Oleh: Mukhtar Tompo
Direktur Eksekutif Lontara Madani Indonesia
Awal tahun 2016, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) mengumumkan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) secara terbuka ke publik. Langkah tersebut menuai kritik dari sejumlah pihak, khususnya dari kalangan parpol yang kader-kadernya memimpin Kementerian yang dinilai berkinerja kurang. Meski demikian, hal itu tak menyurutkan tekad Menpan-RB, Yuddy Chrisnandi. Menurutnya, penilaian kinerja institusi pemerintah adalah amanat konstitusi yang dibebankan pada kementeriannya, sekaligus merupakan rangkaian upaya mengakselerasi reformasi birokrasi, sebagaimana harapan yang sering disampaikan oleh Presiden Jokowi di berbagai kesempatan. LAKIP merupakan produk dari Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP), yang merupakan integrasi dari sistem perencanaan, sistem penganggaran dan sistem pelaporan kinerja, yang selaras dengan pelaksanaan sistem akuntabilitas keuangan.
Landasan konstitusional penilaian kinerja tersebut merujuk pada UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara; UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Nasional, PP No. 8/2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah, dan Peraturan Presiden No. 29/2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP).
Jika akuntabilitas keuangan hasilnya berupa laporan keuangan, sedangkan produk akhir dari SAKIP adalah LAKIP, yang menggambarkan kinerja yang dicapai oleh suatu instansi pemerintah atas pelaksanaan program dan kegiatan yang dibiayai APBN. Beberapa indikator yang masuk dalam penilaian SAKIP tersebut, yaitu Pertama adalah perencanaan kinerja yang akan dilihat secara komperhensif atau berkelanjutan. Perencanaan kinerja didalamnya mencakup Renstra, penganggaran kinerja, serta perjanjian kinerja. Kedua, pengukuran kinerja yang menggambarkan tolok ukur keberhasilan instansi. Setiap instansi harus memiliki ukuran kinerja yang jelas.
Ketiga, pelaporan kinerja, dimana setiap instansi pemerintah harus mampu menjelaskan kinerjanya sesuai anggarannya kepada masyarakat, stakeholder dan pihak berkepentingan lainnya. Keempat adalah evaluasi kinerja internal yang mencakup upaya-upaya untuk mengidentifikasi kendala dan merumuskan perbaikan secara komperhensif. Kelima, capaian kinerja. Capaian kinerja tersebut merupakan outcome yang dihasilkan dan harus mampu dipertanggungjawabkan. Jadi instansi pemerintah harus berorientasi pada hasil, bukan sekedar proses.
Obyektivitas Penilaian
Menurut penulis, penilaian laporan akuntabilitas kinerja yang telah dilakukan Kemepan-RB bersifat sangat akademis, komprehensif, dan berlandaskan konstitusi serta bisa dipertanggungjawabkan. Dengan adanya penilaian atas akuntabilitas kinerja instansi pemerintah, diharapkan mampu memberikan lecutan semangat bagi setiap instansi untuk menjadi lebih baik.
Dalam pandangan Yuddy Chrisnandi, penilaian tersebut tidak terkait dengan isu reshuffle Kabinet Kerja Pemerintahan Presiden Joko Widodo – Jusuf Kalla, sebab penilaian ini mengukur kinerja Kementerian/organisasi bukan mengukur kinerja kepemimpinan Menteri. Penilaian ini pun telah dilakukan setiap tahun. Bahkan sejak Menpan dijabat Azwar Abubakar, penilaian kinerja telah disampaikan secara terbuka melalui website Kemenpan-RB. Hal ini merupakan fakta yang membantah bahwa apa yang dilakukan Yuddy Chrisnandi bersifat tendensius dan politis, hal ini merupakan aktivitas yang dilakukan secara rutin di kementeriannya. Hanya mungkin karena kedekatan Yuddy dengan media massa, sehingga ekspose laporan kinerja tahun ini terlihat begitu massif.
Apalagi Yuddy menyadari betul, bahwa sekarang zaman transparansi dan keterbukaan. Rakyat berhak tahu, apa yang telah dilakukan oleh Pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Publik berhak mendapatkan informasi, instansi pemerintahan mana yang menunjukkan kinerja terbaik. Laporan ini juga telah dilaporkan ke Wapres, dan telah disampaikan dalam rapat kabinet. Jadi Menpan-RB tidak melampaui kewenangannya, melainkan menjalankan perintah Undang-undang, sekaligus menjalankan amanat Presiden, yang ditugaskan kepadanya.
Jika dikaitkan dengan obyektivitas penilaian, kinerja Kemenpan-RB pun dianggap mengalami penurunan, sedikit merosot dibanding tahun sebelumnya. Apalagi Kemenpan-RB bukan satu-satunya lembaga yang terlibat dalam proses evaluasi kinerja tersebut. Evaluator akuntabilitas kinerja adalah Kemenpan-RB, BPKP, Inspektorat Provinsi dan Kemendagri. Sedangkan Penyusunan Pedoman evaluasi akuntabilitas kinerja melibatkan Kementerian Keuangan, Bappenas, dan Kemendagri.
Resolusi 2016
Tahun 2016, Yuddy Chrisnandi menegaskan bahwa Kemenpan-RB yang dipimpinnya akan memantapkan resolusi untuk menjadi yang terdepan, menjadi teladan, dan menjalankan tiga nilai revolusi mental, yaitu integritas, etos kerja, dan gotong royong, melalui peningkatan realisasi akuntabilitas kinerja.
Yuddy berulangkali menegaskan, “menjadi absurd apabila Kementerian yang menjadi leading sector reformasi birokrasi dan penilai akuntabilitas, tetapi tidak bisa mencapai akuntabilitas kinerja yang baik. Oleh karena itu target kita bukan pada nilainya, tapi pada realitas akuntabilitas kinerjanya”.
Pemerintahan Jokowi-JK telah membawa paradigma baru dalam pengelolaan Pemerintahan. Jika ada pihak yang meminta evaluasi ini dilaporkan secara tertutup, justru pihak tersebutlah yang masih membutuhkan sentuhan Revolusi Mental. Merekalah yang sejatinya menjadi beban Pemerintah, karena masih mewarisi mentalitas feodal.
Bahkan publik senang dengan adanya pengumuman penilaian kinerja secara terbuka. Hal ini akan memacu aparatur memberi pelayanan yang lebih baik, dan akhirnya rakyatlah yang akan diuntungkan. Dengan demikian, sejatinya apa yang dilakukan Kemenpan-RB adalah upaya akselerasi kesejahteraan rakyat, yang merupakan spirit utama Program Nawacita Pemerintahan Jokowi-JK. Jadi, mengapa takut dengan akuntabilitas kinerja?