
Oleh: Agusliadi Massere*
Sebagai manusia, kita sedang melakukan perjalanan panjang. Mulai dari alam arwah, alam rahim, alam dunia, alam kubur, dan terus berlanjut sampai di akhirat. Merenungi kehidupan ini sambil membaca literatur terbaik, yakni Al-Qur’an, kita akan memahami dan menyadari dunia ini—meskipun bukan tujuan paling utama dan hanya sekadar tempat singgah—memiliki posisi penting. Dunia tidak boleh diabaikan.
Terkait sikap dan tindakan terhadap dunia dan akhirat, ada tiga karakter manusia. Ada manusia yang fokus untuk dunia, dan mengabaikan akhirat. Ada pula yang fokus pada kepentingan akhirat dan mengabaikan urusan dunianya. Selain itu, yang terakhir dan bagi saya ini tepat adalah menyeimbangkan dan menempatkan secara proporsional antara urusan dunia dan akhirat.
Sesungguhnya, kita tidak boleh mengabaikan dunia. Sepanjang radius dan kedalaman pemahaman saya tentang dunia, akhirat, kehidupan, dan agama, dunia itu adalah tempat singgah satu-satunya di antara semua alam yang dilewati untuk menyiapkan bekal hidup terbaik di akhirat. Dunia menjadi poros penting yang akan menentukan apakah di akhirat kelak, kita di surga atau neraka. Kesimpulan ini bukan berarti, bahwa saya mengabaikan hak Prerogatif Allah yang salah satunya menegaskan bahwa urusan surga-neraka sangat tergantung atas kehendak dan rida Allah. Namun, proses pengadilan dan keadilan Allah pun algoritmanya terhubung dengan sikap dan tindakan manusia di dunia.
Akhirat adalah tempat dan tujuan mudik utama bagi manusia. Sebagaimana kebiasaan di muka bumi ini, terutama menjelang hari raya Idul Fitri, ketika akan mudik maka segala bekal terbaik akan disiapkan, bahkan jauh hari sebelumnya. Harapannya, ketika kita tiba di kampung halaman, maka kita bisa bahagia disambut dengan tempat dan suasana terbaik.
Mudik ke kampung halaman saja di dunia ini, kita senantiasa berupaya keras menyiapkan bekal terbaik—ini adalah dorongan manusiawi. Apatah lagi, kita akan mudik ke akhirat berharap bertemu Allah dan diridai memasuki dan menempati tempat terbaikNya yaitu surga.
Bisakah kita menjadikan bumi ini sebagai tempat menyiapkan bekal terbaik untuk mudik ke akhirat? Idealitas dan fitrahnya seperti itu, kita harus menyiapkan bekal terbaik. Meskipun, bumi ini bukan hanya tempat menyiapkan bekal semata, tetapi juga menjalankan mandat kosmik mulia dari Allah. Dalam menjalankan mandat kosmik dari Allah ini, buah, hasil, prestasi dan/atau reward-Nya, itu satu paket dalam algoritma penyiapan bekal terbaik itu sebagai jalan mendapat rida Allah dan memasuki surga-Nya.
Hanya saja, sebagaimana manusia dalam makna al-insan yang berakar dari kata nasiya yang berarti lupa, kita terkadang—atau mungkin sengaja—lupa menyiapkan bekal terbaik dan lupa pada mandat kosmik mulia dari Allah. Apa lagi—selain Allah memberikan modal fisik-biologis, psikologis, dan spiritualitas-religius—Allah memberikan kebebasan kepada manusia untuk memilih jalan. Manusia bebas memilih yang akan menjadi bekalnya dan termasuk apakah manusia berkomitmen pada mandat kosmik tersebut atau tidak.
Selain itu, sejak awal terkesan makhluk Allah yang lain, yakni malaikat, meragukan keberadaan kita di muka bumi ini meskipun akan membawa mandat kosmik mulia dari Allah sebagai khlaifah. Keraguan malaikat ini terungkap dalam QS. Al-Baqarah [2]: 30, “…apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana…”.
Selain dari keraguan malaikat, sejak awal manusia menghadapi sosok makhluk yang awalnya tidak mau mengakui posisi kita selaku manusia yang akan menjadi pemegang mandat kosmik yang akhirnya dendam dan berjanji akan berupaya menjerumuskan manusia selaku bani Adam (anak cucu keturunan Adam). Makhluk yang dimaksud adalah iblis.
Atas dasar itu, di bumi atau alam dunia ini, dalam menyiapkan bekal terbaik mudik ke akhirat dan termasuk menunaikan mandat kosmik mulia dari Allah yang reward-Nya akan melengkapi bekal terbaik itu, kita terkadang tidak sedang melewati jalan tol. Ada banyak rintangan, hambantan, dan/atau godaan sehingga akhirnya kita lupa dan mengingkari amanah tersebut.
Selaku manusia yang akan menempuh perjalanan jauh dan berpotensi menghadapi banyak rintangan dan godaan, Allah telah memberikan pancaran energi teologis yang semestinya dalam diri manusia di muka bumi ini telah bertransformasi menjadi modal psikologis-teologis dengan lahirnya optimisme untuk mengiringi perjalanan tersebut. Yang saya maksud ini adalah bantahan Allah atas keraguan malaikat tersebut, yang terungkap juga dalam ayat yang sama di atas, QS Al-Baqarah [2]: 30, “Sungguh Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.
Sebelum memulai perjalanan dari alam rahim, kita pun melakukan ikrar suci dan kita membangun komitmen kuat dengan Allah. Dalam QS. Al-A’raf [7]: 172, “Alastu birabbikum” (Bukankah Aku ini Tuhanmu?). Kita pun menjawab “Bala syahidna” (Betul Engkau Tuhan kami). Jadi pertanyaan Allah di sini mengharapkan komitmen dari kita, makanya Allah tidak bertanya dengan pertanyaan “Man rabbuka” (Siapa Tuhanmu?). Ini bisa menjadi energi dan prinsip yang kokoh bagi manusia atau diri kita untuk mengarungi kehidupan di tengah badai godaan sekali pun.
Oleh Allah, kita pun telah dibekali bukan sekadar otak yang sama dengan yang dimiliki oleh binatang. Kita dibekali otak dengan volume besar dan proporsional sambil di dalamnya dilengkapi software yang disebut akal atau pikiran. Akal dan pikiran inilah yang memandu manusia untuk memiliki kemampuan memahami dan membedakan antara yang benar dan salah, termasuk memajukan kehidupannya, tanpa kecuali menjalankan mandat kosmik selaku khalifah.. Manusia pun dilengkapi dengan kalbu atau perasaan yang terletak dalam hati—tetapi hati di sini tepatnya adalah jantung yang berada dalam rongga dada. Kalbu inilah yang menjadi modal manusia untuk mampu membedakan antara yang baik dan buruk.
Kemudian Allah pun membekali manusia, khususnya bagi umat Islam berupa guindance, pedoman hidup yang terdapat dalam literatur terbaik dunia yaitu Al-Qur’an dengan berbagai bentuk penafsirannya, dan petunjuk pelengkapnya berupa sunnah Rasulullah, itu menguatkan modal psikologis manusia yang berwujud akal dan kalbu, agar tidak hanya mampu membedakan benar-salah dan baik-buruk, termasuk pula agar mampu memilih dan berkomitmen pada kebenaran atau sesuatu yang benar dan kebaikan atau sesuatu yang baik. Oleh Allah pun, manusia telah diajari pengetahuan tentang segala sesuatu.
Pada fitrah suci manusia, sejatinya dirinya kembali pulang atau mudik ke akhirat untuk bertemu Allah dengan komitmen ilahiah atau janji suci dan mandat kosmik yang tidak ternodai oleh sesuatu yang tidak diridai Allah. Sehingga pintu surga terbuka lebar untuk kita selaku manusia.
Bekal terbaik mudik ke akhirat itu tentu saja amal kebaikan diri kita, baik berupa amal kebaikan dari ibadah mahdhah yang kita lakukan berdasarkan syariat yang telah Allah berikan petunjuk-petunjuk dari Al-Qur’an, termasuk urusan muamalah yang kita lakukan sebagai refleksi dan terutama sebagai kristalisasi dari mandat kosmik yang senantiasa dibingkai dengan rida Allah.
Ketika ditegaskan tentang tiga misi mulia manusia—sebagaimana pernah diungkap oleh M. Quraish Shihab—“beribadah”, “khalifah”, dan “berdakwah” sebenarnya ini semua adalah bagian upaya menyiapkan bekal dan itu hanya bisa dilakukan di bumi. Selain itu, di dalamnya pun—apa lagi Al-Qur’an menurut pandangan pakar yang telah menelitinya menggunakan teknologi super canggih, isinya lebih banyak merujuk pada kepentingan sosial—kita tidak boleh egois untuk hanya memikirkan bekal pribadi mudik ke akhirat. Makanya kita diberi tugas sebagai khalifah dan tugas berdakwah, kita pun memiliki tanggung jawab sosial, sehingga sebaiknya kita bersama-sama menyiapkan bekal terbaik untuk mudik ke akhirat.
Pada intinya, menyiapkan bekal mudik terbaik ke akhirat untuk bertemu Allah, itu juga sekaligus sebagai bentuk “Menjawab keraguan malaikat”. Malaikat pernah meragukan diri kita yang hanya akan menimbulkan kerusakan dan pertumpahan darah. Bulan Ramadan ini pun, bisa menjadi momentum terbaik untuk menjawab keraguan malaikat tersebut sekaligus menyiapkan bekal terbaik untuk mudik ke akhirat.
Semoga tulisan ini juga, bermanfaat bagi sahabat pembaca, sehingga setetes kebaikan semoga juga mengalir ke dalam diri ini agar kelak bisa menambah bekal terbaik itu untuk mudik ke ahirat dan bertemu Allah.
*Pemilik Pustaka “Cahaya Inspirasi”, Wakil Ketua MPI PD. Muhammadiyah Bantaeng, dan Pegiat Literasi Digital & Kebangsaan.