Oleh: Muh. Fadlun (Anggota Bidang PIP PW IPM Sulsel)
KHITTAH. CO – Dua dekade tersisa menuju Indonesia Emas 2045, yang bertepatan dengan seabad proklamasi kemerdekaan. Kita dihadapkan pada sebuah paradoks. Di satu sisi, ada harapan besar akan masa depan yang berkilau, seemas namanya. Namun, di sisi lain muncul kecemasan yang tidak kalah besarnya. Jika diibaratkan, kita punya smartphone super canggih tapi digunakan hanya untuk main TikTok seharian saja.
Kemudahan di era modern seringkali membuat kita terlena serta abai, yang memicu kekhawatiran bahwa alih-alih memanfaatkan kemajuan, kita justru semakin terjerumus dalam kemudahan yang meninabobokan. Kita hanya jadi penonton, melihat perubahan zaman yang seharusnya kita kendalikan.
Kecemasan ini seolah hadir dalam hadis riwayat Anas bin Malik RadhiyallahuAnhu “Tidak akan datang suatu zaman atas manusia melainkan zaman setelahnya lebih buruk dari sebelumnya.” Jika dikaitkan dengan harapan Indonesia Emas 2045, hadis ini menimbulkan pertanyaan mendalam. Apakah “emas” yang kita harapkan akan benar-benar terwujud atau justru memicu dampak negatif menjadi Indonesia kapitalis yang dampaknya tentu pada kesenjangan sosial dan ekonomi, serta individualisme yang mengikis solidaritas? Maka Jika kita melihat “emas” juga sangat identik dengan bau kapital yang modelnya berlebih, tentu saja kita tidak menginginkan hal-hal tersebut terjadi nantinya.
Bhinneka Tunggal Ikhlas
Semboyan bangsa kita, Bhinneka Tunggal Ika, yang berarti “berbeda-beda tetapi tetap satu”, telah menjadi fondasi persatuan sejak zaman Mpu Tantular di abad ke-14 dalam Kakawin Sutasoma. Frasa ini tidak hanya sebatas teks kuno, tetapi juga cerminan semangat solidaritas yang kuat. Jika kita maknai dengan kacamata Bugis Makassar, ia sangat mirip dengan filosofi siri’ na pacce.
Siri’ na pacce mencerminkan rasa malu atau harga diri (siri’) yang menjaga kehormatannya, serta rasa empati dan solidaritas (pacce) yang muncul saat melihat penderitaan orang lain. Nilai-nilai ini menjadi kekuatan besar yang menyatukan kita, baik di masa pra kemerdekaan maupun pra reformasi. Solidaritas terbangun bukan hanya karena kita memiliki masalah yang sama, melainkan juga karena kita berbagi rasa pedih dan keinginan untuk saling membantu.
Tapi hari ini, kita melihat semboyan itu berubah menjadi Bhinneka Tunggal Ikhlas. “Bhinneka” yang artinya berbeda-beda, “Tunggal” yang sekarang maknanya jadi individual dan “Ikhlas” yang artinya ikhlas saja. Kita hanya bisa pasrah melihat tiang-tiang penyangga persatuan kita mulai rapuh. Saat ada gesekan, kita hanya jadi penonton setia, berharap masalah selesai dengan sendirinya, tanpa mau ikut turun tangan. Mirip seperti nonton sinetron, ada konflik, ada drama, tapi kita biasanya hanya teriak-teriak.
Saat ini, politik identitas sering dianggap sebagai ancaman yang dapat memecah belah. Namun, sejatinya, politik identitas yang baik harusnya dibangun di atas nilai-nilai yang kuat dan terimplementasi dengan baik.
Refleksi dari surah Al-Kafirun menawarkan perspektif penting tentang makna toleransi sejati. Ayat “Aku tidak menyembah apa yang kamu sembah dan kamu tidak menyembah apa yang aku sembah” bukan berarti menolak atau memusuhi, melainkan menegaskan bahwa perbedaan keyakinan adalah sebuah keniscayaan.
Toleransi sejati bukan berarti menghilangkan perbedaan, tetapi menghargai keberadaan perbedaan itu sendiri. Sebaliknya, bisa jadi yang disebut “kafir” adalah mereka yang tidak mampu menghargai perbedaan yang tidak mampu menumbuhkan nilai-nilai solidaritas dalam keberagaman. Mereka adalah orang-orang yang melihat perbedaan sebagai alasan untuk memicu konflik, bukan sebagai kekayaan yang harus dilindungi.
Menjelang 80 tahun kemerdekaan, kita perlu merenungkan kembali bagaimana kita menyikapi perbedaan. Kita sering terjebak dalam bias afirmasi, di mana kita meyakini kebenaran kita sendiri tanpa pernah mau mempertanyakannya. Kita terlalu mudah menyalahkan dan memusuhi orang lain hanya karena keyakinannya, baik itu dalam hal agama, budaya, organisasi, atau pandangan hidup.
Tema kemerdekaan “Bersatu, Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju” diharap harus lebih dari sekadar pajangan di spanduk atau hastag di media sosial. Ia harus menjadi ajakan untuk mengimplementasikan nilai-nilai luhur dalam setiap aspek kehidupan kita. Tentunya kita harus berhenti menjadi penonton dan mulai menjadi pemain.
Selamat Hari Ulang Tahun ke-80 Indonesia ku! Tidak ada yang abadi kecuali perubahan dan untuk mengawali perubahan yang lebih baik, semuanya harus dimulai dari diri kita sendiri.