KHITTAH.CO – Upaya memfilmkan kisah perjalanan hidup beliau patut diapresiasi. Sebelum menonton filmnya, saya melihat wawancara dengan sutradara film ini di sebuah stasiun TV, katanya ini film Indonesia paling mahal yang pernah dibuat (selain juga karena ia terdiri dari empat volume). Risetnya pun katanya, tidak main-main.
Sampai akhirnya saya dan istri menonton film Buya Hamka, pekan lalu di sebuah bioskop di Makassar. Digambarkan, Hamka tinggal di sebuah rumah kayu, di sebuah jalanan yang gelap dan sepi, seperti di pinggir hutan.
Rumah Buya Hamka saya kira tidak sesepi itu. Setahu saya, tahun 1931-1934, selama di Makassar, Hamka tinggal di Matjiciniajoweg No. 69 (sekarang Jalan Sangir), yang terletak tepat di depan Julianakade (sekarang Pelabuhan Soekarno Hatta Makassar). Di Matjiciniajoweg 69 inilah ia juga menerbitkan majalah Al Mahdi, di mana Hamka bertindak sebagai Pemimpin Redaksi dan tokoh besar seperti KH Mas Mansur turut menyumbangkan tulisannya. Jadi, Hamka selama di Makassar tinggal di pusat kota, di tengah pusat bisnis dan keramaian kota Makassar tahun 1930-an. Di samping kiri, depan, dan belakang rumah Hamka adalah toko-toko yang dimiliki penduduk Makassar berupa-rupa etnis dan suku: Cina, Makassar, Bugis, India, Arab, Belanda, dan lainnya.
Dalam film digambarkan, Hamka memimpin rapat Moehammadijah Tjabang Makassar, kemudian menyampaikan betapa berhasilnya Muhammadiyah di sana dengan menyebutkan jumlah sekolah, masjid, pusat keselamatan umum (PKO/PKU) yang berhasil dikembangkan Muhammadiyah. Scene ini ditutup dengan tepuk tangan para pengurus Muhammadiyah di akhir rapat, menyambut keberhasilan Hamka dalam ‘memimpin’ Muhammadiyah di sana.
Tapi, faktanya, Hamka tidak menjadi pengurus Muhammadiyah Cabang Makassar. Hamka ke Makassar sebagai Mubalig dari Hoofdbestuur Moehammadiyah Hindia Timur (sekarang disebut PP Muhammadiyah), dan oleh karenanya, ia tidak memimpin rapat pengurus seperti yang digambarkan di film tersebut, apalagi duduk di tengah. Hamka mengunjungi banyak tempat, dari Bulukumba di ujung selatan Sulawesi hingga ke Amurang di ujung utara. Bahkan Hamka pergi ke Ambon pada tahun 1933 untuk meresmikan berdirinya Muhammadiyah di sana. Ini dilaporkan oleh Pemberita Makassar, koran terbesar di Makassar saat itu, dan juga terdapat dalam arsip surat keluar masuk Hoofdbestuur Moehammadiyah Hindia Timur 1931-1933 yang tersimpan di ANRI. Jadi Hamka lebih berperan sebagai seorang mubalig utusan Hoofdbestuur, daripada seorang pengurus Muhammadiyah seperti yang digambarkan di film tersebut.
Dalam Pemberita Makassar, surat kabar Al Wafd (milik Sarekat Islam Makassar), majalah Al Mahdi (yang didirikan Hamka di Makassar), serta majalah Tentara Islam (yang didirikan oleh Mansur Al Yamani), bisa ditemukan bahwa Hamka juga berkonflik sangat keras di koran-koran dan majalah-majalah tersebut dengan tokoh-tokoh dan organisasi Islam lain di Makassar saat itu, terutama dengan Yusuf Sammah, pentolan PSII Makassar (yang juga orang Minang dan kelak mendirikan UMI Makassar dan setelah itu menghilang tanpa jejak), dan juga dengan organisasi Asshiratal Moestakim, serta Ta’miroel Masajid yang menguasai masjid-masjid yang ada di Makassar saat itu. Hamka juga dengan cermat terus menuliskan laporannya dalam beberapa nomor surat kepada HB Moehammadijah di Yogya, dan jika kita membaca surat-surat ini, kita akan mendapati bahwa Hamka ke Makassar tidak sekedar untuk ‘mempersiapkan congres (muktamar) Moehammadijah Hindia Timoer’, tapi juga berkonflik, berkunjung ke berbagai tempat, menjalin persahabatan dengan Karaeng Yahya di Gantarang Bulukumba, dengan Qadi Gowa, dan puluhan tokoh dan orang biasa yang ada di Makassar dan Celebes saat itu, termasuk mempelajari dengan dalam sejarah dan budaya Makassar dan Sulawesi secara umum.
