Oleh: Agusliadi Massere*
Saya teringat dengan salah satu pernyataan, tepatnya Aksioma Sikap dari John C. Maxwell, “Masa depan suatu bangsa dan negara tercermin dari sikap dan tindakan generasi mudanya”. Saya—dan pasti sahabat pembaca sepakat—memandang sikap dan tindakan generasi muda yang mampu mengantarkan bangsa dan negara ke masa depan yang gemilang adalah yang mengalami proses pendidikan yang benar dan baik. Itulah pula sehingga pendidikan dipandang memiliki peran strategis dalam mengubah kehidupan dan membangun peradaban.
Dalam pendidikan, selain kurikulum, yang sangat penting pula adalah pendekatan yang digunakan dalam proses pembelajaran. Sejatinya, proses pembelajaran yang dialami oleh peserta didik tidak hanya untuk memenuhi target kurikulum dalam makna score (nilai dalam makna angka-angka) dan/atau target ketuntasan minimal atau yang dikenal sebagai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Pandangan ini, tidak sedang bermaksud untuk menafikan makna pendidikan secara luas, termasuk yang mencakup pendidikan keluarga yang bersifat non-formal.
Proses pembelajaran yang ada, idealnya memang harus mampu membangun kesadaran dan pemaknaan korelasi antara apa yang dipelajari, relasinya dengan dimensi kehidupan yang lebih luas atau mengandung kompleksitas. Termasuk menyadari untuk apa kita belajar.
Tidak berhenti sampai di titik itu saja, bahkan minimal keduanya, kesadaran dan pemaknaan yang terbangun, bisa menjadi karakter dalam diri peserta didik yang menjadi modal besar dan strategis dalam mengarungi kehidupannya pasca melewati tingkatan pendidikan formal yang ada. Atau dalam upaya bergerak secara eksistensial dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.
Pasca disahkannya susunan Kabinet Merah-Putih oleh Presiden Republik Indonesia, Bapak Prabowo Subianto, kita pun mengetahui nomenklatur kementerian yang ada, lengkap dengan nama-nama menteri dan wakil menterinya. Bahkan, saya pun mengetahui siapa saja di antara orang yang saya kenal yang diamanahi sebagai staf khusus dalam kementerian tertentu.
Kaitannya dengan tulisan ini, dipastikan, kita pun bisa menebak bahwa hubungannya dengan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia, yang dipercayakan kepada Prof. Abdul Mu’ti sebagai menterinya. Selain itu, dan ini yang lebih relevan memiliki korelasi yang tepat dan strategis adalah kebijakan yang diambil selaku menteri baru yang akan membawa harapan mulia untuk Indonesia lebih maju minimal satu periode untuk merintis rel kemajuan bangsa ke depan. Apa itu? Jika jawabannya disingkat saja adalah Deep Learning.
Deep Learning (pembelajaran mendalam) oleh sebagian publik telah disalahpahami. Mereka memandang itu adalah kurikulum baru dan pengganti kurikulum sebelumnya. Padahal, telah ditegaskan oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Prof. Mu’ti, termasuk oleh salah seorang staf khususnya di salah satu channel Youtube, bahwa Deep Learning itu bukan kurikulum, itu hanya pendekatan pembelajaran. Buktinya juga, Kurikulum Merdeka dan Kurikulum 13 (K13) masih sedang berjalan di sekolah-sekolah yang tersebar di Indonesia.
Saya sebagai masyarakat biasa yang sedikit memiliki perhatian terhadap pendidikan dan sumber daya manusia (SDM) generasi muda merasa tertarik dan penting untuk mengulas terkait Deep Learning. Sebagai pendekatan dalam pembelajaran, saya sudah menegaskan di atas, dipastikan memiliki relevansi, urgensi, signifikansi, dan implikasi besar dan strategis untuk membangun masa depan bangsa dan negara yang gemilang.
Sebelumnya, saya mengenal beberapa pendekatan pembelajaran, di antaranya Quantum Learning dan Accelerated Learning. Hanya saja, saya menduga pendekatan pembelajaran yang saya sebutkan ini tidak digunakan—minimal istilahnya—dalam dunia pendidikan formal di Indonesia. Saya tidak bisa memastikan karena saya bukan seorang ilmuwan atau pun sebagai praktisi pendidikan. Saya hanya pencinta ilmu tanpa spesialisasi, tetapi di antara dua jenis pendekatan yang saya sebutkan ini, ada beberapa prinsip penting yang terkandung di dalamnya yang menarik untuk diterapkan.
Deep Learning sebagai suatu pendekatan dalam pembelajaran tujuan pertama dan utamanya untuk membangun suasana belajar dan proses pembelajaran—sesuai dengan tiga pilar Deep Learning itu—yang mindfull (berkesadaran), meaningfull (bermakna), dan joyful (menggembirakan). Saya merenungkan pilarnya ini sambil memahami dan mendalami satu kesatuan konsepsi Deep Learning dari dokumen yang tersebar via WhatsApp sebagai produk resmi Pusat Kurikulum dan Pembelajaran Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia. Saya pun mengonfirmasi kebenaran dokumen tersebut, dan dinyatakan benar.
Dokumen produk resmi Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia itu adalah bahan presentasi yang berisi kerangka besar tentang Pembelajaran Mendalam: Transformasi Pembelajaran Menuju Pendidikan Bermutu untuk Semua. Saya membacanya mulai dari halaman pertama sampai terakhir dan sangat luar biasa.
Pandangan KH. Ahmad Dahlan dan Ki Hajar Dewantara yang memliki relevansi dengan pendidikan, dijadikannya sebagai landasan filosofis pendidikan. Di dalam dokumen tersebut, terungkap pula landasan teoretis, sosiologis, yuridis, dan empiris. Termasuk mengungkapkan Kerangka Kerja Pembelajaran Mendalam dalam bentuk infografis atau mind map berbentuk lingkaran yang muatannya sangat padat, komprehensif, dan mencerahkan.
Setelah membaca dokumen produk resmi tersebut, saya pun membaca kembali beberapa buku referensi, yaitu Percikan Pemikiran Pendidikan Muhammadiyah (2014) karya Prof. Zamroni, Ph.D, dan buku Etika Muhammadiyah & Spirit Peradaban (2017) yang salah satu bagian atau babnya mengulas “Muhammadiyah dan Pelembagaan Peradaban Pendidikan” karya Zakiyuddin Baidhawy dan Azaki Khoirudin. Selain itu, saya pun kembali mengingat isi film Sang Pencerah, yang tentunya semua adegan yang ada di dalam film tersebut berdasarkan dokumen resmi, sejarah, dan jejak peninggalan Kiai Dahlan.
Perpaduan referensi berupa dokumen, buku, dan film tersebut yang disertai perenungan, pemahaman, dan pemikiran yang mendalam, saya sampai pada kesimpulan bahwa konsep pendekatan pembelajaran yang sedang di dorong oleh negara melalui kementeriannya, sesungguhnya itu telah pernah diterapkan oleh Kiai Dahlan, bahkan menghasilkan peserta didik yang membawa Muhammadiyah memiliki kiprah yang luar biasa sampai melintasi abad keduanya, bahkan di antaranya menjadi tokoh bangsa, pahlawan nasional yang berjasa bagi Indonesia yang merdeka.
Konsep pembelajaran yang diterapkan oleh Kiai Dahlan, tentu saja tidak menggunakan istilah Deep Learning. Tetapi, pilar-pilar (disebut prinsip pembelajaran dalam dokumen resmi tersebut) yang terkandung di dalam pendekatan pembelajaran yang didorong oleh negara tersebut, sangat terasa, nyata, dan berimplikasi besar dalam perjalanan kehidupan kebangsaan Indonesia sejak awal langkah Kiai Dahlan dan kiprah Muhammadiyah sampai hari ini.
Bukan hanya Prinsip Pembelajarannya (mindful, meaningful, dan joyful), termasuk pula delapan Dimensi Profil Lulusan dan tiga Pengalaman Belajar yang melekat dalam rumusan mind map konsepsi Pembelajaran Mendalam berdasarkan dokumen resmi tersebut, itu sudah mampu dicapai atau terwujud dari pendekatan pembelajaran yang dilakukan oleh Kiai Dahlan pada masanya itu. Bahkan, jika kita ingin mau jujur mengakui, telah melampaui semua itu.
Jadi bukan karena menterinya berasal dari Muhammadiyah, Dahlan oriented, dan/atau saya lahir dari rahim ideologis Muhammadiyah, sehingga saya tertarik dan berupaya menuntaskan tulisan ini yang terkesan berorientasi Muhammadiyah, tetapi karena apa yang menjadi substansi dan harapan dari Deep Learning sudah pernah dilakukan oleh Kiai Dahlan dan membawa pengaruh dan perubahan besar yang bermanfaat bagi bangsa dan negara. Bukan hanya untuk Muhammadiyah.
Apa lagi Kiai Dahlan, sejatinya dipandang bukan lagi sebagai milik Muhammadiyah dan kader-kadernya semata, Kiai Dahlan sudah menjadi tokoh bangsa, sebagai Pahlawan Nasional yang berjuang untuk bangsa dan negara tanpa melihat perbedaan yang ada. DNA itu terus terkristalisasi sampai hari ini, terbukti seperti di Papua dan Nusa Tenggara Timur (NTT) perguruan tinggi Muhammadiyah, mahasiswanya didominasi oleh non-Islam, dan saudara kita di sana sangat merasakan kehadirannya.
Kemudian apa buktinya, bahwa Kiai Dahlan telah menerapkan prinsip-prinsip pembelajaran mendalam, pengalaman belajar, dan delapan profil lulusan yang melekat dalam konsep Deep Learning. Menjawab ini, saya, dan kami kader-kader Muhammadiyah yang telah membaca dan mengikuti konsepsi pendidikan Kiai Dahlan dan Muhammadiyah tidak kesulitan untuk menjawabnya.
Prof. Zamroni menegaskan dalam buku karyanya tersebut, bahwa Kiai Dahlan membangun fondasi pendidikan yang disebutnya pendidikan spiritual, yang menanamkan kesadaran “untuk apa belajar” sehingga menumbuhkan cita-cita pada diri setiap peserta didik. Ini tentu saja bagian dari prinsip pembelajaran yang disebut berkesadaran dan bermakna. Kesadaran “untuk apa belajar” menjadi kesadaran tertinggi yang harus dipahami terlebih dahulu dan sangat memengaruhi suasana belajar dan proses pembelajaran.
Prof. Zamroni juga mengungkapkan, “Pemikiran pendidikan KHA Dahlan ini dapat disejajarkan dengan gagasan pendidikan Rabindranath Tagore di India, yang menekankan keterkaitan erat antara pendidikan dan kehidupan kemasyarakatannya, atau sejajar Rousseau yang menekankan bagaimana peran pendidikan dalam perubahan sosial, dan jelas lebih tinggi dibandingkan dengan gagasan John Dewey yang menekankan peran individu dalam belajar”.
Dari yang diungkapkan oleh Prof. Zamroni di atas, berdasarkan pemikiran pendidikan Kiai Dahlan dengan para pemikir dunia yang ada, kita pun sudah bisa memahami bahwa rumusan ekosistem pendidikan yang diharapkan dari konsepsi Deep Learning berdasarkan harapan tim perumus dari Kementerian Pendidikan Dasar danMenengah Republik Indonesia, sudah menjadi perhatian oleh Kiai Dahlan pada saat itu. Pengalaman Belajar yang melekat dalam konsepsi Deep Learning, yaitu memahami, mengaplikasi, dan merefleksikan, ternyata Kiai Dahlan telah mampu menjadikannya sebagai sesuatu yang nyata, terkristalisasi dalam kehidupan bangsa dan negara.
Ketika Kiai Dahlan mampu menekankan keterkaitan erat antara pendidikandan kehidupan masyarakat, temrasuk menekankan bagaimana peran pendidikan dan perubahan sosial, itu sudah pasti mengandung prinsip pembelajaran yang berkesadaran dan bermakna. Dalam suasana belajar pribadi Kiai Dahlan saja, prinsip berkesadaran dan bermakna sudah sangat nyata, di mana dalam mempelajari QS. Ali-Imran ayat 104 dan 110, telah mampu membawa dirinya bukan hanya sekadar pengetahuan, pemahaman, kesadaran semata, terwujud pula melalui proses pelembagaan yang bernama Muhammadiyah dengan harapan mewujudkan umat yang terbaik atau masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Kiai Dahlan pun mengajarkan QS. Al-Ma’un selama kurang lebih tiga bulan dan QS. Al-‘Ashr selama tujuh sampai delapan bulan. Hal ini saja, jika Seandainya Kiai Dahlan hanya sekadar ingin agar muridnya memiliki pengetahuan dan pemahaman semata atau hanya ingin supaya muridnya bisa menghafal, tentu saja cukup tiga hari sudah selesai. Apa lagi banyak ayat dan surah lain pun yang harus dipelajarinya.
