
Oleh: Hadi Pajarianto (Wakil Rektor 1 Universitas Muhammadiyah Palopo)
KHITTAH. CO –Bumi LorosaE adalah sebutan untuk Timor Leste yang dikenal memiliki banyak pemandangan pegunungan serta pantai yang indah. Seperti Indonesia, Timor Leste jugamemiliki kekayaan alam yang melimpah. Sebagian besar wilayah Timor Leste merupakan daerah pegunungan yang membentang dari timur hingga barat. Perjalanan ke Bumi LorosaE sebenarnya dapat ditempuh dengan menggunakan moda transportasi pesawat melalui Makassar-Bali-Dili. Akan tetapi saya memilih melalui jalur Makassar-Kupang melalui jalur udara, dan selanjutnya menggunakan moda transportasi darat menggunakan Bus Kupang-Dili.Perjalanan kami merupakan bagian dari internasionalisasi Universitas Muhammadiyah Palopo dalam bentuk Visiting Lecturer pada dua Universitas di Timor Leste, mengunjungi komunitas muslim, dan bertemu dengan mahasiswa UMPalopo di Timor Leste.
Penerbangan dari Makassar ke Kupang ditempuh dengan waktu 1 jam 30 menit. Jadwal penerbangan kami pada tanggal pukul 14.10 wita, dengan menggunakan pesawat Lion Air JT 849. Walaupun terlambat 15 menit, akhirnya kami diberangkatkan ke Kupang. Nampak kursi hanya diisi sekitar 70% penumpang, selebihnya kosong yang membuat saya cukup nyaman memanfaatkan ruang-ruang kosong untuk menumpangkan kaki dan tangan, plus saya ditempatkan oleh Pramugari pada kursi disamping pintu darurat. Tak lama kemudian akhirnya pesawat take off menuju Kupang.
Sepanjang perjalanan, nampak dari jendela pesawat awan yang tebal, sehingga terasa mengalami turbelensi kecil. Tetapi tidak begitu saya rasakan, karena efek minum antimo pada malam harinya masih terasa, dan membuat saya mengalami kantuk berat. Setelah 1 jam 30 menit, pramugari memberikan peringatan kepada penumpang untuk duduk dan menggunakan sabuk pengaman. Pesawat segera landing di Bandar Udara El Tari, sebelumnya bernama Bandar Udara Penfui adalah bandar udara yang terletak di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Bandara ini dinamai sesuai nama El Tari, Gubernur Nusa Tenggara Timur Ke 2 periode 1966-1978.
Terasa pesawat sudah mulai turun, miring ke kanan dan ke kiri. Olengnya semakin terasa disertai turbelensi yang cukup membuat bulu kuduk merinding. Terlihat ketegangan pada semua wajah penumpang, dan semakin menegangkan disertai tangis 2 bayi yang digendong ibunya. Tiba-tiba, pesawat menukik ke atas secara tajam yang membuat penumpang semakin tegang. Sayapun melafadzkan doa-doa agar penerbangan diselamatkan oleh Allah swt.
Terasa pesawat berputar ke kanan dengan cukup tajam, dan Pilot mengumumkan bahwa pesawat gagal landing karena angin sangat kencang di Bandar Udara El Tari Kupang, serta menunggu di udara selama 15 menit berharap cuaca membaik. Setelah pesawat bertahan di udara selama 15 menit, terasa turun kembali untuk landing, dan turbelensi serta posisi pesawat yang oleng ke kiri dan ke kanan, membuat semua penumpang semakin tegang untuk kedua kalinya.
Tiba-tiba pesawat kembali mengudara dengan tajam, dan gagal landing untuk kedua kalinya. Akhirnya pesawat memutuskan untuk kembali ke Bandara Sultan Hasanuddin. Sepanjang perjalanan tangisan 2 bayi dalam pesawat-pun sudah mulai menurun intensitasnya. Akhirnya 1 jam 30 menit, pesawat tiba kembali di Bandara Hasanuddin Makassar. Semua penumpang tersenyum dan berucap: seandainya tadi Pilot memaksakan untuk landing maka “habislah” kita.
Pramugari memberikan perintah kepada semua penumpang agar tetap duduk dan membuka sabuk pengaman, karena pesawat hanya akan mengisi bahan bakar, selanjutnya akan kembali mencoba terbang ke Kupang.
Setelah sekitar 30 menit kami dalam pesawat menunggu pengisian bahan bakar, akhirnya pesawat kembali diberangkatkan ke Kupang. Sepanjang perjalanan tidak nampak cuaca di luar karena suasana sudah gelap selepas magrib. Saya dan Syahrir Kepala Kantor Urusan Internasional UMPalopo melaksanakan salat Magrib dengan jamak dan qasar. Setelah penerbangan berlangsung sekitar 1 jam 30 menit, pesawat mencoba landing.
Suara mesin pesawat meraung melawan hempasan angin, yang informasinya memang sering terjadi di bandara Kupang. Di dalam kabin, wajah-wajah tegang menatap keluar jendela yang tertutup kabut. Saya menggenggam erat kursi seraya membaca doa yang tenggelam di antara gemuruh deru mesin pesawat.Dalam hati ia berdoa, “Ya Allah, Engkau yang Maha Menguasai langit dan bumi, tunjukkan jalan bagi kami untuk mendarat dengan selamat”.
Ketika roda akhirnya menyentuh landasan, semua menunduk, mengucap syukur. Mereka tahu, bukan semata keahlian pilot atau kecanggihan mesin yang menyelamatkan, melainkan pertolongan Allah yang datang tepat pada waktunya. Nampak ketegangan di wajah penumpang, karena trauma penerbangan pertama. Akhirnya pesawat berhasil landing dengan sempurna karena pertolongan Allah swt.
Aku menginjakkan di kota Kupang untuk pertama kalinya, di Bandar Udara El Tari yang dipenuhi oleh pesawat-pesawat kecil penerbangan pendek ke Atambua, Labuan Bajo, dan sekitarnya. Akhirnya kami diantar sopir yang ternyata orang Viqeqe Timor Leste yang memiliki istri perempuan Indonesia. Sopir tersebut bercerita bagaimana perjuangan warga Timor Leste yang banyak bekerja di Kupang untuk menghidupi keluarganya.
Tepat pukul 20.00 kami tiba di Hotel Putera Emas dan istirahat untuk perjalanan ke esok harinya. Bismikallaahuma ahyaa wa bismika amuutu” Dengan menyebut nama-Mu, Ya Allah, aku hidup dan dengan menyebut nama-Mu aku mati”.





















