Oleh: Agusliadi Massere*
KHITTAH.CO, – Malam lailatul qadar yang lebih baik dari 1000 bulan adalah harapan dan puncak kerinduan bagi hampir semua umat Islam di muka bumi. Namun diri ini terinspirasi dari pernyataan Rabiah Al-Adawiyyah—seorang sufi, sosok perempuan suci—“Ya Allah, jika aku beribadah hanya karena berharap surga-Mu, maka jauhkanlah aku dari surga-Mu”. Diri ini yang maqam kesalehan dan ketakwaannya terasa belum sanggup menanti dan menerima kemuliaan malam itu—bukan berarti pesimis dan tidak mengharapkan—biarlah menjadikan bulan Ramadan ini hanya sebagai refleksi filosofis dari cahaya ke cahaya. Jika pun kemuliaan cahaya yang sebanding dengan lebih dari 1000 bulan itu, belum menjadi puncak prestasi spiritualitas diri, maka cukuplah dari refleksi ini, mendapat sepercik cahaya.
Manusia dan segala yang ada dalam alam semesta ini, pada hakikatnya adalah bergerak. Tidak ada yang benar-benar diam. Manusia yang istirahat dan tidur sekalipun, sesungguhnya dalam dirinya aktivitas bergerak itu masih terus berlangsung, minimal yang menjadi pemahaman lazim bahwa jantung dan tarikan napas terus aktif mengiringi dan menjaga kehidupan.
Yang disebut benda mati pun, sesungguhnya pada dirinya terdapat bagian yang terus bergerak. Sebagai contoh meja yang terbuat dari kayu. Sekilas itu nampak diam, tetapi pada dasarnya di dalamnya ada atom yang jumlahnya tidak sanggup untuk dihitung. Di dalam atom, terdapat proton dan netron yang terus bergerak, melakukan thawaf kosmik atau bertasbih kepada Allah secara terus menerus.
Bergerak adalah hakikat kehidupan. Bergerak adalah harmonisasi dan/atau stabilitas. Ini adalah sunnatullah, di mana manusia harus mampu mengikuti hukum dan gerak kosmik ini. Bergerak tidak hanya dalam bentuk perpindahan fisik, termasuk meliputi psikis, seperti bergerak dari pikiran yang satu ke pikiran yang lainnya. Melakukan refleksi filosofis, sejenis yang saya lakukan hari ini, sembari menjaga kualitas puasa adalah bagian yang dimaksud dari bergerak itu. Siapa dan apa pun yang melanggar hukum gerak berdasarkan posisi dan fungsinya masing-masing maka akan menjadi penyebab disharmoni, instabilitas, dan bahkan menimbulkan kekacauan dan kehancuran.
Dalam bergerak, setiap diri (dan benda) harus mampu mengetahui, memahami, menyadari, dan mewujudkan berdasarkan posisi dan fungsinya masing-masing. Bergerak di atas garis orbitnya masing-masing. Planet atau benda angkasa telah memiliki garis orbitnya sendiri. Yang berwujud manusia pun harus lebih menyadari hukum dan/atau sunnatullah ini.
Penyelenggara pemilu garis orbitnya adalah integritas dan profesionalitas dalam mewujudkan pemilu dan pemilihan yang berkualitas. Pemilih garis orbitnya menjadi “pemilih berdaulat” yang salah satunya terwujud melalui memilih dengan cerdas tanpa tergiur politik uang. Pelajar garis orbitnya adalah belajar dengan baik tanpa membiasakan diri “menyontek” pada saat ujian. Pemimpin negara dan wakil rakyat adalah mengayomi dan memperjuangkan nasib rakyat. Penegak hukum menegakkan hukum. Ini hanya beberapa contoh. Mutiara pesannya adalah kita harus bergerak masing-masing di atas garis orbit. Jika keluar dari garis orbit, maka yakin saja akan menimbulkan kekacauan, bencana, dan kehancuran.
Dalam bentangan hidup penulis, tidak berlebihan ketika disimpulkan bergerak dari cahaya ke cahaya. Dari cahaya matahari dan bulan, ke cahaya inspirasi. Meskipun yang terakhir ini (baca: cahaya inspirasi) mungkin saja masih dalam bentuk merintis jalan, namun semoga telah mampu memancarkan seberkas cahaya.
Andaikan pembaca mengetahui atau mungkin ada pembaca yang sudah mengetahui, sejarah perjalanan diri ini, maka bisa dipastikan langsung membenarkan, bahwa judul ini sudah tepat. Dan agar cahaya itu menjadi cahaya kebenaran dan kebaikan, maka langkah terbaik adalah melakukan refleksi filosofis terhadapnya.