Jika sutradara dan tim riset film ini ingin berusaha lebih sedikit saja, tentu mereka akan bertemu dengan Mansur Al Yamani, orang Sumenep keturunan Arab yang ‘membawa’ Muhammadiyah dan juga salah satu pendiri Moehammadijah Groep Makassar (sebelum diubah menjadi Tjabang), dan pasti tim riset juga akan bertemu dengan Hadji Abdoellah, seorang kiai asal Maros yang bermukim di Makkah selama 10 tahun, pulang dan menetap di kota Makassar, lebih sering berbicara dalam bahasa Bugis, dan terpilih sebagai konsul Moehammadijah Celebes Selatan (setara dengan ketua PW Muhammadiyah Sulsel saat ini) dalam Conferentie Moehammadijah Celebes Selatan yang dilaksanakan di Palopo, Desember 1931, yang juga dihadiri Hamka, bahkan dilengkapi dengan sebuah pawai di kota Palopo di mana Hamka berorasi dan kalimat-kalimatnya masih bisa ditemukan secara penuh pada dokumen “Verslag dan Kepoetoesan Conferentie daerah Selebes Selatan jang ke-6” yang tersimpan di ANRI.
Juga, tim riset film ini akan bertemu dengan Hadji Sewang Daeng Moentoe, lebih dikenal dengan nama singkatannya HSD Moentoe, orang yang usianya segenerasi dengan Hamka (lahir 1905, Hamka lahir 1908), dan menjadi orang yang paling dekat dengan Hamka selama Hamka di Makassar. Bahkan, HSD Moentoelah yang menumbuhkan minat Hamka yang begitu besar pada riwayat Syekh Yusuf Al Makassari, bahkan menulis sebuah naskah tentang Syekh Yusuf Al Makassari (yang ditulis untuk dua temannya, orang Sumatera, Hamka, dan orang Jawa, Mansur Al Yamani). Naskah ini yang dibawa oleh A.A. Cense ke Belanda dan saat ini masih tersimpan dan bisa diakses di Perpustakaan Universitas Leiden. (Bisa dicari: ‘Hikayat Sjeich Joesoef van H.S.D. Moentoe Labbakang, Pangkadjene’, typescript, Collection A.A. Cense, Leiden University, KITLV, Or. 545–218.)
Atau, tim riset film juga bertemu dengan Abdur Rahim, seorang dari dua murid tercerdas Hamka pada Tabligschool yang didirikannya di Makassar (ini nantinya diintegrasikan dengan Muallimin Muhammadiyah Makassar). Kedua orang ini diberikan pelajaran-pelajaran khusus oleh Hamka. Abdur Rahim adalah seorang anak yang telah yatim piatu sejak kecil, ia kemudian diasuh oleh bibinya (saudara ibunya). Suatu ketika pengasuh Abdur Rahim mendengarkan pengajian yang dibawakan oleh Hamka, di saat itulah timbul keinginannya untuk menyerahkan Abdur Rahim kepada Hamka untuk dididik secara khusus. Dikarenakan kecerdasannya, Abdur Rahim dijadikan sebagai anak angkat oleh Hamka. Ketika Hamka pulang ke Sumatera Barat, Abdur Rahim dibawa serta. Ia juga dimasukkan ke dalam Kulliyyatul Muballighin, sekolah Muhammadiyah yang didirikan Hamka di Padang Panjang pada akhir tahun 1934. Abdur Rahim menjadi murid tercerdas di sekolah itu. Ketika Hamka pindah ke Medan pada 1936 untuk menjadi Pemimpin Redaksi Pedoman Masyarakat, Abdur Rahim dibawa serta. Sebelum pecah Perang Dunia II, Abdur Rahim melawat ke India dan kemudian tinggal di Singapura. Pada saat Hamka terbebas dari penjara Orde Lama (1964-1966), ia melawat ke Singapura. Di sana Hamka bertemu kembali dengan Abdul Rahim. (Lihat Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka. Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1978, hlm. 55-56). Lalu, di dalam film Buya Hamka, yang kerap menampilkan dua anak yang tertidur lelap di ranjang, ke mana Abdur Rahim? Sekali lagi, karena ini film sejarah, facts matter.
Periode Makassar (1931-1934) begitu penting dalam kehidupan seorang Hamka muda. Dalam otobiografinya, serta dalam buku-buku lain, menunjukkan bahwa Makassar telah menjadi rumah keduanya. Setelah Congres Moehammadijah 1932 di Makassar, selesai, Hamka pamit untuk pulang, diadakan acara perpisahan di sekolah Muhammadiyah di Diponegoroweg. Hamka pulang dengan naik kapal Van der Wijk, juga datang ke Makassar dengan kapal itu (ia naik kapal ini berkali-kali karena memang salah satu rutenya ke Makassar). Acara perpisahan ini terbit di Pemberita Makassar. Beberapa bulan kemudian, barulah Hamka kembali lagi ke Makassar, kali ini dengan membawa istri dan anaknya. Hamka ingin menetap di Makassar untuk selanjutnya, hingga kejadian Siti Raham dan Hisyam pulang ke Padang Panjang, Hisyam sakit, dan Hamka meminta izin agar pulang ke Padang Panjang, meskipun setelah itu Hamka datang lagi ke Makassar, dan mengunjungi Mandar, Amurang, dan Ambon untuk meresmikan cabang-cabang dan grup-grup Muhammadiyah di sana pada akhir 1933 dan awal tahun 1934. Ini menunjukkan betapa Hamka menghabiskan waktu dan pengalaman yang signifikan selama di Makassar dan Celebes secara umum. Tidak heran jika karya romannya yang paling meledak adalah Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, yang terutama terinspirasi dari pengalaman Hamka selama tinggal di Makassar, 1931-1934.
Pada bagian lain, ada hal lagi tentang film tersebut. Saya mendapati total empat kali aktor Vino Bastian dan aktris Laudya Cintya Bella yang memerankan Buya Hamka dan Siti Raham, salah dalam mengucapkan kalimat istirja. Pemeran Buya Hamka mengucapkan ini berkali-kali, “Innalillahi wainnailahi rajiun”, ‘ilaihi’ menjadi ‘ilahi’. Kalimat istirja yang salah ini diucapkan empat kali. Ini hal yang semestinya bisa dihindari. Apalagi aktornya memerankan tokoh besar yang pengucapan kalimat seperti ini seharusnya tidak usah terjadi.
Yang lebih fatal lagi, ketika scene Jepang masuk pada 1942. Diperlihatkan sebuah surat dari pihak Jepang ke Hamka yang diajak menjadi anggota Chuo Sangi Kai, penasehat dari Chuokan Sumatra Timur Letnan Jendral T. Nakashima. Entah ada yang menonton film ini dengan cermat sebelum diputar bioskop atau tidak, nama Buya Hamka yang ditulis pada surat itupun terbalik, ditulis “Hadji Abdoel Karim Malik Amrullah”. Kesalahan ini ditambah lagi dari suara narator yang menyebut nama Buya Hamka sebagai “Haji Abdul Karim Amrullah”, yang tentu kita tahu, itu nama asli Haji Rasul, ayah dari Buya Hamka. Yang lain, ketika adegan Soekarno dipindahkan ke pengasingan di Bengkulu, Hamka digambarkan pergi ke sana, kemudian bertemu dengan Soekarno dan seorang lagi, keturunan Tionghoa yang masuk Islam, Abdul Karim Oey. Digambarkan itu pertemuan Hamka dan Oey yang pertama. Padahal, faktanya, Abdul Karim Oey itu hadir di Congres 1932 di Makassar, dan bertemu dengan Hamka. Lagi, kesalahan yang aku rasa begitu fatal untuk sebuah film yang dibuat dengan biaya yang mahal.
Semoga catatan ini bisa memberikan manfaat. Dalam sejarah, fakta sangat krusial. Oleh karena ini adalah film sejarah, maka saya sebagai penulis sebuah karya ilmiah tentang Hamka di Makassar, 1931-1934, juga harus memberikan saran dan kritik.