Oleh: AHMAD NAJIB BURHANI
(Peneliti LIPI)
KHITTAH.co – Selama ini keberadaan NU dan Muhammadiyah sering dianggap seperti dua sayap burung; jika satu tidak berfungsi, maka burung itu tidak akan bisa terbang sama sekali. Berbagai analisa (Pepinsky 2012; Carnegie 2013) juga menyebutkan bahwa transisi demokrasi di negara Muslim terbesar di dunia ini bisa berhasil karena peran dua ormas Islam ini dalam menyeimbangkan demokrasi; membendung kelompok Islamist dan mengerem laju sekularisme dan liberalisme.
Beberapa tulisan bahkan menyebutkan hubungan kekerabatan dan pertemanan antara pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, dan pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari. Dua slogan yang dikembangkan oleh dua gerakan itu, yakni “Islam Nusantara” dan “Islam Berkemajuan”, juga dinilai saling melengkapi atau lebih tepatnya bisa disingkat menjadi “Islam Nusantara yang Berkemajuan”.
Baca juga: NU dan Muhammadiyah Penjaga Gawang Moderatisme Islam di Indonesia)
Namun beberapa kasus yang terjadi belakangan ini seakan membuka mata bahwa dua organisasi itu kadang memandang satu sama lain bukan sebagai komplementari, yang masing-masing perlu ada untuk saling melengkapi, tapi lebih sebagai saingan jahat yang mesti dimusnahkan.
Kasus Rumah Sakit Islam Purwokerto; pendirian fakultas kedokteran di perguruan tinggi yang berafiliasi kepada dua ormas itu; pemilihan rektor UIN Yogyakarta yang terefleksikan dalam hujatan keras dari Nurkholik Ridwan terhadap Buya Ahmad Syafii Maarif di media sosial; saling sikut dan tendang di beberapa kementerian, terutama di institusi-institusi dibawah kementerian agama; Saling kritik dan kecam mengenai Hari Santri; mengambil posisi yang saling berhadapan dalam kasus Siyono; saling meledek slogan “Islam Nusantara” dan “Islam Berkemajuan”, sering tak kompromi dalam kasus hisab & ru’yah penentuan awal Ramadhan dan Idul Fitri, dan seterusnya. Yang lebih menyedihkan kedua organisasi itu kini memiliki banyak provokator yang suka memperkeruh suasana dan menari-menari ketika keduanya saling memusuhi.
Apakah fenomena ini merupakan kelanjutan dari penyebaran rasa benci terhadap orang lain yang mewabah pada sebagian masyarakat yang oleh Martin van Bruinessen (2013) disebut “Conservative Turn“?
Apakah ini konsekuensi lanjutan yang tidak disadari ketika kita memulainya dengan membenci Ahmadiyah, dilanjutkan dengan permusuhan dengan Syi’ah, dan kemudian antara NU dan Muhammadiyah?
Ataukan ini semacam sibling rivalry dalam keluarga Islam? Apakah ini sebagai kepanjangan dari politik nasional dan persaingan antar partai politik dan berimbas pada ranah organisasi massa?
Geneologi dari kompetisi dan persaingan antara NU dan Muhammadiyah memang telah dimulai sejak kedua organisai itu masih dalam bentuk embrio, ketika KH Ahmad Dahlan mulai memperkenalkan gagasan-gagasan keislamannya.
Konflik pada periode awal sering disebut sebagai proses pembentukan ortodoksi (construction of orthodoxy), yaitu klaim sebagai yang paling benar dan absah dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam. Makanya, periode ini ditandai dengan sikap saling mengkafirkan antara NU dan Muhammadiyah.
KH Ahmad Dahlan dituduh “Kristen Putih” dan kafir, sementara pengikut tradisi NU dituduh pengamal takhayul, bid’ah, dan khurafat. Konflik pada periode ini bisa dikatakan bersifat sektarian dan ideologis.
Meski isu ortodoksi ini tidak sepenuhnya hilang dan dalam beberapa kasus masih sering mengemuka kembali, namun pengikut kedua ormas ini lebih banyak memiliki kesadaran bahwa Muhammadiyah dan NU adalah sama-sama ortodok, yakni benar dan absah dalam Islam (sharing orthodoxy).
Yang satu mengambil ortodoksi berdasarkan referensi kepada Al-Qur’an dan sunnah (orthodoxy based on scripture), sementara yang lain disebut ortodok karena mengacu kepada tradisi dan kitab yang selama ini banyak dipegangi oleh umat Islam (orthodoxy based on consensus).
Setelah masa awal itu, kedua organisasi itu mengalami persaingan kembali ketika terjadi pembentukan Komite Hijaz dan Komite Khilafah tahun 1920an. Konflik ini merupakan gabungan antara isu pertarungan ideologi keislaman tertentu dan politik kekhilafahan; warna keislaman seperti apa yang diterapkan di dunia Islam, terutama di Mekah dan Madinah, dan siapa yang berhak mewakili dan mengatasnamakan umat Islam Indonesia. Konflik inilah yang menjadi pemicu utama pendirian NU secara resmi sebagai organisasi masyarakat tahun 1926.
Konflik kembali muncul dalam tubuh Partai Masyumi ketika Muhammadiyah menjadi anggota istimewa dan NU seperti tak terwakili meski merasa memiliki suara yang sangat besar. Warna politik lebih kental daripada isu ideologis dalam konflik antara NU dan Muhammadiyah tahun 1950 dan 1960an ini.
Konflik inilah yang menjadi alasan pendirian Partai NU yang memisahkan diri dari Masyumi. Rasa saling tidak suka antara sebagian warga NU dan Muhammadiyah kembali terungkit dalam kasus penurunan Gus Dur dari posisi presiden oleh MPR yang ketika itu dipimpin oleh Amien Rais. Setelah sebelumnya dua organisasi ini seperti bergandengan tangan dalam politik nasional dan mendukung Gus Dur menjadi presiden, tiba-tiba bersitegang dan seperti saling menjatuhkan.
Jika pada benturan sebelumnya banyak diwarnai isu ideologi dan politik, konflik yang sekarang ini terjadi antara dua ormas itu lebih banyak diwarnai oleh isu ekonomi; posisi presiden, jatah menteri, posisi rektor, fakultas kedokteran, aset rumah sakit, proyek Kemenag, dan seterusnya.
Mana yang lebih parah dari berbagai konflik di atas? Hingga saat ini sepertinya tidak ada yang pernah membahas atau menuliskannya. Berbagai konflik itu selesai dengan sendirinya atau berkat kedewasaan warga dan pimpinan NU dan Muhammadiyah.
Yang patut dikhawatirkan adalah jika berbagai benturan yang saat ini terjadi tak segera selesai atau bahkan sebaliknya terus berkembang. Apa yang awalnya merupakan perebutan harta benda bisa berubah menjadi konflik sosial yang berbasis sektarianisme, seperti kasus Syi’ah Sampang.
Dua organisasi itu sama-sama gigih mengembangkan apa yang disebut sebagai ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama Muslim), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sebangsa), dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan sesama manusia).
Karena itu, harapannya, saling menyayangi, melindungi, dan mengasihi bisa terjadi pada tiga level tersebut; tidak hanya dengan umat yang berbeda agama dan negara, tapi juga yang seagama dan senegara.
Sumber: Sindo