Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Anomali Pendidikan Negeriku: Ketika Guru Dicetak dari Proses yang Asal Jadi

×

Anomali Pendidikan Negeriku: Ketika Guru Dicetak dari Proses yang Asal Jadi

Share this article

By. Syamsumarlin B*

KHITTAH. CO – Pendidikan adalah fondasi utama dalam pembangunan sebuah bangsa. Tidak ada negara yang bisa maju tanpa sistem pendidikan yang kuat dan tenaga pendidik yang berkualitas. Namun, di tengah upaya besar pemerintah Indonesia untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, ada satu kenyataan pahit yang sering luput dari sorotan publik: anomali dalam rekrutmen calon guru di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP).

Ketika kita membicarakan profesi dokter, insinyur, atau pilot, masyarakat memiliki harapan tinggi terhadap kualitas dan kompetensi mereka. Wajar saja, sebab proses masuk ke fakultas kedokteran atau teknik terkemuka dikenal sangat ketat, penuh seleksi, dan hanya diisi oleh siswa-siswa terbaik. Namun ironisnya, profesi guru yang bertanggung jawab mencetak generasi masa depan bangsa justru tak melalui proses seleksi yang sama ketatnya.

Dalam banyak kasus, FKIP menjadi pilihan cadangan bagi siswa yang tidak lolos seleksi di jurusan lain yang dianggap lebih prestisius. Bahkan, tidak sedikit yang menjadikan FKIP sebagai “tempat berlabuh” terakhir ketika semua pilihan jurusan favorit sudah tertutup atau karena tidak keterima. Akibatnya, mahasiswa FKIP sering kali adalah mereka yang secara akademis biasa-biasa saja, atau bahkan di bawah standar rata-rata.

Bandingkan dengan fakultas lain seperti kedokteran: proses masuknya sangat selektif, membutuhkan nilai tinggi, kemampuan logika dan sains yang kuat, serta daya juang yang tinggi. Di sana, hanya siswa-siswa terpilih yang bisa masuk dan bertahan. Sedangkan FKIP yang akan mencetak para guru tidak memiliki sistem penyaringan yang seketat itu.

Padahal, menjadi guru bukan hanya soal menyampaikan materi pelajaran. Guru adalah arsitek moral, karakter, dan mentalitas anak bangsa. Jika para calon guru berasal dari kelompok yang tidak memiliki semangat, kecerdasan, dan keinginan untuk benar-benar mendidik, maka apa jadinya generasi yang akan mereka bentuk?

Seperti yang pernah dikatakan oleh Anies Baswedan, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, “Guru itu bukan sekadar profesi, tapi panggilan jiwa. Maka, tidak semua orang pantas menjadi guru.”

Guru yang Biasa-Biasa Saja, Melahirkan Generasi yang Biasa-Biasa Saja

Guru yang tidak memiliki passion dan kapasitas intelektual yang baik akan kesulitan menginspirasi, membimbing, apa lagi menantang siswa untuk berpikir kritis dan kreatif. Hasilnya adalah siklus pendidikan yang stagnan: siswa menjadi pelajar pasif, hanya menunggu instruksi, dan minim inovasi.

Pendidikan yang digerakkan oleh guru-guru dengan standard rendah pada akhirnya hanya akan melahirkan generasi yang juga biasa-biasa saja. Mereka mungkin bisa lulus ujian, namun minim karakter, lemah dalam berpikir analitis, dan tidak siap menghadapi tantangan global. Apakah bangsa ini bisa bersaing secara global jika generasi mudanya lahir dari proses pendidikan yang seperti ini?

Di beberapa negara maju seperti Finlandia, Jepang, atau Korea Selatan, menjadi guru adalah profesi prestisius. Proses rekrutmennya sangat ketat, bahkan setara dengan fakultas kedokteran. Calon guru diuji tidak hanya dari aspek akademik, tapi juga karakter, kepemimpinan, dan empati. Di Indonesia, sistem seperti itu masih jauh panggang dari api.

Prof. Suyanto, mantan Dirjen Mandikdasmen, pernah menyoroti kondisi ini: “Di negeri ini, masuk fakultas kedokteran sangat sulit, karena calon dokter harus menyelamatkan nyawa orang. Tapi kita lupa, guru menyelamatkan seluruh generasi. Kenapa kita tak memperlakukannya sama penting?”

Memang, dalam beberapa tahun terakhir pemerintah telah mencoba menaikkan standard dengan adanya program Pendidikan Profesi Guru (PPG) dan sertifikasi. Namun, hal itu masih belum cukup jika input awal, yakni mahasiswa FKIP tidak disaring secara serius. Tanpa reformasi di tahap rekrutmen, upaya peningkatan kualitas guru hanya akan seperti tambal sulam yang tak menyelesaikan akar masalah.

Perlu Revolusi dalam Rekrutmen Calon Guru

Sudah saatnya kita mengubah paradigma: fakultas keguruan harus menjadi institusi elit, bukan tempat “buangan”. Pemerintah dan perguruan tinggi harus merancang sistem seleksi masuk FKIP yang lebih ketat, dengan meniru pendekatan seleksi di fakultas kedokteran. Hanya siswa terbaiklah yang pantas menjadi guru, karena merekalah yang akan membentuk masa depan bangsa.

Lebih jauh, pemerintah juga perlu memberikan insentif yang layak bagi guru berkualitas: mulai dari gaji yang kompetitif, tunjangan, hingga kesempatan pengembangan karier. Dengan demikian, profesi guru akan kembali menarik bagi siswa-siswa terbaik, bukan sekadar pilihan terakhir.

Seperti kata Ki Hajar Dewantara, “Guru itu digugu lan ditiru.” Ungkapan ini mengingatkan kita bahwa guru bukan hanya sumber ilmu, tapi juga teladan. Jika kita ingin generasi emas Indonesia 2045 benar-benar tercapai, maka kita harus memastikan para gurunya bukan hanya pintar, tapi juga benar-benar layak ditiru.

Anomali dalam sistem pendidikan Indonesia, khususnya dalam proses pencetakan guru, tidak boleh terus dibiarkan. Jika kita ingin bangsa ini memiliki masa depan yang cerah, maka kita harus memastikan bahwa generasi mendatang dibimbing oleh pendidik-pendidik terbaik.

Reformasi pendidikan harus dimulai dari hulu: dari proses rekrutmen calon guru. Bukan dari tambal sulam di tengah jalan. Karena guru bukan sekadar pekerjaan, tapi panggilan jiwa. Dan untuk menjalankan panggilan itu, dibutuhkan individu dengan kapasitas intelektual, emosional, dan moral yang tinggi; bukan yang biasa-biasa saja.

Selamat Hari Pendidikan Nasional (02 Mei 2025),  harapan “Emas” tiada akan pupus.

*Guru di Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah Cece, Enrekang

 

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply