Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Buta Angka di Era Big Data: Wabah Kecil Bernama Innumeracy

×

Buta Angka di Era Big Data: Wabah Kecil Bernama Innumeracy

Share this article

Oleh: Dr. Kiki Henra, S.Pd., M.Pd.*

KHITTAH. CODi tengah era digital yang penuh angka, grafik, dan persentase, masih banyak masyarakat kita yang terjebak dalam kebingungan matematis yang disebut sebagai innumeracyketidakmampuan memahami dan menggunakan konsep dasar matematika dalam kehidupan sehari-hari. Istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh John Allen Paulos, seorang profesor matematika yang prihatin dengan betapa mudahnya orang tertipu hanya karena tak memahami angka.

“Innumeracy, I’ve come to believe, is an equal opportunity affliction. People of all ages, professions, and levels of education are susceptible to it.”—John Allen Paulos

Sayangnya, fenomena ini bukan cuma terjadi di luar negeri. Di Indonesia, innumeracy justru menjadi tantangan nyata yang dampaknya terasa mulai dari rumah tangga, pasar tradisional, hingga kebijakan publik. Sering kita melihat iklan Diskon 50% + 20%” yang memikat, tapi ternyata itu hanya potongan 60% dari harga akhir, bukan potongan ganda sebesar 70% seperti yang dibayangkan.

Misalnya, harga sebuah barang adalah Rp1.000.000,00. Ketika ada label bertuliskan “Diskon 50% + 20%”, banyak orang langsung mengira bahwa total diskonnya adalah 70%, sehingga harga akhirnya menjadi Rp300.000,00, karena mereka menganggap 70% dari Rp1.000.000,00 adalah Rp700.000,00. Padahal, cara berpikir seperti ini keliru. Diskon semacam itu tidak dijumlahkan langsung, melainkan dihitung secara bertahap. Pertama, diskon 50% dari harga awal akan mengurangi harga menjadi Rp500.000,00. Kemudian, diskon kedua sebesar 20% dihitung dari sisa harga tersebut, yaitu 20% dari Rp500.000,00 atau Rp100.000,00. Maka, harga akhir yang harus dibayar oleh pembeli adalah Rp500.000,00 dikurangi Rp100.000,00, yakni sebesar Rp400.000,00. Artinya, total diskon yang diperoleh sebenarnya adalah Rp1.000.000,00 dikurangi Rp400.000,00, yaitu Rp600.000,00. Dengan demikian, diskon efektif yang diterima hanyalah sebesar 60%, bukan 70% seperti yang banyak disangka. Banyak pula yang tak sadar saat membayar cicilan dengan bunga terselubung, atau keliru menafsirkan data survei karena tidak paham persentase atau skala grafik.

Mengapa Innumeracy mengkhawatirkan? Innumeracy bukan sekadar tidak pandai berhitung. Ini adalah bentuk buta angka yang berdampak serius terhadap cara kita mengambil keputusan—mulai dari belanja harian hingga memilih pemimpin dalam pemilu. Ketika masyarakat tidak terbiasa berpikir kritis terhadap data, mereka akan mudah dimanipulasi oleh statistik yang sengaja disajikan dengan bias. Dalam dunia yang semakin dipenuhi informasi numerik, innumeracy dapat membatasi daya nalar dan memperkuat budaya percaya buta.

Mengapa masih banyak yang buta angka? Hasil survei Program for International Student Assessment (PISA) menunjukkan bahwa kemampuan literasi numerik siswa Indonesia masih di bawah rata-rata negara OECD. Ini bukan hanya masalah pendidikan, tapi masalah kultural. Di masyarakat, masih ada anggapan bahwa matematika itu “hanya untuk anak pintar” atau “tidak penting dalam hidup sehari-hari.”

Padahal, saat seseorang gagal membandingkan harga produk, menghitung risiko pinjaman online, atau menilai klaim iklan kesehatan, mereka sedang menjadi korban dari ketidakmampuan memahami angka. Bahkan, banyak yang tidak sadar bahwa mereka sudah terjebak dalam keputusan ekonomi yang merugikan diri sendiri karena innumeracy.

Salah satu penyebab utama adalah cara matematika diajarkan. Di sekolah, matematika sering dipresentasikan sebagai kumpulan rumus dan prosedur mekanis, bukan sebagai alat berpikir.

“Mathematics is often taught as a collection of procedures rather than a way of thinking, which turns many students off early.”John Allen Paulos

Akibatnya, siswa tumbuh dengan perasaan bahwa matematika itu sulit dan tidak relevan, sehingga mereka menghindarinya dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, berpikir numerik sangat penting untuk menghindari jebakan-jebakan logika dalam konsumsi informasi dan pengambilan keputusan.

Membangun Budaya Literasi Numerik

Para pemangku kebijakan dan pendidik perlu mengubah paradigma pendidikan matematika dari hafalan rumus ke pembiasaan berpikir numerik kontekstual. Pembelajaran harus dihubungkan dengan kehidupan nyata—bagaimana menghitung diskon, bunga pinjaman, atau membaca grafik cuaca. Peran perguruan tinggi khususnya Program Studi Pendidikan Matematika menjadi bagian penting dalam mengembangkan calon guru pendidik matematika yang berkualitas. Selain itu, guru perlu dibekali pelatihan tentang literasi numerik yang lebih aplikatif.

Media dan lembaga publik juga harus bertanggung jawab menyajikan data dengan jujur dan edukatif. Visualisasi statistik harus dibuat sederhana namun tidak menyesatkan. Program literasi numerik untuk masyarakat umum perlu digalakkan, misalnya melalui kampanye media sosial atau workshop komunitas.

Orang tua harus menjadi teladan dalam kehidupan sehari-hari. Anak-anak yang terbiasa diajak berhitung saat belanja, berdiskusi soal pengeluaran, atau menafsirkan berita dengan angka, akan tumbuh dengan kepekaan numerik yang lebih baik.

Nilai Al-Islam Kemuhammadiyahan dalam Literasi Numerik

Dalam Islam, akal adalah anugerah yang harus digunakan untuk merenung, berpikir kritis, dan membuat keputusan bijak. Allah Swt. berulang kali memerintahkan manusia untuk berpikir dan menggunakan akalnya. Innumeracy, dalam konteks ini, bukan sekadar ketidaktahuan, tapi bisa menjadi bentuk kelalaian dalam menggunakan akal untuk menghadapi kehidupan secara rasional.

Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang mencerahkan, memiliki tanggung jawab untuk mendorong terciptanya masyarakat yang literat, bukan hanya dalam bacaan agama, tapi juga dalam literasi sains dan numerik. Pemahaman terhadap angka bisa menjadi bagian dari amar makruf nahi munkar—membentengi  umat dari penipuan ekonomi, manipulasi politik, dan informasi palsu.

Kita tidak bisa terus membiarkan masyarakat Indonesia menjadi korban dari diskon palsu, data menyesatkan, dan keputusan ekonomi yang gegabah karena innumeracy. Saatnya kita bangun kesadaran bahwa memahami angka adalah bagian dari membangun kehidupan yang jujur, rasional, dan bermartabat, karena memahami angka, sebagaimana membaca ayat-ayat kauniyah, adalah wujud syukur dan tanggung jawab kita sebagai manusia beriman dan berilmu.

*Dosen Prodi Pendidikan Matematika dan Kepala Lembaga Pusat Data dan Sistem Informasi Universitas Muhammadiyah Bone

 

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply