Oleh: Irwan Akib (Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah)
KHITTAH. CO – Di beberapa kesempatan, saya sering melontarkan pertanyaan yang tidak perlu dijawab secara langung namun perlu untuk renungan bagi kita semua para warga Muhammadiyah, lebih khusus yang sedang berkiprah di amal usaha muhammadiyah (AUM). Pertanyaan tersebut kurang lebih berbunyi: “Untuk apa kita bermuhammadiyah? Apakah aktivitas kita di amal usaha Muhammadiyah (AUM) bukan bagian dari bermuhammadiyah?”
Bila kita memahami dengan baik bahwa Muhammadiyah adalah gerakan dakwah amar ma’ruf nahi mungkar yang berpedoman pada Al-Quran, sunnah maqbula, dan kehadiran Muhammadiyah diyakini sebagai perintah Allah dalam Al-Quran, maka sesungguhnya tujuan akhir kita bermuhammadiyah, beraktivitas di Muhammadiyah adalah mencari rida Allah Swt. Proses pencarian rida Allah ini melalui gerakan dakwah Muhammadiyah, tentu tidak instan, butuh perjuangan, butuh kerja keras yang dilakukan dengan sepenuh hati, dan butuh jiwa raga.
Totalitas meraih rida Allah, bukan menjadikan Muhammadiyah batu loncatan untuk kepentingan lain, kepentingan sesaat, bukan menjadikan AUM hanya sebatas tempat kerja demi mendapatkan salary dan tunjangan lainnya. AUM hendaknya menjadi bagian tak terpisahkan dari aktivitas bermuhammadiyah, sehingga keberadaan kita di AUM adalah bagian dari perjuangan dakwah amar ma’ruf nahi mungkar.
Tujuan akhir kita bermuhammadiyah dan tentu juga beraktivitas di AUM, baik itu pimpinan maupun staf di lembaga pendidikan, amal usaha kesehatan, dan amal usaha lainnya, maka perlu diawali dengan niat yang tulus, karena apa pun yang kita kerjakan sangat tergantung pada niat awal keberadaan kita. Ketika keberadaan kita di AUM diniatkan dengan tulus mengabdi kepada Allah, maka Insyaallah hati kita menjadi tenang dalam beraktivitas, mendorong sikap dan tindakan terbaik (ihsan), tidak semata-mata memenuhi kewajiban kerja, tidak selalu mengharapkan balasan berupa materi apa lagi berusaha merekayasa jam kerja menjadi jam lembur agar bisa mendapatkan upah tambahan.
Ketulusan beraktivitas di AUM karena diyakini bahwa segala aktivitas yang dilakukan di AUM akan bernilai ibadah, maka akan mengundang kita juga secara sukarela berkorban, baik korban tenaga maupun korban waktu bahkan korban materi demi memajukan AUM. Ketulusan akan menjauh diri dari sakit hati bila mendapatkan sesuatu yang kurang berkenan dalam beraktivitas.
Selain itu, ketulusan pun membuat kita tidak sakit hati bila tidak diamanahi suatu jabatan tertentu, dengan suka rela melepas jabatan bila saatnya tiba, tidak memburu posisi dan jabatan. Hal ini terpancar karena kita yakin bahwa keridaan Allah terhadap aktivitas di AUM tidak ditentukan oleh posisi dan jabatan yang diduduki, tetapi kerelaan bekerja dengan sungguh-sungguh melakukan yang terbaik atas pekerjaan yang ditugaskan kepada kita. Kita pun rela melakukan yang terbaik untuk kemajuan AUM tanpa berhadap imbalan materi, karena selalu mengharap rida Allah.
Amal usaha Muhammadiyah (AUM) sebagai bagian dari aktivitas gerakan Muhammadiyah merupakan media dakwah dalam mencapai tujuan Muhammadiyah. Sebagai media dakwah maka seluruh kegiatan yang dilalukan di AUM harus bermuara pada tujuan Muhammadiyah. Pimpinan dan pengelola AUM berkewajiban melaksanakan misi utama Muhammadiyah dengan sebaik-baiknya sebagai misi dakwah. Sebagai konsekuensi dari misi dakwah terhadap pengelola, pimpinan, dosen, guru, dokter, tendik dan nakes dan seluruh fungsionaris AUM harusnya bukan lagi sebagai objek dakwah tetapi harus menjadi subjek dakwah.
Subjek dakwah yang dimaksud minimal bagi dirinya, untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang menjadikan dia sebagai objek dakwah. Harus menghadirkan diri sebagai teladan dalam keseharian, tidak melakukan tindakan yang dapat merugikan AUM demi kepentingan pribadinya, tidak merasa paling wah, paling hebat, paling berjasa, paling berkuasa di AUM, tidak melalukan tindakan manipulasi demi mendapatkan tambahan pendapatan dengan cara curang, misalnya mengajukan proposal kegiatan dengan merekayasa anggaran, mengakal-akali program agar bisa mendapat dana tambahan dan berbagai tindakan yang merugikan AUM.
Pimpinan AUM perlu memahami bahwa kursi pimpinan itu bukanlah kursi empuk yang harus membuat pimpinan terlena, tertidur nyenyak di kursi kepemimpinannnya sehingga lupa berdiri dan tidak melakukan aktivitas apa pun dalam kepemimpinannya. Namun, kursi pimpinan itu adalah kursi panas yang harusnya tidak membuat Anda duduk enak dan tidur pulas, tetapi membuat Anda untuk terus bangkit bergerak, memikirkan dan melakoni apa yang harus dilakukan untuk kemajuan AUM yang sedang dipimpinnya dan pada saatnya kursi tersebut harus diserahkan kepada pemiliknya karena amanah yang diberikan telah berakhir. Selain itu, jangan pula merasa bahwa kepemimpinan Anda abadi disitu, seakan AUM ini miliki nenek moyangnya, seakan warisan dari keluarga. Kepemimpinan Anda bukanlah raja yang bermahkota, sehingga mahkota akan diserahkan kepada pewarisnya saat sudah wafat.
AUM sebagai milik persyarikatan, maka aset yang ada harus diinventarisir dengan baik serta dilindungi dengan bukti kepemilikan yang sah menurut hukum yang berlaku. Pimpinan AUM wajib mengelola secara keseluruhan sebagai amanah ummat yang harus ditunaikan dan dipertanggungjawabkan sebaik-baiknya. Aset AUM adalah aset persyarikatan Muhammadiyah, bukan aset pimpinan atau siapa pun yang ada di AUM. Pengadaan, penggunaan, dan penghapusan aset harus dikelola dengan baik dan penuh tanggung jawab. Tidak boleh membiarkan ada aset AUM yang menjadi milik pribadi atau dikuasai oleh orang-orang tertentu.
Di dalam pedoman hidup Muhammadiyah dijelaskan bahwa seorang pimpinan di AUM diangkat dan diberhentikan oleh pimpinan persyarikatan dalam kurung waktu tertentu, tunduk kepada kebijakan persyarikatan, dan tidak menjadikan AUM terkesan sebagai milik pribadi dan keluarga. Pada bagian lain dijelaskan bahwa pimpinan AUM adalah anggota Muhammadiyah yang memiliki keahlian, memiliki komitmen pada misi Muhammadiyah, memahami secara tepat fungsi AUM, dan bukan semata-mata sebagai pencari nafkah yang tidak peduli tugas dan kepentingan Muhammadiyah. Sebagai konsekuensi dari amanah yang diemban, pimpinan dan pengelola berhak mendapatkan nafkah sesuai ketentuan yang berlaku, yang disertai dengan sikap amanah dan tanggung jawab akan kewajibannya.
Mencermati hal di atas dapat dipahami bahwa seorang pimpinan ataupun pengelolaan di AUM hendaknya betul-betul hadir berhikmad secara sungguh-sungguh untuk membesarkan dan memajukan AUM sebagai bagian dakwah persyarikatan Muhammadiyah, menghindarkan diri dari perilaku yang terkesan AUM sebagai milik pribadi, baik dalam penempatan staf maupun penggunaan dan pengadaan barang milik AUM. Penempatan staf harus dilakukan secara profesional dan proforsional.
Barang milik AUM harus dijaga dan dipelihara dengan baik dan bila saat ada barang milik AUM yang dipinjam sementara misalnya mobil dinas, maka pada saat berhenti mobil tersebut harus segera dikembalikan ke AUM, karena itu bukan milik pribadi. Menghindarkan diri dari perilaku tercela yang dapat merugikan diri dan AUM, misalnya mark up anggaran untuk pengadaan barang, mark up anggaran kegiatan.
Kaitannya dengan salary yang diperoleh sebagai konsekuensi tugas dan amanah yang diemban. Seorang pimpinan dan pengelola AUM tidak menjadikan salary ini sebagai tujuan dari aktivitasnya, sehingga semua aktivitas dihitung dengan materi, semua pergerakan dan kegiatan yang dilakukan selalu disandarkan pada materi. Nafkah yang diperoleh tentu harus disesuaikan dengan kemampuan AUM itu sendiri, tidak kemudian berarti bila AUM-nya memiliki dana yang besar lalu pimpinan juga perlu mendapatkan tunjangan yang berlebihan sehingga tidak ada dana yang tersisa di AUM, apa lagi bila tunjangan itu tidak proporsional. Prinsip efisiensi dalam pengelolaan anggaran tetap harus menjadi perhatian pimpinan dan pengelola AUM.
AUM sebagai salah bagian penting dalam menunjang gerak dakwah persyarikatan Muhammadiyah, kehadirannya harus memberi manfaat bagi persyarikatan, sehingga dalam pengelolaannya harus dilakukan dengan amanah, penuh tanggung jawab, dikelola secara profesional, dan melakukan efisiensi. Pimpinan, staf, dan para pengelola AUM harus menghadirkan diri secara tulus untuk mengabdi kepada Allah, sehingga setiap gerak dan aktivitas di AUM bernilai ibadah, yang pada akhirnya tujuan keberadaan kita di AUM untuk mencari rida Allah dapat tercapai dan AUM pun tetap eksis, maju, dan memberi manfaat bagi umat dan kemajuan persyarikatan.