Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Busur Dua Derajat: Perspektif Niat dan Filosofi Habits

×

Busur Dua Derajat: Perspektif Niat dan Filosofi Habits

Share this article

 

Oleh: Agusliadi Massere*

Dalam ilmu manajemen dan lingkup organisasi, ada sejenis idiom atau aksioma yang secara tidak langsung memiliki relevansi dan sejajar dengan judul di atas. Meskipun keluasan cakupan dan kedalamannya sangat jauh berbeda. Aksioma yang saya maksud adalah “gagal dalam perencanaan, sama saja merencanakan kegagalan”. Aksioma ini dalam perenungan saya, hanya menjangkau dimensi prosedur-operasionalistik. Tidak cukup mendalam.

Sekilas membaca judul di atas, besar kemungkinan dalam diri pembaca terbersit pertanyaan, apa relasi dan relevansi yang ada dibalik judul tersebut? Hal itu, tidak keliru dan tidak untuk disalahkan karena pada umumnya ketika membaca “busur dua derajat”, pasti algoritma berpikir kita akan sampai pada penanda dan petanda yang sudah lazim dipahami selama ini, sejak para pembaca duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Meskipun di Taman Kanak-Kanak (TK) sudah banyak yang memahami benda sederhana tersebut serta fungsinya.

Ada hal menarik terkait “busur dua derajat”, yang idealnya harus dipandang sebagai suatu perspektif yang memiliki makna filosofis yang cukup mendalam. Bahkan diharapkan bisa menjadi sejenis paradigma yang akan mempengaruhi sikap dan tindakan. Namun sebelum diurai lebih jauh, sebaiknya saya harus mengungkapkan terlebih dahulu bahwa perspektif “busur dua derajat” ini, pertama kali—dan bahkan satu-satunya—saya membaca dari buku karya Syahril Syam (seorang trainer dan mind programmer), “Change Limiting Beliefs” (2016: 5-8).

Awalnya, Syahril menyaksikan peluncuran satelit Palapa Indonesia melalui siaran TV, yang pada saat itu mengalami kendali teknis sehingga satelit tersebut keluar dari garis orbit. Satelit Palapa dan bahkan apa pun jika keluar dari garis orbit, pasti mengalami problem, ketidakstabilan bahkan kekacauan. Dari siaran TV tersebut, Syahril mendengar penjelasan seorang ahli yang sedang diwawancara oleh sang reporter.

Penjelasan sang ahli “untuk memindahkan kembali satelit Palapa ke orbitnya membutuhkan waktu beberapa hari karena untuk bergeser sejauh dua derajat saja satelit Palapa  membutuhkan waktu satu hari”. Sebagaimana yang didengar oleh Syahril, penjelasan dari sang ahli “dua derajat itu mungkin terasa cukup dekat jika mengacu pada titik busurnya tetapi jika ditarik dua garis lurus dengan jarak dua derajat, mka pada posisi di luar angkasa, dua derajat itu akan menjadi sangat jauh.

Dari siaran di TV tersebut, Syahril melahirkan sejenis perspektif atau paradigma “busur dua derajat”. Dari hal ini, jika dipahami secara filosofis mengandung satu hal yang akan bermuara pada keyakinan, sikap, tindakan, keputusan dan hasil yang bersifat konstruktif atau sebaliknya destruktif.

Kesadaran akan perspektif “busur dua derajat” ini, mengajarkan tentang urgensi, signifikansi dan implikasi dari sikap dan tindakan yang kita lakukan. Apakah akan bermuara pada telaga konstruktif atau justru sebaliknya pada lembah destruktif. Sekecil apapun sikap dan tindakan kita, pada suatu masa akan menimbulkan efek yang besar, bisa bersifat positif dan sebaliknya negatif.

Sikap positif kita—termasuk yang negatif—mengikuti perspektif  “busur dua derajat” di atas. Bisa jadi hari ini dinilai biasa-biasa saja, sesuatu yang lumrah, sangat sederhana, tidak apa-apa dimaklumi, tetapi beberapa masa (waktu) ke depan menimbulkan dampak besar. Contoh kecil, kebiasaan nyotek pada saat ulangan/ujian sekolah (triwulan, semesteran, dll), pada saat itu mungkin dampak negatifnya sangat kecil (sebagai efek perbuatan negatif), bisa jadi hanya ditegur atau dimarahi sesaat oleh guru. Dan justru sebaliknya yang menggoda dari kebiasaan buruk tersebut, jika tidak ketahuan oleh guru, angka (nilai) ulangan/ujiannya bisa tinggi.