Mengapa Kiai Dahlan melakukan hal tersebut selama berbulan-bulan? Karena—meskipun tidak disebutnya dalam istilah se-keren dan se-konseptual seperti sekarang—Kiai Dahlan telah menerapkan prinsip Deep Learning. Agar pembelajran itu, pada diri murid-muridnya terbangun kesadaran dan kebermaknaan dari apa yang dipelajarinya. Terbukti, pada saat itu khususnya terkait surah Al-Ma’un yang dipelajari murid-muridnya melakukan aksi sosial nyata dengan mengumpulkan orang miskin, anak terlantar untuk diberi makanan, dan bahkan mereka ramai-ramai memandikan anak-anak tersebut.
Amal usaha Muhammadiyah yang luar biasa banyaknya hari ini, baik perguruan tinggi, rumah sakit, sekolah, panti asuhan, dan lain-lain, itu adalah hasil pembelajaran mendalam, yang berkesadaran dan bermakna, bahkan bukan hanya mencapai dimensi pengaplikasian yang tinggi termasuk mencapai puncak refleksi tertinggi. Amal usaha Muhammadiyah inilah, untuk sekadar diketahui, sehingga dinilai sebagai organisasi terkaya di dunia.
Joyful, prinsip pembelajaran yang menggembirakan ternyata Kiai Dahlan pun menerapkannya sejak ratusan tahun yang lalu. Terkadang Kiai Dahlan memulai pembelajarannya sambil bermain biola. Selain itu—berdasarkan yang diungkap oleh Zakiyuddin dan Azaki, Kiai Dahlan pun pernah membuat Sekolah Advokasi Anak Jalanan yang diberi nama Fathul Asrar Miftahu Sa’adah. Yang bermakna membuka rahasia dan kunci kebahagiaan.
Terhadap mereka, anak jalanan ini, Kiai Dahlan mengajaknya berbicara dengan ramah-tamah dan bersenda-gurau. Mereka sering diundang untuk datang ke rumah Kiai Dahlan, disiapkan makanan, diberi alat-alat hiburan dan olahraga, dibebaskan tidur. Namun, pada waktu salat mereka diajak berjamaan, diberi nasihat dan diajak berdialog. Metode ini, saya teringat dengna prinsip pembelajaran dalam Quantum Teaching “Bawalah dunia anak ke dalam dunia kita, sebelum membawa dunia kita ke dalam dunia anak”.
Ada pun delapan profil lulusan yang dirumuskan dalam Deep Learning, jika kita mempelajari sejarah perjalanan Muhammadiyah, Kiai Dahlan telah berhasil menerapkan metode pembelajarannya: Delapan profil lulusan itu adalah: Keimanan dan Ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; Kewargaan; Penalaran Kritis; Kreativitas; Kolaborasi; Kemandirian, Kesehatan; dan Komunikasi.
Gerakan Kepanduan Hizbul Wathan yang dibentuk oleh Kiai Dahlan saja, dengan melihat sosok peserta didiknya Panglima Besar Jenderal Sudirman, telah mencerminkan minimal tujuh profil lulusan yang dimaksud sehingga sangat berjasa dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Ada banyak hal yang bisa terungkap dari referensi-ferensi yang saya sebutkan di atas yang mempertegas dan sekaligus sebagai pijakan pemahaman bahwa betul—meskipun belum menggunakan istilah Deep Learning—Kiai Dahlan telah menerapkan proses pembelajaran mendalam selama hidupnya sehingga mampu melahirkan peserta didik yang membawa Muhammadiyah dan bangsa Indonesia menuju pintu gerbang kemerdekaan Indonesia, dan DNA itu terus on, menyala, sampai hari ini dengan kontribusi besar Muhammadiyah yang sangat terasa. Hanya saja, saya pun harus menyadari bahwa ruang yang saya gunakan ini hanya media online sehingga pembahasannya sebaiknya dihentikan sampai di sini untuk sementara.
Sumber gambar: kompasiana.com
*Pemilik Pustaka “Cahaya Inspirasi”, Wakil Ketua MPI PD. Muhaatmmadiyah Bantaeng, dan Pegiat Literasi Digital & Kebangsaan