Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Bulan Ramadan Samudera Kebahagiaan

×

Bulan Ramadan Samudera Kebahagiaan

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*

KHITTAH.CO, – Selain kesuksesan, kebahagiaan adalah harapan bagi semua orang. Mungkin inilah salah satu alasan Eric Weiner berkeliling ke berbagai negara untuk mencari tempat yang membahagiakan. Bukan sekadar proyek “kebahagiaan”. Bahkan Denny JA, menegaskan bahwa, manusia “Tak hanya roti dan daging yang diburu. Dikejar pula makna dan bahagia. Disingkap pula misteri”.

Dr. Aidh al-Qarni penulis buku La Tahzan (Jangan Bersedih)—buku terlaris di Timur Tengah—dengan berbagai dalil dan kutipan ayat Al-Qur’an yang ada dalam bukunya, secara substansial menegaskan “jangan bersedih!” atau tidak ada jalan untuk bersedih. Dalam pandangan saya, sebagai hasil penarikan kesimpulan dari premis-premis yang saya tangkap dalam berbagai ayat Al-Qur’an, dan termasuk hasil penemuan ahli neuroscience, bukan hanya sekadar la tahzan, tetapi sesungguhnya hakikat manusia adalah “bahagia”.

Dalam QS. Adz-Dzariyat [51]: 56, Allah menegaskan “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”. Ayat ini, menyebut kata beribadah berarti bisa disebut menyembah, yang salah satu wujudnya bisa dalam bentuk shalat dan/atau berdo’a. Yang di dalamnya mengsyaratkan mekanisme jiwa yang bisa dikategorikan “mengingat Allah”.

Ayat lain dalam QS. Ar-Ra’d [13]: 28 Allah menegaskan, “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram”.

Dari dua ayat di atas yang masing-masing Allah tegaskan dalam Al-Qur’an, bisa ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya hakikat manusia adalah bahagia atau selalu bahagia. Mungkin saja ada yang berkata bahwa pada kenyataannya, tidak semua orang bahagia, banyak yang bersedih. Menanggapi hal itu sangat sederhana, bahwa bisa jadi mereka tidak bahagia karena berada dalam posisi paradoks atau melakukan sesuatu yang menjadi antitesa daripada kedua ayat di atas. Jadi kedua ayat di atas, beyond, bisa melampaui dari sekadar la tahzan Dr. Aidh.

Mungkin berkata lagi “tetapi mereka miskin, sehingga wajar tidak bahagia”. Kemiskinan sebenarnya bukan alasan untuk tidak bahagia. Kebahagiaan termasuk pilihan sikap dalam merespon situasi dan kondisi yang dialami/dimiliki. Banyak orang yang mengalami kondisi kehidupan yang lebih rendah daripada diri kita dalam hal material, tetapi mereka lebih bahagia. Atau kita bisa menyaksikan pula, banyak orang yang kaya raya, hampir memiliki semua yang bersifat material, tetapi mengakhiri hidupnya dengan jalan bunuh diri. Berarti harta, hal material yang dimiliki bukan jalan yang menentukan bahagia atau tidak.

Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan sains telah mampu memperkuat ayat qauliyah di atas dengan ayat kauniyah. Ahli neuroscience—sebagaimana ditegaskan oleh Denny JA dalam buku karyanya Spirituality of Happiness (2019), telah menemukan dalam otak apa yang disebut dengan “hormon bahagia” (happy hormones). Denny JA menegaskan “Itu adalah Dopamine, Serotonin, Oxytocine, dan Endorphine. Ini hormon yang jika tumbuh, dan dihidupkan, ia memberikan rasa bahagia, damai, ekstase, serta rasa mengalami hidup bermakna”.

Sekali lagi, saya menegaskan bahwa baik berdasarkan ayat qauliyah maupun ayat kauniyah, hakikat manusia itu adalah bahagia. Alasannya, selain Allah telah menciptakan dan telah built-in dalam diri manusia hardware kebahagiaan, sebagaimana berdasarkan temuan ahli neuroscience di atas, Allah pun telah menyusun SOP (Standard Operasional Prosedur) bahagia. Lengkap dengan—jika menggunakan bahasa management dan perencanaan—“program dan kegiatan yang harus dilakukan”. Jadi, perangkat dan sejenis petunjuk teknisnya telah lengkap dari Allah, sehingga untuk bahagia tidak harus seperti yang dilakukan oleh Weiner, dengan berkeliling dunia.

