Oleh: Agusliadi Massere*
Pekan ini, beberapa hari telah berlalu, saya tersentak dengan “status” teman (untuk menjaga etika saya tidak menyebut namanya) di beranda Facebooknya dengan menampilkan screenshoot “status” temannya.
Pada hasil screenshoot tersebut menampilkan beberapa tulisan, sejenis refleksi singkat. Yang pada kesimpulan dan penegasannya antara lain: “Menghafal Bukan Jalan Kecerdasan”, bahkan ini terkesan dijadikan sebagai judulnya. Dalam urain berikutnya, dia menegaskan pula “menghafal itu tidak mengembangkan kecerdasan berpikir – statis. Ia bertumpu pada pembiasaan”.
Selain itu menurutnya lagi, “metode ini biasanya diterapkan pada hewan sircus dengan tambahan reward dan punishment. Seseorang yang hafal sekian ratus buku sekalipun tidak menjamin ia orang yang cerdas. Menghafal itu hanya merekam informasi. Negara maju sudah meninggalkan pembelajaran dengan cara penghafalan ini”.
Bahkan dirinya pun seakan menegaskan sebagai berikut, “Tapi sebahagiaan kita malah bangga dan kagum dengan kemampuan menghafal seseorang, dan mendorong anak-anak kita untuk menghafal banyak hal. Hari gini kemampuan menghafal itu tidak menjadi suatu yang penting, hampir semua informasi yang dihafal itu ada di google”.
Sekali lagi saya menyampaikan bahwa saya tersentak membaca ini, dan merasa “terpanggil” seakan memiliki tanggung jawab sosial. Idealnya para “pakar” atau “akademisi”-lah yang memiliki perasaan sejenis yang saya rasakan.
Selain itu, yang kedua dan terkesan kontroversial atau paradoks dengan kesimpulan di atas, kurang lebih 5 s/d 7 tahun yang lalu saya mendapati video berdurasi 01:27:32 (kurang lebih 1,5 jam). Video itu masih tersimpan sampai sekarang di laptop pribadi dan harddisk eksternal saya. Salah satu substansi yang dibahas adalah peran, urgensi, signifikansi, serta implikasi menghafal. Pembicara utama (sebagai narasumber) dalam video ini adalah Budi Ashari, LC. Tema utama video ini adalah pendidikan Islam.
Budi Ashari, sangat tidak sependapat ketika disimpulkan bahwa menghafal itu tidak penting, bahkan dirinya “terkesan” mengecam seorang “pakar” atau “filsuf” yang selama ini tidak suka metode menghafal dan ternyata telah menjadi rujukan utama dalam dunia Pendidikan. Dirinya (baca: Budi Ashari) menurut pengakuannya dalam video itu pernah menghadapi peserta, seorang “ibu-ibu”, yang pada substansinya mempertanyakan pendapat Budi Ashari, katanya pernah suatu ketika salah seorang konsultan pendidikan di sekolahnya menyimpulkan bahwa “menghafal tidak ramah otak”.
***
Dari hasil screenshoot yang menjadi “status” Facebook teman di atas yang menyimpulkan “Menghafal bukan Jalan Kecerdasan” saya tidak sependapat dan termasuk dengan semua uraiannya. Meskipun, jika ditarik secara kontekstual merujuk pada fenomena kehidupan hari, saya tidak menyalahkan sepenuhnya (atau minimal saya memaklumi) karena saya mencoba memahami secara semiotik bahwa bisa jadi “di bagian belakang” (tepatnya: alam bahwa sadar)-nya ada sejenis akumulasi keresahan dan sekaligus harapan kebaikan dan kemuliaan. Dan harapannya tidak sepenuhnya sesuai kenyataan. Hal ini pun saya semakin memahami kontekstualisasinya, setelah si pemilik “status” Facebook yang menampilkan hasil screenshoot itu, berkomentar dengan menekankan dan mengharapkan aspek kontektualisasinya. Dan saya sepakat.
