Oleh: Agusliadi Massere*
Salah satu hal terpenting dalam hidup adalah “memiliki prinsip”. Prinsip secara fungsional mampu menggerakkan, mengarahkan, dan mengendalikan seseorang yang memilikinya. Dalam perspektif ESQ Ary Ginanjar Agustian, kita bisa menemukan—jika diinterpretasi ulang—satu kesimpulan bahwa “dalam hidup harus memiliki prinsip yang benar, jika sebaliknya maka prinsip itu justru akan menjadi belenggu hati yang menutupi suara kebenaran dan suara Tuhan”.
Ary Ginanjar pun menawarkan dan menegaskan bahwa basis prinsip yang kokoh, dalam agama Islam, adalah “rukun iman”. Hanya saja tulisan ini sedang tidak diniatkan untuk fokus membahas hal itu, tetapi pada tulisan lain, saya telah pernah menjelaskannya. Kita sedang fokus pada salah satu tagline Komisi Pemilihan Umum yaitu “Bersama KPU, Kita Bahagia”.
Tagline—berdasarkan beberapa pemahaman yang telah terpatri dalam diri ini—adalah serupa dengan prinsip. Idealnya sebuah tagline harus mampu menggerakkan, mengarahkan, dan mengendalikan orang-orang yang memiliki atau seringkali mengikrarkan, dan memancarkannya melalui instrumen verbal, bahkan idealnya seiring dengan pembenaran dan penguatan suara hati.
Kedahsyatan tagline yang sering diucapkan idealnya beroperasi dalam mekanisme psikologis dan law of attraction (hukum tarik menarik), atau Rusdin S. Rauf—penulis buku bestseller Quranic Law of Attraction—mengistilahkannya “hukum ketertarikan”. Kedahsyatan tagline pun bisa beroperasi dalam—apa yang telah ditegaskan oleh Budi Setiawan Muhammad, M.Pd—“Kata bukanlah sekadar penjelasan terhadap suatu realitas tetapi pembentuk realitas itu sendiri”.
Relevan dengan pandangan Budi Setiawan, begitu pun berdasarkan pandangan para penulis dan pemikir konsepsi law of attraction, tagline idealnya harus mampu menciptakan suatu realitas. Bukan sekadar penejalasan terhadap realitas tertentu.
Tagline “Bersama KPU, Kita Bahagia”, jika seandainya belum mampu menggambarkan realitas yang terjadi karena di tengah padatnya tahapan penyelenggaraan Pemilu, sering dikejar waktu, kegiatan yang saling berhimpitan, sehingga jika kita selaku penyelenggara pemilu, mengedepankan sikap yang biasa-biasa saja, maka bisa dipastikan justru yang terjadi tidak sesuai dengan tagline tersebut. Saya pribadi menyakini bahwa tujuan utama tagline tersebut adalah sebagai upaya—relevan dengan yang telah diungkapkan oleh Budi Setiawan—“untuk menciptakan realitas bahagia atau kebahagiaan”.
Melalui tagline KPU tersebut, saya memandang bahwa seharusnya kita para penyelenggara pemilu berupaya untuk mampu merasakan kebahagiaan, minimal seperti ini. Sebenarnya, jika kita menyadari terkait apa yang disebut dengan law of attraction, maka tagline KPU tersebut di atas yang sering diucapkan akan mampu membawa diri kita masing-masing untuk mencapai kebahagiaan, atau sebaliknya kebahagiaan yang akan mendatangi kita.
Selain kesadaran atas sistem operasional law of attraction yang bisa diimpelemntasikan secara fungsional dalam konteks apapun, sebenarnya kita pun punya banyak arena dan modal untuk “benar-benar” mencapai apa yang telah menjadi tagline tersebut. Meskipun, kita mungkin menyadari bahwa itu juga bukan perkara mudah, tetapi yang pasti bukanlah merupakan barang yang mustahil.
Sebelum saya membawa atau sedikit memercikkan hal-hal yang bisa dilakukan agar kita minimal para penyelenggara pemilu—benar-benar—mampu sampai sesuai dengan tagline KPU di atas, ada hal menarik dibalik tagline tersebut. Dan hal menarik ini, adalah sesuatu yang menduduki posisi strategis dalam penciptaan kualitas Pemilu, meskipun maksimal sebatas pada terwujudnya demokrasi-prosedural. Berdasarkan keyakinan saya, penyelenggara pemilu, punya keterbatasan—berdasarkan kode etik yang mengikatnya—untuk sampai pada upaya pencapian demokrasi-substansial. Pada tulisan lain, saya telah pernah menjelaskannya panjang kali lebar gambaran keterbatasan penyelenggara pemilu untuk mewujudkan demokrasi-substansial.
Apa yang menarik itu?
Satu terma dalam diksi tagline KPU tersebut, menegaskan kata “bahagia”. Jika para sahabat pembaca tulisan-tulisan saya, atau khususnya penyelenggara pemilu pernah membaca tulisan saya yang di dalamnya menegaskan terkait—ibarat burung—“Ada dua sayap yang dibutuhkan untuk terbang menuju Pemilu 2024”, yaitu sayap “integritas” dan “profesionalitas”, maka terma “bahagia” ini seakan menjadi titik temu. Dan bahkan kita merasakan memiliki relasi triadik, hubungan segitiga yang saling menguatkan.
Apa artinya relasi triadik atau hubungan segitiga yang saling menguatkan antara “integritas”, “bahagia”, dan “profesionalitas”? Dalam perenungan saya, mustahil diri kita akan mampu mencapai kebahagiaan hakiki tanpa kecuali diri kita selaku penyelenggara pemilu, jika diri kita tidak berjalan di atas rel “integritas”.
Hal ini, saya memahaminya setelah membaca perspektif tiga visi mulia manusia dalam pandangan Quraish Shihab. Uraian sederhananya sepert ini. Salah satu visi mulia manusia—sebagaimana saya pinjam dari pandangan Quraish Shihab—adalah beribadah, yang saya interpretasi ulang yaitu “rido Allah”. Rido Allah ibarat irama kehidupan, itu telah ditiupkan ke dalam diri setiap manusia atau dengan kata lain, telah built-in dalam diri kita semua.
Irama dalam pengertian harfiah-duniawiah saja, jika tidak selaras antara “musik dan lagunya atau musik dan goyangannya” maka akan terjadi disharmoni. Begitu pun, jika perbuatan kita tidak sesuai dengan rido Allah, bisa dipastikan hati kita akan gelisah atau dengan kata lain tidak bahagia.
Berbeda, jika sikap dan perbuatan kita sesuai dengan rido Allah maka itu akan melahirkan hormon kebahagiaan. Artinya jika kita berjalan di atas rel integritas maka bisa dipastikan hati akan bahagia. Apalagi jika, kita bertahan di atas integritas karena kesadaran akan kehadiran dan pengawasan Allah, maka kebahagiaan itu akan berlipat-ganda.
Selanjutnya hati yang bahagia, jika memahami perspektif Bobbi DePorter & Mike Hernacki (penulis buku Quantum Learning)—hanya saja pada tulisan ini, saya tidak menguraikannya secara detail, apalagi saya telah pernah menjelaskannya pada tulisan lain—akan mampu memantik kedahsyatan otak. Selain itu akan mampu memengaruhi gelombang otak yang sarat dengan percikan-percikan ide. Dua dampak lanjutan ini, baik kedahsyatan fungsi otak maupun terhadap gelombang otak (alpha dan/atau theta yang sarat dengan percikan ide bahkan intuisi) maka tentunya bermuara pada profesionalitas.
Seperti itulah, sebagaimana yang telah saya jelaskan di atas bahwa, antara “integritas”, “kebahagiaan”, dan “profesionalitas” memiliki relasi triadik, tiga hubungan yang saling menguatkan. Secara tidak langsung, tagline KPU di atas, bisa disimpulkan pula bahwa muaranya, pencapaiannya dan/atau upaya mewujudkannya bisa pada “integritas” dan “profesionalitas”. Dalam pandangan saya, keduanya (baca: integritas dan profesionalitas) adalah “Dua sayap yang dibutuhkan untuk terbang menuju Pemilu 2024”.
Upaya praktis dan duniawi pun bisa dilakukan agar tagline KPU “Bersama KPU, Kita Bahagia” bisa terwujud. Upaya tersebut antara lain: Setiap penyelenggara pemilu, membawa pekerjaannya dalam dimensi rido Allah; setiap pekerjaan diorientasikan pada pencapaian tujuan yang lebih mulia, lebih besar, dan bersifat kepentingan umum; saling menjaga spirit dan suasana hati di antara sesama penyelenggara pemilu; dan mengurangi egoistik.
Mengucapkan secara terus menerus dan disertai getaran jiwa atas tagline KPU tersebut, bisa diyakini sebagai upaya untuk menuju atau mencapai kebahagaian. Bahkan, berdasarkan law of attraction bisa saja kebahagiaan yang mendatangi kita.
Tagline ini pula bisa saja merefleksikan yang peruntukkannya bagi kita semua, bukan hanya untuk penyelenggara pemilu semata, tetapi siapa saja yang bergerak bersama dalam upaya menyukseskan Pemilu akan merasakan kebahagiaan, karena segala proses dalam Pemilu semua bermuara pada kemanfaatan bersama.
*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023