Namun pernahkah kita berpikir, andaikan kita menarik jauh ke depan—ibarat menarik dua garis lurus dari perspektif busur derajat tadi, maka yakin saja dampak negatifnya sangat besar. Bisa menjadi kebiasaan, karakter, bahkan bisa menjadi nasib. Dari kebiasaan nyontek, akhirnya terbiasa tidak jujur. Dari kebiasaan tidak jujur, bisa jadi kelak akan lahir karakter koruptif (suka korupsi) dalam dirinya. Bahkan saya pernah menarik sebuah hipotesis bahwa embrio dari korupsi adalah kebiasaan nyontek di sekolah. Meskipun saya tidak serta merta akan mengatakan bagi yang sudah pernah nyontek otomatis kelak jadi koruptor. Saya pun tidak membuat generalisasi, karena saya menyadari manusia itu unik, sangat dinamis dan ada peluang mendapatkan ampunan dan hidayah dari Allah.

Dari hal ini, saya yakin pembaca sudah bisa menangkap makna dari perspektif “busur dua derajat” tersebut. Artinya, kita harus memperhatikan dengan baik dan menjaga sikap serta perilaku/tindakan sejak awal. Jangan dipandang remeh, dengan hanya melihat dampaknya pada saat itu, tanpa mencoba menarik dua garis lurus ke masa depan. Saya yakin tidak keliru, jika perspektif  “busur dua derajat” Syahril di atas, saya memberikan pijakan normatif-teologis dari QS. Al-Zalzalah [99]: 7-8.

Allah melalui firmannya dalam surat tersebut menegaskan “Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya”. Berdasarkan pemahaman sederhana saya—terutama saya bukan seorang mufassir—surat atau dua ayat ini bisa menjadi basis teologis atas perspektif yang dilahirkan oleh Syahril setelah terinspirasi dari siaran TV atas pergeserta satelit Palapa tersebut.

Selain basis teologis yang merujuk dari QS. Al-Zalzalah [99]: 7-8 di atas, saya pun mencoba menarik garis relasi dari perspektif niat dan filosofi habits. Hal itu memiliki garis relasi. Dalam ajaran agama Islam, segala sesuatu tergantung daripada niatnya. Jadi efek yang akan ditimbulkan atau dirasakan pada masa yang akan datang, sangat tergantung dari niat yang dipancarkan pada hari ini.

Niat, mungkin ada yang menilai hanya sebuah percikan harapan/keinginan/motivasi, itu pun hanya dalam hati, yang mendasari suatu perilaku, padahal dampaknya pada masa yang akan datang sangat besar dan menentukan. Pada tulisan saya yang lain dan pernah terbit, saya pun menarik garis relasi bahkan bisa disimpulkan bahwa saya sedang membangun persepsi “kesejajaran”, atau “berada pada level yang sama” antara apa yang dimaknai dengan niat dengan sikap. Meskipun niat harusnya berada pada landasan “Allah”,“Ridho Allah” atau “bukan”.

John C. Maxwell terhadap salah satu aksiomanya tentang sikap, “Sikap awal menentukan lebih dari apa pun juga”. Bagi Asep Zaenal Ausep, sikap adalah kecenderungan hati. Kita pun memahami bahwa yang dimaksud niat adalah sesuatu yang terbersit dalam hati yang mengawali dan melandasi sebuah perilaku, tindakan atau perbuatan. Inilah salah satunya, sehingga saya menarik kesimpulan niat sama dengan sikap dan sebaliknya. Meskipun jika diuraikan lebih jauh masih bisa memiliki perbedaan atau perbedaan dalam luas cakupan.

Berdasarkan perspektif “busur dua derajat” Syahril tersebut, niat pun harus diperhatikan, diperbaiki dan diluruskan sejak dari awal, agar apa yang dilakukan atau diikhtiarkan bermuara pada dampak atau hasil yang sesuai harapan bersama. Harapannya, bermuara pada sesuatu yang bersifat dan bernilai positif, konstruktif dan kotributif.

Relevan dengan niat dan perspektif “busur dua derajat” tersebut, saya pun teringat dengan salah satu aksioma pikiran Ibrahim Elfiky (Sang maestro motivator muslim dunia). Ibrahim menegaskan berdasarkan apa yang saya pahami darinya, “apa yang kita rasakan hari ini adalah hasil dari apa yang kita pikirkan sebelumnya. Dan apa yang akan kita rasakan nantinya adalah hasil dari apa yang kita pikirkan hari ini”.

Selain relasi antara perspektif “busur dua derajat” dan “niat”, yang tidak kalah pentingnya untuk kita pahami bersama adalah relasinya dengan “filosofi habits”. Filosofi habits dalam pemahaman sederhana saya adalah pemahaman mendalam tentang segala determinan habits (kebiasaan). Apa dan bagaimana suatu habits terbentuk serta fungsi dan efek lanjutannya. Pemahaman pada filosofi habits saya banyak mendapatkan pencerahan setelah membaca buku Habits karya Felix F. Siauw.

Jika disandingkan antara perspektif “busur dua derajat” dan “filosofi habits” atau perspektif “habits” memiliki relasi yang saling menguatkan. Memahami keduanya akan memberikan pencerahan dan membangun kesadaran untuk memperhatikan setiap sikap, pikiran dan perilaku yang dilakukan, karena memiliki dampak pada masa yang akan datang.

Apa pun yang sering dilakukan kelak akan menjadi kebiasaan. Sesuatu yang telah menjadi kebiasaan akan memberikan efek dahsyat baik dalam diri (mikrokosmos) maupun di alam semesta (makrokosmos). Efek utamanya dalam kehidupan seseorang adalah akan menjadi “karakter” atau dalam bahasa agama bisa disebut “akhlak”. Dan dari karakter atau akhlak inilah menentukan atau mempengaruhi pencapaian “nasib” kehidupan.

Habits bisa saja ada yang memaknai hanya sebuah proses yang bersifat lahiriah/jasadiah, kerja-kerja fisik. Tetapi dalam perenungan dan hasil pembacaan saya, habits bisa ditarik dalam pemahaman yang lebih mendalam, mencakup dimensi batiniah. Poin penting habits dalam pemahaman Felix adalah practice (latihan) dan repetition (pengulangan). Dan aksioma yang dikonstruksi yaitu “practice makes right” (latihan agar bisa mengetahui cara melakukan yang benar) dan “repetition makes perfect” (pengulangan untuk mendapatkan kesempurnaan).

Melampaui Felix, saya memahami bahwa habits yang diharapkan bermuara pada karakter, akhlak dan/atau skill  (keahlian) bukan hanya berkutat pada persoalan practice dan repetition semata. Di dalamnya ada sikap, niat, perasaan, pikiran, aktivasi alam bawah sadar. Sama halnya jika harus keluar sedikit dari substansi tulisan ini tetapi masih memiliki garis relasi secara tidak langsung, “idealnya shalat yang sering dilakukan dan terkesan telah menjadi habits bukan hanya membekas dengan adanya “jidat hitam”, tetapi harus mampu membekas dalam sikap dan perbuatan­­­­­­, menjauhkan diri dari perbuatan buruk”.

Bahkan dengan pemahaman habits pun, saya mendapatkan pencerahan dari hasil perenungan, bahwa untuk mencapai skill sebenarnya bukan hanya dengan kerja nyata semata (dengan pengalaman latihan fisik dalam jangka waktu yang lama), tetapi latihan mental pun penting menjadi perhatian bersama. Jadi sejenis visualisasi. Maka tidak salah jika di negara maju, untuk meningkat skillnya (sebagai contoh balapan mobil) mereka pada saat latihan mereka tidak terjun dalam “sirkuit balap” tetapi mereka menciptakan teknologi tiga dimensi berbasis digital. Sehingga dalam kamar pun mereka bisa mengasah skill untuk menguasai sirkuit balap tersebut.

Saya masih teringat­ sebuah buku dengan judul Being Happy karya Andrew Matthews. Dalam buku tersebut saya menemukan kesimpulan bahwa latihan mental lebih efektif daripada latihan fisik. Dan ini pun yang saya implementasikan, praktekkan dengan kekuatan visualisasi setiap hari akhirnya sejak 2001 sampai sekarang saya bisa mengetik 10 jari di keyboard komputer/laptop tanpa melihat tuts (tombol).

Perspektif niat maupun filosofi habits dalam tulisan ini, sebenarnya hanya memperkuat posisi, betapa penting perspektif “busur dua derajat”. Meskipun demikian substansi utama yang ingin saya sampaikan terkait perspektif “busur dua derajat” itu sendiri bahwa: Pertama, perbuatan kita (baik positif maupun negatif) sekecil apa (sebesar zarrah)  pun itu, kelak pada masa yang akan datang memberikan dampak. Kedua, karena memiliki dampak yang nyata pada masa yang akan datang, maka sikap dan perilaku kita hari ini, harus sudah terukur dengan baik, penuh pertimbangan dan memiliki landasan yang jelas yang bermuara pada hal-hal yang bersifat benar, baik dan sesuai nilai-nilai keindahan.

Ketiga, apa pun yang dilakukan idealnya sudah diawali dengan pertimbangan yang matang dan berdasarkan refernesi yang jelas. Minimal tiga hal ini yang harus diperhatikan. Bahkan seringkali, saya berpesan kepada kader-kader Ikatan Pelajar Muhammadiyah, menulis status pun di beradan Facebook, harus diperhitungkan dan dipertimbangkan dengan baik, karena dalam waktu jangka panjang akan memberikan dampak.

Pada kesempatan lain, saya akan melanjutkan uraian pembahasan ini.

* Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply