Oleh: IMMawan Agus Maulana*
KHITTAH.CO, – Gerakan mahasiswa sering kali menjadi symbol perjuangan dan harapan bagi perubahan sosial yang lebih baik. Namun, belakangan ini, kita menyaksikan fenomena yang memprihatinkan di tubuh Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Sulawesi Selatan, di mana fokus pergerakan lebih banyak berputar pada politik internal organisasi ketimbang membahas isu-isu sosial yang lebih luas.
IMM, yang dulu dikenal sebagai kekuatan moral dalam mengkritik ketidakadilan, kini lebih banyak terperangkap dalam perebutan kekuasaan di dalam tubuh organisasi. Bukan lagi berbicara tentang perubahan sosial, keadilan, atau nasib rakyat banyak, melainkan tentang siapa yang akan naik ke posisi strategis berikutnya.
Fenomena ini mengundang pertanyaan besar. Apakah IMM masih memiliki peran sebagai agen perubahan, ataukah mereka telah bergeser menjadi ajang politik bagi individu yang lebih tertarik pada jabatan daripada perjuangan sosial?
Dalam karyanya yang terkemuka, Nurcholish Madjid berpandangan bahwa kader itu merupakan pengemban perubahan yang berfungsi untuk memurnikan ideologi, menggugat ketidakadilan, dan menjadi suara rakyat. IMM, yang seharusnya menjadi jembatan antara pendidikan dan pergerakan sosial, kini justru lebih tertarik pada stabilitas kekuasaan dalam organisasi ketimbang berfokus pada realitas ketidakadilan yang menggerogoti masyarakat.
Mengabaikan Esensi Perjuanga nuntuk Mengutamakan Politik Internal
Seharusnya, IMM menjadi tempat bagi pemikiran-pemikiran kritis yang menantang status quo dan berfokus pada perbaikan masyarakat, terutama dalam menghadapi ketidakadilan yang ada. Namun, kenyataannya banyak anggota IMM lebih sibuk dengan “perang politik” internal yang mengarah pada perebutan posisi ketua dan pengaruh dalam struktur organisasi.
Isu-isu sosial yang seharusnya mendapatkan perhatian utama, seperti kemiskinan, ketimpangan sosial, dan kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat, seakan menjadi subordinat dalam agenda pergerakan mereka. Dalam hali ni, IMM justru terjebak dalam siklus politik yang sempit, yang hanya menguntungkan kelompok-kelompok tertentu di dalam organisasi, alih-alih bergerak menuju perubahan yang lebih besar. Kuntowijoyo mengingatkan kita bahwa pergerakan sosial haruslah berlandaskan pada nilai-nilai humanisme yang membela mereka yang tertindas.
Jika IMM mengabaikan prinsip-prinsip dasar ini dan terjebak dalam politik organisasi yang dangkal, maka mereka bukan lagi menjadi alat perubahan yang memerdekakan, melainkan hanya menjadi struktur yang memperpanjang status quo. Apakah IMM rela menjadi organisasi yang hanya sibuk dengan politik kekuasaan internal tanpa memperhatikan masalah-masalah yang nyata di luar sana?
Ketidakberanian Mengkritik Kekuasaan, Implikasi bagi Peran IMM
Dari perspektif peran kritis mahasiswa, IMM seharusnya tampil sebagai garda terdepan yang mengkritik kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat dan berani melawan ketidakadilan struktural. Tetapi, saat ini, IMM sering kali memilih untuk menjaga hubungan baik dengan pihak-pihak berkuasa dan tidak berani secara terbuka mengkritik kebijakan yang jelas merugikan masyarakat.
Kondisi ini sangat bertentangan dengan peran mahasiswa sebagai agen perubahan yang harus menjadi penyeimbang kekuasaan, bukan sekadar penjaga hubungan dengan pihak-pihak berkuasa. Ahmad Syafi’i Ma’arif dalam tulisan-tulisannya yang kritis mengajarkan kita pentingnya keberanian moral dan peran kritis dalam pendidikan.
Seandainya Buya Syafi’i masih hidup, beliau pasti akan menilai bahwa IMM telah mengabaikan tanggung jawab moral mereka sebagai agen perubahan. Ketika IMM lebih banyak terjebak dalam politik internal yang pragmatis.
Mereka tidak hanya mengabaikan kritik terhadap pemerintah yang semestinya menjadi tugas mereka, tetapi juga mengecewakan harapan rakyat yang mengandalkan suara mahasiswa untuk menuntut keadilan. IMM seharusnya menjadi garda terdepan dalam perjuangan melawan ketidakadilan, bukan sekadar partai politik kecil di dalam kampus.
Penyalahgunaan Pendidikan dan Kekuasaan dalam Organisasi
Salah satu alas an mengapa IMM terjebak dalam politik internal adalah Karen apendidikan yang mereka terima tidak lagi difokuskan pada pengembangan karakter moral dan sosial yang kritis. Sebaliknya, IMM semakin tertarik untuk melahirkan kader-kader yang hanya pandai berorganisasi dan berpolitik, tanpa memedulikan dampak social dari tindakan mereka
Pendidikan dalam IMM seharusnya berfungsi untuk membangun kesadaran sosial yang tajam, yang mampu menganalisis masalah-masalah lokal dan global serta merumuskan solusi yang pro-rakyat. Eko Prasetyo dalam pandangannya tentang peran mahasiswa dalam masyarakat, menyebutkan bahwa gerakan mahasiswa harus berbicara bukan hanya dalam bahasa politik, tetapi dalam bahasa yang mendalam tentang keadilan sosial dan kemanusiaan.
Ketika IMM lebih sibuk dengan politik kekuasaan dalam organisasi ketimbang memperjuangkan isu sosial yang relevan. Mereka secara tidak langsung telah mengkhianati peran mereka sebagai agen perubahan. IMM seharusnya meneguhkan kembalit ujuan dasar mereka untuk mencetak pemimpin yang berkarakter dan mampu menggugat ketidakadilan, bukan hanya untuk mencetak pejabat yang terjebak dalam rutinita spolitik praktis.
IMM dan Relevansinya di Masa Depan
Di hadapan kenyataan bahwa IMM lebih mementingkan politik internal daripada peran social mereka. Kita harus bertanya kembali, apakah IMM masih relevan sebagai agen perubahan di tengah krisis sosial yang melanda masyarakat? Perjuangan IMM harusnya lebih dari sekadar meraih posisi dalam organisasi, tetapi harus berfokus pada upaya untuk menciptakan perubahan yang nyata bagi masyarakat luas. IMM harus mengingat kembali peranannya sebagai gerakan mahasiswa yang tidak hanya berfungsi sebagai tempat untuk meraih jabatan, tetapi sebagai kekuatan moral yang mampu menggugat ketidakadilan dan memperjuangkan hak-hak mereka yang tertindas.
Kuntowijoyo dalam penekanan pentingnya pergerakan sosial yang berbasis pada moralitas dan humanisme, pasti akan mengingatkan bahwa IMM seharusnya mengemban tugas moral untuk melawan ketidakadilan yang ada, bukan hanya melibatkan diri dalam perburuan kekuasaan yang tidak memberikan manfaat bagi masyarakat. IMM harus bias membuktikan bahwa mereka tidak hanya berfokus pada diri mereka sendiri, tetapi juga pada nasib dan kesejahteraan masyarakat yang lebih luas.
Menyadari Kembali Tujuan Perjuangan
IMM, dihadapkan pada krisis identitas , harus memilih antara melanjutkan peran mereka sebagai bagian dari mesin politik kekuasaan atau kembali menjadi garda terdepan dalam perlawanan terhadap ketidakadilan sosial. Jika mereka terus mengabaikan tugas moral dan idealisme awalnya, maka IMM akan kehilangan relevansinya sebagai organisasi yang memberikan dampak positif bagi perubahan sosial. Buya Syafi’i dalam melihat gerakan mahasiswa, selalu menekankan pentingnya keberanian moral untuk melawan ketidakadilan. IMM harus kembali pada jalan perjuangan mereka yang sebenarnya, dengan meneguhkan kembali komitmen terhadap perubahan sosial yang lebih besar, bukan hanya mengejar posisi dalam organisasi.
*Aktivis IMM & Penjaga Khittah Perjuangan Muhammadiyah