Oleh : Rahmawati Idrus*
Alam diciptakan untuk kepentingan manusia. Betapa banyak menfaat yang dapat manusia ambil dari alam ini. Tidak ada sesuatu pun yang diciptakan Tuhan sia-sia. Betapa tidak beradabnya manusia jika ia merusak sesuatu yang disiapkan untuk kepentingannya. Membahananya isu tentang kerusakan lingkungan secara global beserta segala aspek yang berkaitan dengannya, seperti perubahan cuaca, pemansasan global dan isu lainnya, makin mendorong para ilmuan untuk mencari solusi yang tepat dalam menekan dampak kerusakan lingkungan tersebut. Perilaku yang dilandasi paradigma antroposentrik, yang ditandai dengan etos kerakusan dan hedonis terhadap dunia ternyata memberikan dampak buruk pada alam. Paradigma seperti ini seharusnya ditransformasi menjadi paradigma antroposcosmik, yang menurut Alfred North Whitehead adalah paradigma yang memandang manusia sebagian bagian tak terpisahkan dari alam, bahkan mempunyai peran dan tugas dari Tuhan untuk memeliharanya.
Termasuk pada pembangunan yang telah dianggap sebagai sebuah keniscayaan. Yang mana pembangunan mencerminkan kehendak untuk maju. Pembangunan diyakini membawa perubahan-perubahan yang baik bagi kehidupan. Hampir sulit dipastikan eksistensi sebuah masyarakat dan negara tanpa ditopang oleh paket-paket pembangunan. Begitupun, kelihatan sama sulitnya menghantarkan pembangunan yang cenderung pada kepentingan terbesar masyarakat di tengah lonjakan kepentingan kapitalisme pembangunan. Atas dasar inilah pembangunan kerap menjadi ajang tarik-menarik kepentingan. Jika salah menetapkan langkah pembangunan bukan tidak mungkin akan menjadi counterproductive bagi masyarakat sebagai stakeholder utama pembangunan itu sendiri.
Salah satu probelematika pembangunan adalah semakin terbatasnya tanah, pemanasan global, perubahan cuaca secara ekstrim, serta tak terkendalinya kebutuhan atas pembangunan baik yang dilakukan oleh pemerintah ataupun swasta yang terus meningkat. Akibatnya, penggusuran pun terjadi di mana-mana, reklamasi secara besar-besaran serta semakin bergesernya lahan-lahan ladang, sawah dan perkebunan milik masyarakat kecil. Walaupun alam diciptakan untuk hidup manusia, namun bukan berarti manusia bisa semena-mena dalam mendominasi dan meperlakukan alam. Dalam berintekasi dengan alam, manusia wajib memperhatikan rambu-rambu yang tertuang dalam Al-Qur’an dan sunnah. Prinsip tauhid, amanah, islah, rahmah, ‘adalah, istiqasad, ri’ayah, hirasah, hafazah, dan lain-lain merupakan prinsip-prinsip yang harus selalu menyemat pada diri manusia dalam berinteraksi dengan alam ini. Dalam konteks pemeliharaan lingkungan, Al-qur’an mengingatkan manusia dalam Qur’an Surah AR-Rum/30: 41. “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)“.
Hemat penulis, ayat di atas dengan jelas memberikan informasi kepada kita, bahwa kerusakan lingkungan disebabkan oleh ulah manusia itu sendiri, yaitu ketika ketidakpedulian terhadap pesan-pesan ilahi dalam berinteraksi dengan alam, serta paradigma antroposentris yang mendominasi alam pikir masyarakat, sehingga manusia mementingkan diri sendiri karena cara pandang ini memandang bahwa manusia bukanah bagian integral dari alam. Padahal pemeliharaan lingkungan sejatinya bukan hanya untuk kepentingan manusia sendiri tetapi juga menyangkut eksistensi seluruh makhluk Tuhan, karena pada prinsipnya tidak ada keberadaan di dunia ini yang tidak saling berkaitan dan bergantung.
Korelasi agama dengan lingkungan hidup sudah sejak lama menjadi peran telaah para ilmuwan. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa usaha menyadarkan manusia agar bersifat efesien serta kampanye untuk hidup sederhana, tampaknya hanya slogan belaka karena yang tampak adalah sikap dan gaya hidup yang konsumtif, boros dan hedonis. Gaya seperti ini bukan hanya terdapat di negara maju, namun juga menjalar ke negara-negara berkembang dan miskin. Kita bisa melihat sebagian masyarakat memenuhi ambisinya dengan mengambil apa saja dari kekayaan alam ini, tanpa mengindahkan dampak dan akibat dari semua itu. Penebangan pohon secara illegal, perusakan area serapan, penggalian lahan tambang dimana-mana, adalah contoh perbuatan manusia yang berdampak buruk pada diri dan lingkungan.
Dari sudut pandang pengawasan, UU No. 32 Tahun 2009 atas perubahan UU No. 23 Tahun 1997 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Mendefinisikan pengelolaan lingkungan hidup pada pasal 1 angka 2 yaitu; perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengedalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.
Dalam UU NO.32 Tahun 2009 ini tidak hanya mengatur terkait pelestarian lingkungan hidup, melainkan juga beberapa pasal membahas dan konsen dalam pembangunan nasional di indonesia. Dimana pasal 3 menyebutkan bahwa; pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
Untuk memperkuat komitmen keberpihakan terhadap lingkungan hidup UU No. 32 Tahun 2009 memperkenalkan konsep green legislation, yaitu perumusan peraturan peundang-undangan yang memiliki kepedulian terhadap lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam pasal 44; setiap penyusunan peraturan perundang-undangan pada tingkat nasional dan daerah wajib memperhatian perlindungan fungsi lingkungan hidup dan prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidp sesuai dengan kesatuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Melihat definisi pasal 44 di atas, penulis kemudian mengutip Daniel Goleman dalam bukunya Ecological Intellegence: The Coming Age of Radical Transparacy, yang menjabarkan bahwa begitu banyak produk yang diberi label “green” hanya omong kosong belaka, dan menyoroti ketidakkonsistenan manusia dalam menanggapi krisis ekologis. Produk-produk yang diberi “green” tersebut sebenarnya menurut Daniel tergolong greenish (kehijau-hujaun), yaitu “draped with the mere appearance of of the ecological ,erit”, dihiasi dengan penampilan yang seakan ramah lingkungan. Kegandrungan kita terhaap segala sesuatu yang ramah lingkungan menurut Daniel mempresentasikan tahap transisi , yaitu “a dawing of awereness of ecological impact but one the lacks precesion, depth of understanding, and clarity”, yaitu munculnya kesadaran terhadap dampak ekologis tetapi masih kurang dala hal ketepatan, kedalaman pemahaman, serta kejelasan. Umumnya apa yang digembor-gemborkan sebagai “hijau” pada kenyataanya hanya suatu fantasi atau suatu yang dibesar-besarkan. Standar kehijauan yang sekarang ada tidak mungkin kelak akan dianggap eko-miopia, yaitu pandangan yang dangkal terhadap lingkungan . Daniel berpendapat: “green is a process, no a status-we need to think of freem as a verb, not an adjektive. That semantic shift help us focus better on greening”. Hijau adalah proses bukan status, yang perlu dimaknai sebagai suatu kata kerja, bukan sebagai kata sifat, yang mungkin dapat membantu kita untuk lebih fokus pada upaya ramah lingkungan.
Sebagai kesimpulan, penulis ingin menutup tulisan ini dengan menegaskan bahwa lingkungan hidup merupakan isu terpenting dalam kehidupan manusia. Lingkungan hidup adalah realitas yang harus dijaga, dirawat dan dikembangkan sedemikian rupa untuk menunjang kesuksesan hidup manusia, baik secara fisik maupun mental. Tidak dapat terpikirkan bagaiman realitas kehidupan “anak manusia” masa kini dan masa depan apabila lingkungan hidup mengalami degradasi yang memprihatinkan.
Kejahatan lingkungan hidup merupakan kejahatan konstitusional, karena merupakan pengkebirian terhadap hak asasi manusia untuk mendapatkan lingkungan yang baik, dan sehat, sebagaimana dalam pasal 28H UUD NRI Tahun 1945. Konstitusional HAM atas lingkungan hidup semakin dipertegas dengan diundangkannya UU 32 Tahun 2009 sebagaiman telah dijelaskan diawal. Penegasan lainnya tercantum pada pasal 3 huruf g UU No 32 Tahun 2009 yang menyatakan ; perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan untuk menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia. Serta pasal 65 ayat (1) UU 32 Tahun 2009 yang menyatakan ; setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.
* Penulis adalah Ketua Umum PW IPM Sulsel Periode 2014-2016