang sudah keliling dunia untuk melakukan riset, baik untuk kepentingan penyelesaian studi mau pun penelitian biasa. Sejujurnya Aku sampaikan, diri ini tidak pernah melakukan perjalanan riset ke luar negeri. Penyelesaian jenjang studi, baik sarjana, magister, dan doktor,  Aku selesaikan hanya dengan riset di Ibu Kota Negara dalam negeri saja. Pengalaman ke luar negeri hanya ketika melakukan perjalanan umroh—yang sudah dua kali—Madinah, Mekkah dan Dubai, he he. Termasuk perjalanan tour bersama teman-teman angkatan 86 FH-UH, yang kita namai “Ngopi Bareng” di Singapura…he he.

Narasi ini sebenarnya sudah lama berseliweran di memori otak Aku.

Semakin muncul adrenalin—dalam bahasa gaul—perasaan, semangat atau keinginan yang tinggi menuangkan narasi ini. Ketika baru memiliki buku: Sukidi Inspirasi dan Api Pembaruan Islam dari Harvard. Sebenarnya, sangat jauh dari kelayakan membandingkan diriku dengan Sukidi. Apa pun alasannya, ketidaklayakan itu akan dapat terjawab ketika kita membaca buku ini.

Buku ini menurut editornya (2022: xxxiii), merekam dan sekaligus mendokumentasikan sambutan yang luas atas Sukidi. Menghimpun dan menyusun sejumlah komentar, catatan ringkas dari sahabat, laporan feature, dua hasil wawancara panjang. Juga sejumlah artikel  yang ditulis serius oleh banyak kalangan mengenai Sukidi. Sumbernya diambil dari berbagai media sosial (Facebook, Twitter, dan YouTube), media online, koran cetak, dan lainnya.

Buku yang mengapresiasi dan menarasikan tiga pokok bahasan besar terkait dengan sosok yang namanya Sukidi. Pertama, apresiasi dengan judul bahasan, Anugerah dari Harvard: Mensyukuri Kelulusan Sukidi. Kedua, Menyambut Kepulangan: Memetik Inspirasi dan Menanam Harapan untuk Sukidi. Dan ketiga, Dentuman Pembaruan Islam: Respons Intelektual atas Pemikiran Sukidi “Pasca Harvard”.

Paling tidak, poin penting buku yang mengapresiasi sosok Sukidi, selain menceritakan sosok yang berasal dari keluarga petani kecil di desa Sragen, Jawa Tengah ini, juga seorang kader Muhammadiyah. Keberhasilannya menembus Harvard adalah narasi keuletan dan keberhasilan yang mudah menyentuh hati banyak orang. Bagaimana tidak, Sukidi berhasil membawa pulang dua gelar Master dan Doktor sekaligus dari Universitas di Amerika Serikat. Meraih jenjang Master,  MA dari Ohio University dan M.T.S dari Harvard University, serta Ph.D juga dari Harvard University.

Selain keunikan tesisnya yang mengoreksi asumsi umum yang sudah mapan di pikiran kita, yaitu gagasan kembali kepada teks Al-Quran menjadi pembaharuan pemikiran Islam yang berlandaskan tradisi penafsiran para pemikir muslim awal. Sesuai judul disertasinya The Gradual Qur’an: Views of Early Muslim Commentators. Keunikan lain yang juga susah dilakoni orang lain di era digital saat ini adalah sampai saat ini sosok Sukidi tidak memiliki akun media sosial selain WA, itu pun WA yang dimiliki Sukidi tidak pernah menginginkan untuk dimasukkan dalam grup WA.

Akhirnya membaca buku ini dan dengan menghubungkan judul narasi Aku ini, sangat benar seribu persen. Ibarat pepatah “jauh panggang dari api”. Aku hanya penikmat buku ini dan penikmat pemikiran Sukidi, yang tidak akan pernah Aku lewatkan mendaras ketika opini Sukidi termuat di harian Kompas, yang sudah beberapa tahun  Aku berlanggaran koran ini secara digital. Bacaan koran inilah yang menjadi sarapan pagi sebelum beranjak keluar rumah. Kemudian melanjutkannya lagi membaca di kampus, termasuk menu bacaan Aku ketika bertandang di warkop sembari menyeruput kopi susu. He…he…he. (*)

*Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PWM Sulawesi Selatan

 

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply