
Oleh: Irwan Akib (Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah)
KHITTAH. CO – Salah satu tonggak sejarah bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaan adalah hadirnya Sumpah Pemuda 20 Oktober 1928. Sumpah Pemuda dicetuskan dalam Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928. Namun sebelum itu, para pemuda sudah terlebih dahulu mengupayakan persatuan melalui Kerapatan Besar Pemuda (Kongres Pemuda I) yang dilaksanakan pada 30 April sampai 2 Mei 1926 di Batavia. Kongres Pemuda I tidak membuahkan hasil setelah Ketua Kongres, Muhammad Tabrani, tidak sepakat dengan Mohammad Yamin terkait penggunaan istilah bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan. Menurutnya, kalau tanah air dan bangsa bernama Indonesia, maka bahasa juga harus disebut bahasa Indonesia. Meski demikian, Kongres Pemuda I sudah menunjukkan adanya pemahaman satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa.
Sumpah Pemuda menghasilkan ikrar para pemuda dari berbagai kelompok yang menyadari pentingnya persatuan dalam memperjuangkan Indonesia merdeka. Ikrar Sumpah Pemuda adalah sebagai berikut: (1) Kami, putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia, (2) Kami, putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, (3) Kami, putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Indonesia dengan wilayah kepulauannya yang sangat luas, terbentang dari Sabang sampai Marauke, dari Miangas sampai Rote dengan ribuan pulau yang dipisahkan oleh laut. Hal ini tidak boleh dipandang sebagai bagian yang terpisah-pisah tetapi harus dipandang sebagai sebuah kesatuan yang tak terpisahkan, yaitu tanah air Indonesia. Demikian juga keragaman suku dan adat istiadat serta keragaman budaya yang menghuni kepulauan tersebut, harus dipandang sebagai satu kesatuan bangsa yang memiliki kedaulatan sebagai satu bangsa. Keragaman suku dengan bahsa daerahnya masing-masing menjadi sebuah kekuatan besar ketika ada sebuah bahasa yang menjadi bahasa pemersatu, maka ikrar ketiga menjadi penting maknanya bagi persatuan dan kesatuan dalam kebhinekaan, yaitu mengakui bahwa, bahasa Indonesia menjadi bahasa yang mempersatukan suku ras, dan etnis yang berbeda tanpa menghapuskan bahasa ibu masing-masing.
Sejak diikrarkannya pada tahun 1928, Sumpah Pemuda kini telah berusia 97 tahun, namun semangat tersebut masih sangat penting dan relevan dengan kondisi kekinian. Disadari bahwa Indonesia dengan beragam etnis dasn budayanya masing-masing memiliki potensi besar untuk menjadi negara yang berdaulat sepanjang kebhinekaan itu dapat ditata dengan apik. Bhineka tunggal ika yang menjadi semboyan bangsa ini dalam menata persatuan dan kesatuan harus tetap dijaga dengan baik, ditata secara apik, tidak dikhianati. Buya Syafii Maarif mengemukakan bahwa Kebhinekaan hanya bisa bertahan lama manakala kita semua mengembangkan kultur toleransi yang sejati, bukan toleransi karena terpaksa atau toleransi yang dibungkus dalam kepura-puraan, kesejatian merupakan salah satu puncak tertinggi dari capaian manusia beradab.
Dalam konteks kekinian, keragaman bukan hanya keragaman etnis, budaya, dan bahasa. Kini muncul berbagai kelompok tertentu yang juga bagian dari bangsa ini, baik itu kelompok pemuda maupun kelompok profesional yang tentu semua ini menghadirkan dirinya dengan semangat Indonesia merdeka dan berdaulat, indonesia yang pancasilais. Keberadaan mereka akhir-akhir ini tidak sedikit kita menyaksikan dan mendengarkan teriakan NKRI harga mati, dan mereka mereka merasa paling pancasilais namun pada sisi lain juga menghadirkan dirinya sebagai kelompok yang intoleran, menrasa diri paling berhak hidup di negara ini semantara yang lain hanya sebagai penumpang saja. Tentu hal ini akan mengganggu semangat persatuan dan kesatuan, yang pada akhirnya dapat menimbulkan berbagai masalah di negeri ini.
Momen peringatan Sumpah Pemuda ini, perlu menjadi bahan renungan bagi kita semua, khususnya para pemuda baik yang berkecimpung dalam suatu wadah organisasi kepemudaan maupun secara personal, untuk kembali merefleksi ikrar para pemuda 1928, merefleksi pentingnya membanngun kesadaran kolektif untuk hadir bersama-sama, bergerak bersama dalam keragaman menuju Indonesia emas tahun 2045. Para pemuda penting untuk bergerak dengan ilmu, bergerak dengsan semangat persatuan, melepaskan ego demi NKRI tanpa mengaikan kehadiran kelompok lainnya.
Persatuan menjadi penting artinya untuk menghadirkan kesejahteraan, menghadirkan keamanan dan ketentraman seluruh warga negeri. Semangat persatiuan yang telah menjadi keinginan bersama anak-anak dari berbagai suku, dan golongan, sejak tahun 1928, melalui ikrar sumpah pemuda. Semangat persatuan ini juga termaktub dalam sila ketiga Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Di samping itu semangat kesatuan dan persatuan serta menghindari terjadinya disintegrasi pada tanggal 18 Agustus 1945, ketika menyusun dasar negara, terjadi perdeabatan yang menegangkan terkait sila pertama Pancasila yaitu perdebatan tentang tujuh kata dalam sila pertama Pancasila. Walaupun sejak awal dan telah disepakati dalam Piagam Jakarta, namun demi menjaga keutuhan negeri dari disintegrasi yang baru sehari memproklamirkan kemerdekaannya, Ki Bagus Hadikusumo rela melepas tujuh kata itu sehingga menjadi Ketuhanan Yang Mahsa Esa.
Bergerak dalam satu kesatuan NKRI menjadi penting artinya untuk menghadirkan kesehateraan rakyat sehingga hadir Indonesia maju. Para pemuda harus terus hadir bergerak dalam persatuan dan kesatuan, yang tentu juga dipandu oleh pemimpin yang memiliki visi yang jauh yang berlandaskan pada nilai-nilai filosofi berbangsa bernegara. Pemimpin yang tidak lagi berpikir untuk kepentingan pribadi, keluarga dan kelompoknya, tetapi pemimpin yang hadir untuk kepentingan rakyat, untuk kesejateraan rakyat, pemimpin yang selesai dengan dirinya. Para politisi yang ada di senayan yang di kantor DPRD I dan DPRD II atau yang sedang mendapat kepercayaan dalam kabinet hendaknya melepas baju kebesaran partainya, dan menganti dengan baju kebesaran Indonesia Raya, Baju Pancasila dalam arti tidak lagi bertindak sebagai politisi tetapi sebagai negarawan.





