Dalam pandangan Denny JA, berdasarkan hasil pembacaannya dari banyak literatur “Selama ini pedoman untuk bahagia datang dari spekulasi filsafat atau wahyu dari langit. Kini untuk pertama kalinya, pedoman itu dirumus­kan berdasarkan hasil riset akademik”. Bahkan Denny JA dalam buku karyanya Bahagia itu Mudah dan Ilmiah, menceritakan bagaimana “Siddhartha Gautama hidup pada era kerajaan Mahajana­pada, sekitar 2500 tahun lalu, di India. Berhari-hari ia berada di bawah Bodhi Tree, duduk termenung. Ia mere­nung lama soal mengapa hidup penuh derita. Mendalam dieksplorasinya cara membebaskan diri dari derita”. Intinya Gautama mencari kebahagiaan.

Denny JA mengabarkan berita baik bahwa, “ilmu pengetahuan mengabarkan bahwa kita bisa hidup bahagia dengan cara yang mudah dan il­miah. Syaratnya hanya satu: kita harus hidup dengan pola pikir (mindset) dan kebiasaan (habit) bahagia seperti yang dirangkum dalam buku kecil[nya]…” Selain itu Denny JA pun menegaskan, “Kini 2500 tahun setelah Buddha, peradaban sudah bergerak maju. Spekulasi filsafat digan­tikan oleh riset ilmiah. Pertanyaan yang sama [untuk mencapai kebahagiaan) dijawab tak lagi melalui renungan dan kontem­plasi belaka, tapi dengan labolatorium, pemin­daian otak manusia, survei opini publik, studi kasus, uji statistik, riset eksperimental, dan aneka teknik riset lainnya”.

Meskipun Denny JA menegaskan hal di atas yang terkesan serba saintifik, namun dalam perenungan saya, bulan Ramadan adalah “Samudera Kebahagiaan”. Apalagi Denny JA pun tidak menafikan dan menegaskan bahwa “Spiritualitas kebahagiaan bersandarkan ilmu ini tidak menjadi pengganti agama atau filsafat hidup. Ia menja­di partner yang memperkaya dan filter yang menyeleksi aneka kebijaksanaan (wisdom) masa lalu”.

Untuk menegaskan dan memperkuat argumentasi rasionalitas ketika saya menyimpulkan bahwa “bulan Ramadan adalah samudera kebahagiaan”, selain menggunakan dalil dari ayat-ayat qauliyah di atas dan ayat kauniyah yang ditemukan oleh pakar atau ahli neoruscience, saya pun masih tetap meminjam pandangan Denny JA. Denny JA menyimpulkan “Berdasarkan riset, ilmu pengetahuan mampu membuat formula dan kuantifikasi tentang kebahagiaan. Ternyata 50 persen level kebahagiaan kita merupakan bawaan lahir yang tercetak di otak setiap individu. Namun, 50 persen sisanya berada dalam kontrol manusia”.

Dari kesimpulan Denny JA di atas yang menegaskan terkait kebahagiaan “…50 persen sisanya berada dalam kontrol manusia”, mungkin inilah (mudah-mudahan tidak keliru) yang bisa dimaksimalkan dan menjadi bulan Ramadan sebagai samudera kebahagiaan. Artinya apa? bulan Ramadan pada hakikatnya bisa menjadi samudera kebahagiaan, tetapi tetap kembali pada diri manusia itu masing-masing atau dalam hal ini (khususnya) umat Islam secara personal.

Bisa saja, ada juga umat Islam, atau yang hanya sekadar merasa sebagai umat Islam berdasarkan KTP (Kartu Tanda Penduduk)-nya, atau orang-orang yang telah disinyalir dalam Al-Qur’an, berpuasa tetapi hanya merasakan “haus dan lapar”, yang tidak bahagia dalam bulan Ramadan ini. Namun kita tidak fokus pada pembahasa ini, kita hanya fokus pada keyakinan bahwa sesungguhnya bulan Ramadan itu adalah samudera kebahagiaan.

****

Dalam pandangan saya bulan Ramadan bisa menjadi samudera kebahagiaan, minimal, karena segala aktivitas manusia ditautkan dalam bingkai ibadah kepada Allah. Tidur pun dimaknai sebagai ibadah. Selain itu puasa yang menjadi ibadah utama dan pembeda bulan Ramadan dengan sebelas bulan lainnya, mengsyaratkan untuk sepanjang hari dari imsak sampai berbuka, itu mengingat Allah. Sedangkan Allah sudah menegaskan, bahwa dengan mengingat Allah, hati akan menjadi tenteram. Jika merujuk pada kesimpulan Denny JA bahwa “Dalam bahasa neuroscience, hati itu ada di otak manusia”, berarti dengan mengingat Allah akan mampu pula mengaktivasi atau mengaktifkan happy hormones (hormon bahagia).