Pertama pembaca harus mengetahui, bahwa diri ini (baca: penulis) dalam rentang perjalanan hidupnya, tidak disinari dengan sorot lampu kemajuan peradaban. Diksi “sorot lampu” yang dimaksud adalah makna yang sebenarnya, artinya lampu listrik sebagai penanda kemajuan peradaban tidak menjadi bagian yang menerangi puluhan tahun kehidupan penulis, terutama di masa-masa mulia menuntut ilmu.
Jangankan lampu listrik, rumah penulis saja, tidak keliru jika harus dinilai dan dikatakan sebagai rumah kumuh. Saya sering mengistilahkannya sendiri sebagai rumah berdinding cahaya. Tidak memiliki dinding yang utuh. Hal ini yang menyebabkan semua cahaya, matahari dan bulan bebas masuk sampai ke kamar tidur sekalipun. Untung saja pencuri bersifat materialistik, sehingga tidak tertarik menjadikan rumah kami sebagai sasaran aksinya. Padahal hanya satu kali lompatan, sudah bisa berada dalam rumah.
Ketiadaan cahaya lampu listrik, bukan berarti menunjukkan bahwa kampung halaman penulis terpencil dan jauh dari kemajuan peradaban. Tempat tinggal penulis berada di jantung kota, sehingga tetangga, dalam radius berapa pun telah menikmati kemajuan peradaban itu. Hanya rumah ini yang gelap di antara gemerlap cahaya kemajuan peradaban, sebagai sebuah konsekuensi logis atas kemiskinan yang entah apakah sebagai takdir atau efek akumulasi dari sikap dan perilaku keluarga yang memantik takdir itu.
Dalam rumah itu, yang tanpa dinding saya masih mampu “khusyuk” dalam belajar, terbukti dengan prestasi akademik dari kelas satu sekolah dasar (SD) sampai kelas tiga SMK, masih mampu bertahan pada posisi peringkat pertama atau ranking satu. Ketika belajar, saya hanya “ditemani” oleh cahaya lampu pelita berbahan bakar minyak tanah (teman saya menyebutnya lampu ‘kodo’-kodo’), cahaya matahari, dan bulan. Gambar ilustrasi pada tulisan ini, kurang lebih menggambarkan diri ini pada saat itu.
Saya tidak ingin membawa pembaca hanya untuk larut dalam kisah masa lalu, yang bisa saja ada pembaca memaknainya sebagai sesuatu yang “suram”. Olehnya itu, poin pertama di atas tidak menjadi hal substansial utama dalam tulisan ini, penguraiannya hanya sebagai setting historis.
Yang menjadi poin utama adalah refleksi cahaya itu. Dalam Al-Qur’an ada beberapa ayat yang menjelaskan tentang matahari dan bulan di antaranya:
Dalam QS. Yunus [10]: 5, Allah berfirman “Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan demikian itu melainkan dengan benar. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui”.
Dalam QS. Nuh [71]: 16, Allah berfirman “Dan disa Dia menciptakan bulan yang bercahaya dan menjadikan matahari sebagai pelita cemerlang”. Satu lagi di antaranya yang menginspirasi dalam QS. Thaha [20]: 130, “Maka sabarlah engkau (Muhammad) atas apa yang mereka katakan, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum matahari terbit dan terbenam…”. Hal substansial dari ayat terakhir ini, terulang kembali dalam QS. Qaf [50]: 39.
Dari penegasan terkait penciptaan matahari dan bulan, saya mendapatkan beberapa percikan filosofis sebagai hasil refleksi di antaranya: Matahari dan bulan sebagai penentu perjalanan kehidupan, telah ditetapkan garis orbitnya dan sama sekali tidak melanggar atas ketentuan itu. Manusia yang tergantung atas proses ini, tentunya harus pula memiliki kesadaran, pentingnya untuk terus bergerak di atas garis orbit.
Selain itu, waktu menjadi hal esensial dalam kehidupan manusia. Dan jika ayat-ayat yang telah saya kutipkan di atas dielaborasi—dan memang firman Allah pada hakikatnya tidak ada yang bertentangan—QS Al-Asr [103]: 1-3, maka kita akan menemukan kesadaran bahwa waktu harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Dan Allah telah menggariskan, agar tidak merugi, sebagaimana sumpahNya “Demi masa”, maka manusia harus beriman, serta saling berkolaborasi dalam kebenaran dan kesabaran. Bahkan Prof. Zakiyuddin & Azaki ini dimaknai secara progresif dalam bentuk ipteks dan moral.
Selain itu, dari kehidupan saya yang bebas menatap langit setiap malam, mendapatkan satu pesan mutiara, yaitu “bintang-bintang cemerlang karena adanya kegelapan”, “kegelapan dihadirkan hanya untuk mencemerlangkan bintang-bintang” dan/atau “kegelapan mencemerlangkan bintang-bintang”. Artinya selama ada keimanan kepada Allah, dan terus berdo’a yang disertai dengan kesabaran, sebagaimana ditegaskan dalam QS. Thaha [20]: 130 di atas dan hal senada diulang dalam QS. Qaf [50]: 39, maka refleksi filosofis atas “kegelapan dan bintang-bintang ini”, akan menjadi kenyataan dalam hidup.
Saya merasakan, meskipun ini bersifat subjektif, dan semoga tidak terjerumus dalam lembah riya’ dan kesombongan—tetapi lebih bersandar pada niat untuk memancarkan/menebarkan cahaya inspirasi—bahwa sungguh kegelapan yang mengiringi dalam puluhan tahun bentangan hidup, sesungguhnya hanya ingin mencemerlangkan diri ini, sebagaimana pesan mutiara di atas “kegelapan mencemerlangkan bintang-bintang”.
Dari rangkaian elaborasi ayat-ayat di atas pun, mengandung pesan atas urgensi, dan signifikansi keimanan, kesabaran, ilmu, dan ketaatan agar bisa keluar dari kegelapan dan untuk memadukan cahaya matahari dan bulan, menjadi sejenis energi fusi yang bertransformasi menjadi cahaya inspirasi. Hal ini pun relevan dengan janji Allah dalam penggalan QS. Al-Mujadalah [58]: 11, Allah menjanjikan keunggulan kepada orang yang beriman dan berilmu.
Melalui matahari dan bulan, membaca tanda-tanda kebesaran Allah dalam sebuah refleksi filosofis berbasis nalar teologis atau keimanan, sehingga atas janji Allah di atas, saya mampu memancarkan cahaya inspirasi meskipun hanya seberkas cahaya. Dari hal ini pula, sehingga pustaka pribadiku yang berisi koleksi buku yang real sebanyak 987 eksamplar dengan judul dan genre yang berbeda-beda dan sangat beragam, saya memberikan nama “Cahaya Inspirasi”.
Koleksi buku yang sebanyak ini—yang di antaranya tidak kurang dari 150 eksamplar dipinjam dan tidak kembali, andaikan sudah ada 1100an—disemangati pula atas refleksi filosofis dari QS. Al-Mujadalah [58]: 11, yang pada substansinya bahwa Allah menjanjikan keunggulan bagi orang yang beriman dan berilmu.
Bagi saya buku-buku koleksi pribadiku ini, bisa menjadi jalan meningkatkan keimanan dan wawasan keilmuan diri ini. Sehingga, meskipun diri ini bukan seorang sarjana karena pada saat itu tidak mampu kuliah dan terbentur persoalan ekonomi, saya tetap mendapatkan peluang untuk mendapatkan janji dan reward mulia dari Allah.
Saya terus berupaya menjaga dan berupaya mewakafkan diri dalam menjaga spirit keilmuan agar “Cahaya Inspirasi” dalam makna yang lebih luas, holistik, dan komprehensif bisa terus memancar khususnya bagi generasi penerus bangsa, meskipun dari diri ini, hanya masih mampu menyinari sudut atau pojok negeri dan peradaban. Tidak ada yang mustahil, dengan terus memaksimalkan do’a dan belajar, semoga kelak “cahaya inspirasi” ini bisa saya pancarkan dalam berbagai dimensi kehidupan, agar bisa menerangi sudut peradaban yang masih mengalami kegelapan.
Tulisan ini dan tulisan-tulisan saya yang lainnya pun, diniatkan semoga bisa menjadi “cahaya inspirasi” terutama generasi muda yang sempat membacanya. Dan saya berani mengatakan–sebagai satu poin motivasi dan bisa pula dimaknai “cahaya inspirasi”–bahwa saya berhasil menduduki posisi sebagai Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023—dan semoga Allah meridhoi untuk berlanjut pada periode berikutnya—adalah karena atau tidak terlepas dari “cahaya inspirasi” itu, dan sekaligus sebagai wujud dari janji Allah sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Mujadalah [58]: 11. Allah mengangkat atau mengeluarkan diri ini dari kegelapan itu.
*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023.