Bagi saya menghafal itu justru adalah jalan kecerdasan. Meskipun bukan satu-satunya, tetapi menghafal memiliki urgensi dan implikasi besar terhadap lahirnya kecerdasan. Perlu kita pahami di sini, bahwa konteks utamanya, baik oleh si pembuat status facebook, Budi Ashari, dan saya sendiri, yang dimaksud (bisa saja) adalah “kecerdasan intelektual”. Saya bisa memastikannya seperti itu.
Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) “menghafal” itu adalah “berusaha meresapkan ke dalam pikiran agar selalu diingat”. Menghafal jika kita ingin memperluas maknanya adalah upaya menyimpan informasi, pengetahuan, data, dan/atau simbol dalam memori otak.
Saya sama sekali tidak sependapat jika disimpulkan bahwa “menghafal itu tidak mengembangkan kecerdasan berpikir-Statis”. Apalagi sebagaimana yang disampaikan oleh Budi Ashari, bahwa ada pesertanya yang menyampaikan adanya konsultan pendidikan yang menyimpulkan bahwa “menghafal itu tidak ramah otak”. Saya berani mengatakan bahwa kesimpulan ini sangat keliru dan fatal.
Setelah saya menyelami makna demi makna dari pernyataan tersebut sebagaimana hasil screenshoot, sesungguhnya dirinya sendiri di antara kesimpulan-kesimpulan yang ada justru membangun argumentasi yang tidak disadari paradoks atau bertentangan dari argumentasi sebelumnya. Dirinya pun menyimpulkan termasuk telah saya tuliskan di atas “Hari gini kemampuan menghafal itu tidak menjadi suatu yang penting, hampir semua informasi yang dihafal itu ada di google”. Jika kita merenung secara mendalam menyebut kata “google” dan terkesan selama ini, kita semua mengagumi kedahsyatan fungsinya, justru sesungguhnya kita harus berupaya memiliki kemampuan diri seperti “google” tersebut.
Apakah kita tidak pernah merenungkan, menganalisa secara mendalam mengapa dan kenapa google memiliki fungsi sedahsyat itu?. Saya mencoba mengilustrasi dan merefleksikan secara sederhana hasil perenungan saya terkait google (aplikasi pencarian yang sangat dahsyat). Andaikan google berwujud sejenis manusia atau makhluk hidup, maka kita bisa menyebut “dirinya”-lah si penghafal terhebat di dunia.
Mekanisme kerja google, sesungguhnya jika memperhatikan defenisi menghafal menurut KBBI di atas saja, secara implisit di dalamnya tersirat kemampuan interrelasi atau multi koneksi dengan berbagai server yang di dalamnya mengandung jutaan data. Atau mungkin tidak keliru jika kita singkat dengan “big data”. Jadi andaikan google ini berwujud manusia, google hanya membangun multi relasi dengan para penghafal, dalam hal ini server yang di dalamnya masing-masing mengandung big data. Bahkan dunia teknologi digital, saya yakin tidak keliru, meskipun server server yang dimaksud dan mengandung miliaran informasi sebagai sebuah big data terletak secara geografis saling berjauhan, tetapi seungguhnya berada dalam satu kesatuan. Sehingga inilah yang membuat saya berkesimpulan, andaikan google adalah manusia, maka dirinya adalah penghafal terbaik dan terhebat di dunia.
Dari hal ini pula, sehingga kita sesungguhnya sebagai manusia idealnya bisa lebih hebat atau dahsyat daripada google it sendiri. Hardware dan software sejenis yang digunakan google, meskipun wujud dan nama yang berbeda, telah built-in dalam diri kita. Otak dan gelombang otak kita, sesungguhnya bisa melakukan sejenis atau mekanisme kerja yang dijalankan oleh google. Sehingga bisa sedahsyat itu.
***
Dari perenungan dan kesadaran inilah, bahwa untuk bisa memiliki otak seperti kemampuan google maka syarat utamanya adalah “menghafal” (meresapkan atau menyimpan informasi dalam pikiran dan/atau otak). Hanya karena google tidak berwujud manusia, sehingga istilah yang digunakan tidak disebut “menghafal”, melainkan istilahnya proses input data ke dalam server. Apakah kita mengira, bahwa jika tidak ada data yang tersimpan dalam miliaran server yang membentuk sebuah big data, google bisa sedahsyat itu?. Jawabannya sudah pasti “tidak”.
Salah satu indikator sehingga seseorang bisa disebut cerdas, termasuk terkait kecerdasan intelektual (meskipun bagi saya, kecerdasan emosional dan spiritual termasuk bisa menjadi bagian di dalamnya) adalah kemampuan menganalisa. Modal terbaik untuk melakukan analisa sesungguhnya adalah, adanya pengetahuan, memori, data dan/atau simbol yang ada dalam diri (otak) kita. Dalam sebuah riset sering kali disimpulkan, bahwa di dalamnya minimal ada subjektivitas, dasar pemikiran dan pertimbangan berdasakan yang dipahami dan diyakini oleh personal yang melakukan riset, termasuk dan terutama aspek ideologi.
Minimal logika sederhana di atas sudah bisa memberikan pencerahan bahwa menghafal itu sangat penting dan memiliki implikasi besar dalam kehidupan. Dan berbeda dengan pandangan orang tersebut, si pembuat “status”, saya berani menyimpulkan bahwa “meskipun hanya menghafal puluhan buku, apalagi ratusan atau ribuan, saya yakin orang itu kecerdasannya semakin meningkat”. Mengapa demikian, karena sebagaimana mekanisme kerja google―saya menyebutnya demikian karena google terkesan sangat diakui kedashyatannya oleh manusia penghuni bumi ini―dengan menghafal banyak buku itu berarti banyak memori, data, informasi, pengetahuan yang ada dalam dan diolah oleh otak dan pikiran kita untuk melahirkan pengetahuan-pengetahuan baru, terobosan dan ide-ide cemerlang.
Saya setuju dengan pendapat Budi Ashari, sebagaimana dalam videonya itu, bahwa “bagaimana kita bisa menganalisa jika pengetahuan, informasi, atau data-data itu tidak ada dalam diri kita”. Dan beliau telah pernah membuktikan, menurutnya bahwa pernah suatu ketika, ada sebuah forum diskusi termasuk dihadiri oleh banyak Professor, berjam-jam tidak ditemukan kesimpulan, hanya diwarnai dengan perdebatan. Lalu Budi Ashari tampil menegaskan, “bahwa apa yang diperdebatkan itu, baik pertanyaan, jawaban, bantahan, jawabannya lagi, bantahan, jawabannya lagi dan seterusnya itu telah selesai, telah pernah ada dan telah tuntas dalam konsep pendidikan Islam”. Mengapa mereka terus berdebat tanpa menghasilkan sebuah kesimpulan dan keputusan, karena sesungguhnya baik Budi Ashari, dan saya sendiri sebagaimana dalam konteks tulisan ini, karena ilmunya tidak ada dalam diri mereka, karena mereka tidak “menghafal” (tida tersimpan) dalam otaknya.
Terkait hal ini pula, saya sangat menyadari dari aktivitas menulis yang sering saya lakukan. Jika ilmu pengetahuan, informasi dan/atau data itu, yang menjadi bahan untuk mengonstruksi sebuah gagasan atau tulisan belum ada dalam diri, maka proses penyelesaian tulisannya lambat selesai. Berbeda jika apa yang ingi saya tulisan, telah saya pahami (hafal) termasuk buku yang menjadi sumber rujukannya, saya ingat dengan baik termasuk letak halamannya, maka proses penyelesaiannya sangat singkat/cepat. Jadi menghafal itu baik dan menjadi jalan kecerdasan. Menulis pelurunya adalah kata-kata. Jika kata-kata itu tidak tersimpan dalam benak kita, ibarat orang berperang, lambat menembak, atau sama sekali tidak bisa menembak karena peluru itu belum ada atau belum dipahami yang mana peluru yang tepat.
Saya sering menyampaikan dalam sebuah forum, bahwa ada hal termasuk sebagai sejenis mekanisme kerja yang terjadi dalam dunia teknologi digital yang berkontribusi pada kemajuan pesat kehidupan hari ini. Di antaranya ada yang disebut dengan “algoritma” dan “big data”. Tetapi saya menyadari atas perenungan, sejenis inner journey ke dalam diri sendiri, bahwa sesungguhnya dalam diri kita terdapat pula hal dan mekanisme kerjanya mirip dengan yang terjadi dalam dunia teknologi digital, yaitu saya menyebutnya, “algoritma” dan “big data”. Seperti apa dan bagaimana sikap dan tindakan kita dalam kehidupan ini, sangat dipengaruhi oleh big data (memori, pengetahuan, informasi dan/atau simbol) yang tersimpan dalam diri kita. Karena algoritma pikiran sangat tergantung jenis baik secara kualitatif maupun kuantitatif apa yang tersimpan dalam diri (otak) kita.
Saya sepakat, bahwa dalam menghafal, salah satunya bertumpu pada “pembiasaan”. Namun harus dipahami dan disadari dalam pembiasaan itulah, pikiran-pikiran (termasuk perasaan) menjadi langkah untuk menjadi sebuah karakter dan menentukan nasib hidup kita. Pembiasaan atau sesuatu yang telah menjadi kebiasaan itu positif. Bukan hanya diperuntutkan untuk kepentingan sirkus yang menampilkan kehebatan binatang. Pembiasaan atau kebiasaan berdasarkan sunnatulallah atau law of attraction baik yang berlaku dan terjadi dalam makrokosmos (alam semesta) maupun mikrokosmos (dalam diri) manusia, senantiasa menimbulkan efek dahsyat.
Dan bahkan pembiasaan, dibiasakan, kebiasaan atau diulang-ulang, adalah salah satu modal utama agar intuisi bisa senantiasa hadir dalam kehidupan. Selain itu kebiasaan satu langkah lagi akan menjadi karakter. Kita telah pahami bersama, bahwa segala sesuatu yang telah menjadi karakter maka bisa melahirkan perubahan dari sesuatu yang berat menjadi mudah, yang terpaksa menjadi tulus, ikhlas, yang susah menjadi menyenangkan, serta setelah ini, akan bermuara pada nasib hidup.
Pembiasaan (dan sesuatu bisa dihafal jika melewati apa yang disebut “pembiasaan” atau “diulang-ulang”) pun jika mencermati teori neurosains, itu akan memperkuat dan memperbanyak koneksi saraf. Jika mencermati prinsip prinsip dalam teori Quantum Learning, Quantum Learning, dan The Accelerated Learning, serta neurosains sendiri, salah satunya kita akan sampai pada kesimpulan bahwa semakin banyak dendrit sel otak kita yang bersambungan (terkoneksi) maka diri kita semakin cerdas. Sedangkan yang bisa membuat semakin banyak dendrit bersambungan atau terkoneksi, selain berpikir adalah menghafal dan mengulang-ulang sesuatu (termasuk pelajaran).
Dalam buku Quantum Learning karya Bobbi DePorter & Mike Hernacki, ada hal menarik yang saya temukan dan hal tersebut relevan dengan tulisan ini. DePorter & Hernacki memandang Quantum Learning adalah proses mengubah energi menjadi cahaya. Hal itu, mereka terinspirasi dari rumus yang terkenal dalam fisika kuantum. Rumusnya “Massa kali kecepatan cahaya kuadrat sama dengan energi”.
Dari rumus fiska kuantum tersebut, saya melakukan reinterpretasi (atau jika ini tidak tepat, saya lakukan sejenis derivasi) dari interpretasi yang dilakukan oleh DePorter & Hernacki. Diri kita adalah sebagai “massa” itu. Sedangkan ilmu pengetahuan, informasi dan/atau data adalah sebagai “cahaya”. Agar terjadi kecepatan cahaya yang dahsyat, maka ilmu pengetahuan, informasi dan/atau data itu, harus tersimpan dalam diri. Bahkan jika hal itu tersimpan dalam diri, pasti akan lebih cepat prosesnya daripada jika kita melakukan searching di google.
***
Lalu bagaimana saya memahami secara kontekstual, premi-premis yang ada dalam hasil screenshoot tersebut? Saya harus menegaskan terlebih dahulu, bahwa beberapa kali saya menemukan “status” tulisan sejenis di beranda Facebook teman. Ada sejenis “keluhan” tetapi sebenarnya itu adalah hasil refleksi dari harapan baik dan mulia.
Ada sejenis sorotan, mengapa umat Islam hanya fokus menghafal Al-Qur’an. Sedangka pada sisi atau dimensi lain, kehidupan atau peradaban Islam terseok-seok menghadapi peradaban Barat. Sehinga akumulasi inilah melahirkan sejenis keresahaan terhadap metode menghafal itu. Entahlan apakah si penulis status berdasarkan hasil screenshoot tersebut berada pada kondisi perasaan yang sama.
Jika ternyata yang disorot adalah kebiasaan menghafal Al-Qur’an, jadi penghafal Al-Qur’an. Saya menegaskan menghafal Al-Qur’an itu tidak keliru. Saya pun, yang sudah sangat terlambat dan meskipun saya belum memulainya masih punya niat, “mudah-mudahan” kelak bisa menghafalnya. Namun bukan hanya itu, jangan menghafal versi Bahasa Arabnya (kecuali jika memang kita orang Arab). Yang terbaik adalah, kita pun seharunsya memahami, versi terjemahannya, tafsir dan/atau maknanya. Supaya dalam diri kita ada Big Data, sehingga memiliki kemampuan seperti google. Jika ini dimiliki maka betapa diri kita bisa melahirkan algoritma pemikiran dalam rangka melahirkan ide-ide, keputusan-keputusan berbasis Al-Qur’an.
Dan saya pun, menegaskan bahwa idealnya jangan hanya menghafal Al-Qur’an, termasuk ilmu lainnya, untuk memperkuat pemahaman kita terhadap Al-Qur’an yang berfungsi untuk membaca realitas kehidupan.
Selain itu, karena aktivitas menghafal jika tidak memperhatikan metode yang tepat bisa hanya fokus penggunaan belaan otak kiri, maka sebaiknya menemukan formulasi metode, agar aktivitas menghafal yang identik dengan otak kiri, bisa secara bersamaan dan seimbang ada hal yang bisa pula mengaktivasi otak kanannya. Dari hal ini pula, sebenarnya dan perlu ada keberanian untuk mencoba, bahwa sebenarnya aktivitas menghafal Al-Qur’an tidak “anti” dengan aktivitas sambil “mendengar musik”. Tetapi saya pun menyadari, jika makna dan terjemahan Al-Qur’an bisa dipahami dan diresapi karena diakui keindahannya, pada saat yang sama aktvitas menghafal yang fokus penggunaan otak kiri, bisa pula teraktivasi fungsi otak kanan.
Berbeda dengan aktivitas menghafal hal lain, selain Al-Qur’an, sebaiknya wajib ada hal lain yang dilakukan secara bersamaan (seperti sambil mendengarkan musik) agar otak kanan berfungsi secara bersamaan dan seimang.
Akhir tulisan ini, saya ingin pula menegaskan bahwa sangat keliru kesimpulan di atas bahwa “menghafal tidak ramah otak”. Sesungguhnya dengan menghafal itu salah satu hal yang bisa mengaktivasi bagian otak yang disebut “otak mamalia” (sistem limbik). Karena bagian otak ini, salah satu fungsinya adalah ingatan.
Saya sangat menyadari ruang dan waktu ini, sangat terbatas untuk menguraikan lebih mendalam lagi. Semoga pada kesempatan lain, bisa diuraikan lebih lanjut. Selain itu, untuk tulisan yang diniatkan terbit di media online, tulisan ini sudah terlalu panjang, sehingga untuk sementara saya harus hentikan aliran ide ini.
* Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023
Sumber ilustrasi: Republika