Jika memperhatikan kesimpulan Denny JA pada bagian atas dari tulisan ini terkait syarat bahagia, bahwa,  “syarat[nya] hanya satu: kita harus hidup dengan pola pikir (mindset) dan kebiasaan (habit) bahagia…”, maka sesungguhnya, jika kita merenungkan segala sikap, perilaku, tindakan, dan aktivitas kita dalam bulan Ramadan berdasarkan tuntunan yang sebenarnya, di dalamnya ada “mindset” dan “habits” sebagaimana yang dimaksud oleh Denny. Dalam bulan Ramadan, apalagi hakikat puasa yang berarti pengendalian nafsu, termasuk nafsu duniawi, akan merekonstruksi mindset dan habit bahagia bagi seseorang atau mereka yang menjalaninya.

Secara fenomenologi pun, bulan Ramadan yang identik dengan semangat atau spirit empati, simpati, berbagi, membantu, semakin massif dilakukan atau termanifestasi dalam realitas kehidupan, dan hal ini memantik kebahagiaan lagi. Apalagi, dan seharusnya seperti itu, bahwa aktivitas berbagi atau wujud empati kita kepada orang lain, terutama dan khususnya dalam bulan Ramadan harus dalam bingkai ridho Allah, bukan faktor pencitraan. Dan jika seperti ini, maka tidak bisa dimungkiri akan memantik pula kebahagiaan atau mengaktivasi happy hormones.

Selain itu, bulan Ramadan yang melalui tuntunan yang ada, bukan hanya amalan berupa berpuasa, tetapi ibadah-ibadah lainnya, seperti shalat tarwih atau shalat tengah malam dalam perspektif gelombang otak (terkait ini bisa membaca tulisan saya yang lain) mampu mengaktivasi gelombang otak alfa atau theta. Dan kedua jenis gelombang otak ini, identik dengan pemantik kebahagiaan, selain ide dan pikiran-pikiran cemerlang.

Dari uraian di atas, saya yakin pembaca sudah bisa memahami, mengapa saya menyimpulkan bahwa bulan Ramadan adalah “Samudera Kebahagiaan”. Karena pemantiknya berlipat-ganda atau mungkin jika menggunakan istilah rumus matematika, mengalami “pangkat kuadrat” yang bilangan kuadratnya angka/bilangan yang tidak terbatas. Apalagi telah ditegaskan bahwa semua amalan kebaikan kita selama bulan Ramadan itu dilipatgandakan.

Aktivitas menulis yang saya rutin lakukan setiap hari selama bulan Ramadan, tanpa pernah alpa sehari pun, dan telah memasuki hari ke-26 untuk tulisan ini, ini adalah bagian daripada pelipatgandaan kebahagiaan, apalagi dilaksanakan dalam bulan Ramadan semoga Allah meridhoi sehingga mendapatkan kembali hasi perhitungan yang berlipat-ganda.

Terakhir, saya ingin kembali mengutip hal menarik dari buku Bahagia itu Mudah dan Ilmiah karya Denny JA “Karena riset ilmu pengetahuan pula, kita pun membeda­kan dua jenis kebahagiaan. Ada pleasant happiness, yaitu hidup bahagia yang sekadar meniadakan emosi negatif dan rintangan, serta hidup yang terasa mudah dengan aneka kesenangannya. Ada pula meaningful happiness, yaitu hidup yang bermak­na, yang berjuang, menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar daripada sekadar kepentingan pribadi. Dalam ting­katan meaningful happiness, aneka kesulitan dan pende-ritaan kadang tak terhindarkan. Namun aneka kesulitan dan tekanan hidup mendapatkan maknanya yang baru”.

Dan dari yang disampaikan oleh Denny JA terkait dua jenis kebahagiaan di atas yang berdasarkan hasil riset ilmu pengetahuan, namun saya yakin bahwa kebahagiaan yang diraih dalam bulan Ramadan maupun kebahagiaan terpancar sebagai hasil relasi vertikal kita kepada Allah, sebagaimana SOP yang telah ditetapkan-Nya, maka kita akan mendapatkan jenis kebahagiaan yang melampaui dari sekadar pleasant happiness, dan meaningful happiness.

Saya pun sepakat satu hal substansial dari Denny JA bahwa “Rasa bahagia itu sejenis alarm. Jika kita tak bahagia, ber-arti ada wake up call, panggilan untuk bangun, ada yang salah dengan hidup kita, terlepas dari aneka ikhtiar yang sudah dikerjakan”. Dalam bahasa yang sering saya sampaikan dalam forum-forum perkaderan dan LDK OSIS ketika membawakan materi “Visi Misi Hidup”, jika kita gelisah atau tidak bahagia, bisa jadi karena kita tidak mengikuti  “irama kehidupan” yang telah Allah tiupkan ke dalam diri kita. “Irama kehidupan” yang dimaksud adalah irama beribadah atau senantiasa dalam bingkai ridho Allah. Jadi jika kita gelisah atau tidak bahagia, bisa jadi karena kita enggan beribadah atau melupakan Allah.

*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply