Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipOpiniPolitik dan Hukum

Begal dan “Ketakkuasaan Kaum Berkuasa”

×

Begal dan “Ketakkuasaan Kaum Berkuasa”

Share this article
Ilustrasi Begal (Sumber: fajar.co.id)
Ilustrasi Begal (Sumber: fajar.co.id)

Oleh: Hadisaputra *)

Jelang magrib, Musyarrafah (aktivis Nasyiatul ‘Aisyiyah Sulsel) berjuang melawan begal yang berupaya merebut tas dari tangannya, di Jl. Tun Abdul Razak-Gowa, Minggu, (21/2). Tasnya berhasil ia selamatkan, namun ia tak kuasa menyelamatkan nyawanya. Kisah ini menambah daftar panjang kriminalitas di Makassar dan sekitarnya. Saya perlu menambahkan kata “sekitarnya”, karena begal juga sering beroperasi di pinggiran bahkan luar Makassar. Selama ini kata “begal” selalu berasosiasi dengan Makassar, meski kejadiannya di Gowa, para netizen lebih sering membuat status “Makassar Tidak Aman”.

“Begal” bagi sosok hantu yang menakutkan bagi warga di daerah ini. Kata tersebut lebih memiliki efek menggetarkan dibanding dengan kata “jambret”. Pada umumnya, media-media lokal di Makassar yang memuat berita kematian Musyarrafah menggunakan kata “begal”, sedangkan media-media nasional yang memuat berita yang sama menggunakan kata “jambret”. Saya penasaran, dan menelusurinya di Kamus Besar Bahasa Indonesia. Ternyata makna kedua kata ini tak terpaut jauh, “membegal” berarti “merampas di jalan”, sedangkan “menjambret” berarti “merenggut atau merebut (barang milik orang lain yang sedang dipakai atau dibawa)”.

Saya berasumsi penggunaan kata “begal” oleh warga Makassar, maupun media-media di Makassar, karena kata ini bisa memunculkan gambaran yang lebih menakutkan, dibandingkan dengan kata “jambret”. Membegal lebih diasosiasikan perbuatan merampas barang milik orang lain, dengan menggunakan senjata tajam, yang memungkinkan orang lain  kehilangan nyawa. Sekiranya, Musyarrafah hanya kehilangan tasnya, mungkin warga Makassar lebih memilih menggunakan kata “jambret”. Kata “begal” dianggap lebih merepresentasikan kesadisan dari para penyamun tersebut.

Pendapat para pemikir postmodernis seolah mendapatkan pembenaran, bahasa bukan sekadar merepresentasikan realitas, bahkan bahasa turut membentuk realitas itu sendiri. “Begal” telah memiliki makna khas tersendiri bagi warga Makassar. Kata itu mewakili wajah ketakutan kita. Takut terhadap anak-anak belasan tahun, yang memegang senjata tajam, dengan sekujur tatto di tubuh mereka.

Ketakkuasaan Kaum Berkuasa

Peristiwa pembegalan itu menunjukkan “ketidakberdayaan” penguasa (Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kota/Kabupaten, Aparat Keamanan) menangani persoalan ini. Sudah berbulan-bulan, bahkan menahun fenomena ini mengusik ketenangan warga Makassar dan sekitarnya. Polisi berkilah, mereka telah bekerja. Puluhan hingga ratusan begal telah pernah mereka tangkapi, namun aturan hukum hanya bisa menjerat mereka paling lama 6 bulan. Sama sekali tidak menimbulkan efek jera. Memang mengandalkan pendekatan hukum atau penindakan semata, mungkin hanya akan menjadi berputar pada “spiral kekerasan”.

Para penguasa seolah tidak mempu merengkuh akar persoalan. Misalnya maraknya penyalahgunaan obat, yang berakibat banyaknya remaja yang kehilangan akal sehat, dan berani melakukan berbagai tindak kekerasan. Asumsi akar persoalan lain adalah kesenjangan ekonomi. Selama ini pemerintah lebih cenderung mengklaim bahwa pertumbuhan ekonomi  daerah ini cenderung tinggi, bahkan melampaui pertumbuhan ekonomi nasional. Tapi apakah pemerintah pernah mengukur tingkat pemerataan ekonomi? Rasanya saya tak pernah mendengar hal itu disampaikan dalam pidato para pejabat.

Jika korban terus berjatuhan setiap hari, dan ternyata para penguasa tak mampu berbuat apa-apa, bukankah hal itu menunjukkan bahwa para penguasa secara de facto telah kehilangan kekuasaannya? Atau meminjam ungkapan Daniel Dhakidae, inilah fenomena “Ketakkuasaan Kaum Berkuasa” (Powerlessness of The Powerfull).

Kekuasaan Kaum Terbuang

Di sisi lain, lahir pula “kekuasaan kaum terbuang” (Power of Outcast). Kaum begal, dalam benak kita mungkin hanyalah kumpulan anak-anak muda pengangguran,  generasi frustrasi, tak punya masa depan, dan berbagai ungkapan marginalisasi lainnya. Mungkin pula sebagian kecil mereka adalah anak dari orang tua yang ‘berpunya’ (behave), tetapi anak-anak tersebut tetaplah “terbuang” dari sisi kasih sayang dan perhatian orang tuanya.

Michael Foucault (dalam Dhakidae, 2015) menyebut “kaum terbuang” sebagai The Life of Infamous Men. Sebagian besar mereka adalah tokoh gelap sedemikian rupa sehingga tidak ada yang bisa mengantarnya menuju kemsyhuran dan kehebatan. Mereka tidak pernah mendapatkan karunia untuk memiliki “kebesaran yang mapan”, misalnya lahir dari keturunan orang besar, kekayaan, , heroisme atau kejeniusan; mereka masuk kedalam kelompok manusia yang bernasib untuk hilang tanpa bekas. Sebagai kompensasi atas keterbuangan, mereka mendapatkan kegairahan dalam “kekerasan, kejahatan, kerendahan budi, kekerasan kepala atau peruntungan.”

Merekalah korban pandangan hidup yang memandang kehidupan sebagai arena kontestasi “menang-kalah”, baik dalam materi maupun prestise. Kejahatan yang mereka lakukan adalah interupsi terhadap zaman yang tuna nurani, minus kepekaan manusiawi. Inilah jalan yang mereka tempuh untuk mendapatkan pengakuan atas eksistensi mereka.

Mungkin kita sedih, dan marah jika korban “kaum terbuang” ini adalah saudara kita, atau sahabat kita. Kita sering mengutuk tindakan mereka “tidak manusiawi”. Tapi pernahkah kita memanusiakan mereka? Adakah upaya kita menyapa dan membantu mereka dalam kesusahan hidupnya? Bisakah negara memberi mereka akses atas penghidupan yang layak, atau ruang ekspresi kreativitas dan bakat mereka?

Bukankah para begal itu sedang berupaya membongkar mitos, bahwa tugas negara adalah “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”? Kita membayar pajak, kita taat pada berbagai aturan negara, kita memilih “pengelola negara” dalam Pemilu karena kita memercayai mitos itu. Sebagai refleksi personal, begal hadir untuk membuat kita berkaca atas nilai kemanusiaan yang telah sekian lama kita abaikan. Disinilah “Kaum Terbuang” menunjukkan kekuasaannya. Bukan begitu?

*) Peminat Kajian Antropologi Sosial

 

 

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner UIAD

Leave a Reply