Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Ar-Rahman Cahaya Ilahiah Penerang Ikhtiar di Ruang Sunnatullah

×

Ar-Rahman Cahaya Ilahiah Penerang Ikhtiar di Ruang Sunnatullah

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*

KHITTAH. CO – Memenggal judul tulisan ini menjadi kata yang berserakan, saya yakin kita semua, para sahabat pembaca, sering membaca dan mendengarnya. Bukanlah kata yang amat sulit jika hanya dilihat dalam makna permukaan. Menjadi tidak mudah dipahami, ketika kata yang berserakan itu dirangkai menjadi kalimat seperti judul tulisan di atas untuk merefleksikan satu model kehidupan. Apa lagi, jika kita hendak memahaminya secara amat mendalam, maka sejatinya, kita terlebih dahulu harus menjadi sufi, filsuf, mufasir (mufassir), dan saintis.

Menjadi salah satu saja di antara empat posisi manusia “luar biasa” di atas, saya merasa amat berat. Namun, tulisan ini tidak akan bisa dimulai apa lagi untuk diselesaikan jika harus menunggu menjadi manusia “luar biasa”—seperti di atas—terlebih dahulu. Artinya, jika seandainya sebentar, di antara tulisan ini dari awal sampai selesai, sahabat pembaca menemukan hal yang kurang memuaskan penyampaian bangunan argumentasi, logika, dan landasannya, maka bisa dimaklumi bahwa saya selaku penulis bukanlah seorang sufi, filsuf, mufasir, dan saintis.

Berarti, di dalam tulisan ini, kita hanya menemukan percikan-percikan pemikiran sufi, filsuf, mufasir, dan saintis. Itu pun, hanya berdasarkan apa yang saya pahami. Namun, di balik percikan-percikan tersebut, ada jawaban dari pertanyaan yang sering dilontarkan orang-orang di sekeliling kita, ada harapan besar, ada yang diketahui tetapi belum dipahami dan disadari kedahsyatannya, dan ada pula belum mampu ditarik garis relasinya yang berimplikasi positif dan konstruktif bagi manusia.

Dalam kehidupan ini, sering ada lontaran pertanyaan yang terkesan sebagai gugatan dan suara protes—meskipun tidak dipertegas dan diperjelas ditujukan ke mana—“Mengapa ada orang malas beribadah (seperti salat), mengingkari Allah, dan perbuatannya sangat buruk dan merusak, tetapi berkelimpahan harta dan materi? Dan, sebaliknya, kita menemukan ada orang yang salat dan ibadah lainnya tidak diragukan, orangnya baik, tetapi hidupnya masih miskin?” Namun, tulisan ini tidak bermaksud untuk membangun neraca perbandingan, saya hanya ingin—di antara dua pertanyaan di atas—fokus untuk menjawab pertanyaan pertama.

Pertanyaan di atas, terutama pertanyaan pertama, termasuk jika ingin dihubungkan dengan pertanyaan kedua, itu lahir dari orang-orang yang di alam bawah sadarnya ada keyakinan bahwa alam semesta ini, dunia, dan keseluruhan isinya adalah milik Allah Swt. Seakan-akan ada suara protes lanjutan yang dipadukan dengan harapan “Mengapa Allah tidak menutup saja akses rezeki dan kenikmatan duniawi itu bagi mereka—orang-orang, sebagaimana yang dimaksud pada gugatan berdasarkan pertanyaan pertama di atas”. Saya pun tidak ingin mengatakan, “Mengapa Allah memberikan kenikmatan duniawi itu kepada mereka”, karena ini berpotensi melahirkan kesimpulan “Jika seperti itu, Allah tidak adil”. Padahal, Allah itu adil dan mustahil tidak adil karena Allah Maha Adil (Al ‘Adl).

Ya, saya dan kita semua sepakat, dengan menggunakan logika dan rasionalitas dengan baik dan benar saja, kita akan sampai pada kesimpulan bahwa dunia, diri, dan/atau alam semesta  ini pasti diciptakan oleh Allah Swt. Apa lagi jika menggunakan nalar teologis atau keimanan, maka tidak bisa lagi ditawar bahwa benar Allah-lah penciptanya.

Hanya saja, ternyata, ada di antara kita sebagai manusia yang sesungguhnya mengingkari realitas tertinggi dan mutlak, Allah itu, termasuk perbuatannya  buruk dan merusak dalam  kehidupannya, di mana hal itu adalah sesuatu yang tidak diridai Allah. Padahal, jika menggunakan logika manusia dan duniawi semata yang lazimnya terjadi dalam realitas kehidupan, semestinya mereka atau orang-orang ini tidak bisa mengakses rezeki dan kenikmatan duniawi karena itu semua adalah milik Allah Swt.

Dalam hal pemberian akses rezeki dan kenikmatan duniawi oleh Allah, tentu saja tidak sama prinsipnya dengan pikiran, logika, perasaan, dan perilaku manusia seperti yang terungkap di atas. Apa lagi, sebagaimana Asmaul Husna, ada 99 nama Allah yang mulia. Kemudian, jika kita memperhatikan basmalah secara mendalam, sesungguhnya kita bisa mendapatkan satu pemahaman dan kesadaran bahwa di antara nama-nama mulia Allah itu, ada dua yang menjadi “ujung” utama yaitu Ar-Rahman dan Ar-Rahim. Minimal artinya, meskipun Allah Maha Perkasa (Al-Jabbar), misalnya, tetapi Ar-Rahman dan Ar-Rahim-nya harus tetap terdepan, diutamakan atau didahulukan. Dalam makna lain, sebagai contoh saja, Allah yang Al-Jabbar bisa membinasakan atau minimal memiskinkan orang-orang yang mengingkari-Nya, tetapi Ar-Rahman-nya lebih diutamakan.

Dalam pemahaman umum—khususnya oleh umat Islam—Ar-Rahman sedikit berbeda cakupannya dengan Ar-Rahim. Ar-Rahman artinya Yang Maha Pengasih atau Maha Pemurah, yang ditujukan bagi seluruh makhluk ciptaan Allah, termasuk bagi seluruh manusia tanpa melihat tingkat dan posisi keimanan dan ketakwaannya, sedangkan Ar-Rahim artinya Maha Penyayang yang hanya dikhususkan bagi orang-orang yang beriman saja. Ada banyak kajian tentang Ar-Rahman dan Ar-Rahim, salah satunya bisa dibaca dalam buku 99Q, Kecerdasan 99: Cara Meraih Kemenangan Hidup Lewat Penerapan 99 Asma Allah (2006) karya Sulaiman Al-Kumayi. Tetapi, saya fokus saja pada apa yang baru saja terungkap, tentang perbedaan makna keduanya yang (mungkin) sederhana.

Dari Ar-Rahman-lah, saya merasakan bahwa sesungguhnya itu adalah cahaya ilahiah penerang ikhtiar manusia dalam ruang sunnatullah. Artinya, andaikan bukan karena Ar-Rahman-Nya Allah, mustahil manusia akan mampu mengakses rezeki dan kenikmatan duniawi di alam semesta, jika hanya mengandalkan ikhtiar, apa lagi ikhtiar dalam makna dangkal yang semata-mata melibatkan modal fisik-biologis dalam bentuk kerja keras.

Kita perlu memahami pula bahwa alam semesta ini, dunia yang didiami, dan diri kita bukanlah semata ciptaan yang hanya terdiri atas dimensi fisik-material yang konkret. Masing-masing di dalamnya ada hukum alam yang bisa pula disebut sunnatullah, meskipun ada pula yang membedakan antara hukum alam dan sunnatullah, tetapi banyak pula yang menyamakannya, termasuk dalam tulisan ini, saya memandangnya sama. Di dalam sunnatullah atau hukum alam tersebut, Allah pun telah menetapkan prinsip, algoritma, sistem, dan mekanisme kerjanya masing-masing. Sebagai contoh, jika ada yang menanam bibit tumbuhan di tanah, kemudian dirawat, maka akan tumbuh subur.

Diri manusia pun bukan hanya terdiri atas dimensi fisik-biologis, di dalamnya ada pikiran, perasaan, intuisi, alam sadar, alam bawah sadar, gelombang otak, dan DNA, yang itu semua bisa melengkapi dan menyempurnakan ikhtiar yang dilakukan oleh manusia. Antara yang di atas tentang sunnatullah dan yang ada dalam diri manusia, itu adalah ciptaan Allah Swt. Tidak ada pertentangan sistem, hukum, prinsip, algoritma, dan mekanisme kerja di antara keduanya, tetapi itu saling mendukung, menunjang, melengkapi, dan menyempurnakan.

Sama halnya—begitu pun kedua hal yang baru saja dibahas di atas yang menjadi bagian di dalamnya—antara ayat-ayat qauliyah dan kauniyah Allah, tidak ada yang bertentangan. Saling mendukung, menunjang, melengkapi, dan menyempurnakan. Dalam dimensi tauhid, ini bisa dikategorikan sebagai bagian dari unity of creation.

Kedua yang dibahas di atas tentang sunnatullah yang secara umum berada di alam semesta, termasuk potensi-potensi dahsyat manusia yang disebutkan di atas, sesungguhnya itu adalah kristalisasi Ar-Rahman-Nya Allah di alam semesta dan pada diri manusia. Selain sebagai kristalisasi, itu adalah ruang bebas dan kunci akses sehingga ada orang tanpa berdoa pun atau meskipun mengingkari kekuasaan Allah Swt, dirinya tetapi bisa mengakses rezeki dan kenikmatan duniawi yang sesungguhnya itu semua, tanpa ada pengecualian adalah milik Allah Swt.

Tanpa Ar-Rahman dan kristalisasinya di alam semesta dan dalam diri manusia, maka hanya ada satu cara untuk mengakses rezeki dan kenikmatan duniawi, yaitu melalui doa, ibadah yang sungguh-sungguh kepada Allah atau hanya melalui jalan keimanan dan ketakwaan. Sehingga, tidak ada jalan bagi para ateis, orang-orang yang mengingkari Allah, apa lagi yang senantiasa melakukan sikap dan tindakan yang tidak diridai-Nya.

Penegasan di atas, saya sedang tidak membangun kesimpulan atau membuat rekomendasi bahwa “Tidak apa-apa tidak beriman dan bertakwa, kita tetap bisa mengakses rezeki dan kenikmatan dunia dengan hanya memaksimalkan potensi diri kemudian menyelaraskannya dengan sunnatullah yang secara umum ada di alam semesta”. Tetapi, saya sesungguhnya memiliki harapan besar agar melalui percikan pemahaman ini, tumbuh kesadaran untuk mensyukuri nikmat Allah, kemudian beriman dan bertakwa kepada-Nya. Karena, kita sesungguhnya—meskipun kurang dipahami dan disadari—betapa “kurang ajar”-nya telah diberikan kenikmatan dalam bentuk potensi luar biasa, diberikan akses luar biasa, tetapi masih mengingkari Allah.

Ikhtiar bisa beroperasi di alam semesta, di dunia, dan/atau dalam kehidupan ini, kemudian membuahkan hasil atau mampu mencapai tujuan karena Ar-Rahman-Nya Allah Swt telah dikristalisasi dan diterjemahkan secara operasional dalam mekanisme kerja mental-psikologis manusia dan melalui sunnatullah atau hukum alam yang diterapkan secara umum di alam semesta ini dengan salah satunya menganut prinsip “kausalitas”. Sebagaimana ayat-ayat qauliyah dan kauniyah Allah yang tidak bertentangan, Ar-Rahman yang mengalami kristalisasi dan penerjemahan secara operasional di dalam diri manusia dan alam semesta, keduanya di balik cahaya ilahiah Ar-Rahman itu kompatibel.

Hanya saja, meskipun demikian, kita selaku manusia—jika pun belum mendapatkan hidayah untuk mensyukuri rezeki dan nikmat Allah sepenuhnya—sejatinya, kita perlu memahami bahwa jika konsepsi ikhtiar seperti itu, tentu saja kita masih memiliki banyak keterbatasan untuk memaksimalkannya. Pemahaman dan kesadaran atas keterbatasan tersebut tentang ikhtiar, apakah ikhtiar kita sudah kompatibel dengan sunnatullah atau belum, maka dalam posisi seperti itulah semestinya kita senantiasa memohon petunjuk dari Allah Swt. Sebab, yang mengetahui secara utuh semuanya hanyalah Allah sebagai penciptanya dan Yang Maha Mengetahui.

Di sinilah relevansi doa, sehingga ikhtiar tidak boleh berdiri atau berjalan sendiri tanpa dibarengi dengan doa. Kita tidak hanya mengandalkan ikhtiar semata, karena kita pun belum tahu persis apakah ikhtiar kita dalam makna hukum, prinsip, algoritma, dan mekanisme kerjanya secara mental-psikologis sudah berjalan baik, sebab sekali lagi ikhtiar bukan hanya dalam makna kerja keras dengan melibatkan fisik-biologis semata. Selain itu, apakah kompatibel dengan sunnatullah. Kita pun harus mengiringi doa dengan ikhtiar, karena kita belum mampu menjamin apakah doa kita kepada Allah itu sudah diterima atau mampu “menembus langit”.

Doa pun sebagai ruang komunikasi langsung dengan Allah harus selalu hadir karena Allah sebagai pencipta segalanya memiliki hak prerogatif atas semua hukum, prinsip, algoritma, dan mekanisme kerja yang beroperasi di alam semesta tanpa kecuali yang bekerja dalam potensi-potensi dahsyat manusia. Allah bisa meng-off-kannya kapan saja, sehingga sehebat apa ikhtiar dalam sepengetahuan dan pemahaman diri kita dan orang lain, tidak berfungsi dan membuahkan hasil, jika Allah hadir mengintervensinya. Sebaliknya sesederhana apa pun ikhtiar kita, dan mungkin kurang kompatibel dengan sunnatullah, tetapi jika hak prerogatif Allah hadir mengintervensi, Allah bisa membuatnya menjadi mungkin dan membuahkan hasil dengan tercapainya tujuan atau cita-cita.

Banyak ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang pada substansinya memerintahkan kita untuk berdoa. Dan mari kita ingat kembali bahwa ayat-ayat qauliyah Allah yang tertuang dalam Al-Qur’an dipastikan itu kompatibel dengan ayat-ayat kauniyah Allah yang terkristalisasi di alam semesta tanpa kecuali dalam diri manusia. Tentang hal ini, secara sederhana saya telah menemukan inspirasi dalam buku Quantum Teaching, sehingga saya meyakini anjuran berdoa berkorelasi dengan peningkatan kedahsyatan fungsi otak. Ini satu contoh saja, selanjutnya—karena saya tidak lagi melanjutkan tulisan ini—bisa ditemukan dari referensi lain atau kita bisa melakukan diskusi bersama untuk mengulasnya lebih mendalam.

 

*Pemilik Pustaka “Cahaya Inspirasi”, Wakil Ketua MPI PD. Muhammadiyah Bantaeng, dan Redaktur Opini Khittah.co

 

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner ITKESMU SIDRAP

Leave a Reply