Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Literasi

Catatan Perjalanan ke Timor Leste: Masjid An-Nur Dili (Bagian 2)

×

Catatan Perjalanan ke Timor Leste: Masjid An-Nur Dili (Bagian 2)

Share this article

Oleh: Hadi Pajarianto (Wakil Rektor 1 Universitas Muhammadiyah Palopo)

Perjalanan ke Bumi LorosaE, Timor Leste sebenarnya dapat ditempuh dengan menggunakan moda transportasi pesawat melalui Makassar-Bali-Dili. Akan tetapi saya memilih melalui jalur Makassar-Kupang melalui jalur udara, dan selanjutnya menggunakan moda transportasi darat menggunakan Bus Kupang-Dili. Penerbangan dari Makassar ke Kupang ditempuh dengan waktu 1 jam 30 menit.

Sejak awal saya dan Syahrir kepala Kantor Urusan Internasional, memang sudah memutuskan untuk lewat jalur darat. Menikmati keindahan pesisir laut yang membentang dan berpadu dengan hutan, bukit, dan gunung. Sepanjang perjalanan dengan bus Bagong, suara musik dengan lantunan lagu timor mengalun tanpa henti, memacu adrenalin ketika sopir harus bekerja keras saat mobil menikung dan menanjak.

Kami berangkat dari Terminal Tipe A Bimoku kota Kupang pukul 06.30 Wita, dan akhirnya pukul 07.00 Waktu Timor Leste kami tiba di Timor Plaza kota Dili, ibu kota Timor Leste.Saya dijemput oleh pak Muslim Maumoto, anak Timor Leste yang pernah sekolah di Pesantren Datok Sulaiman Palopo, dan kembali ke Timor Leste setelah menyunting gadis dari Jombang Jawa Timur. Muslim Maumoto bersama istrinya adalah pendekar Tapak Suci yang masih memiliki relasi kuat dengan aktivis Tapak Suci di Indonesia. Saya diajak makan di warung depan masjid An-Nur Dili dengan menu ayam lalapan ditambah es teh.

Pak Muslim Maumoto nampak memiliki pengalaman dan disegani di Dili, bukan hanya karena perawakannya yang tinggi besar. Tetapi, dapat dilihat dari beberapa orang yang menyapanya di warung menandakan beliau adalah orang yang dikenal dan memiliki pergaulan luas di Dili. Karena lapar, saya dan Syahrir, kepala KUI UMPalopo, makan dengan lahap dan habislah sepiring nasi ayam lalapan.

Segera kami bergerak menuju Mess An-Nur yang dibangun atas bantuan pemerintah Timor Leste. Berdasarkan informasi dari pak Alfonso (Jaksa Agung) Timor Leste, pemerintah memiliki perhatian terhadap ormas dan kegiatan keagamaan. Gereja diguyur bantuan ratusan milyar per-tahun, demikian juga yayasan Islam walaupun jumlahnya jauh lebih sedikit. Bangunannya cukup megah, dan memiliki 4 kamar besar dengan ranjang susun dan daya tampung sekitar 60-80 orang. Karena kecapaian akhirnya kami lelap tertidur hingga adzan subuh membangunkan kami.

Subuh hari fajar baru saja menyingsing di ufuk timur. Langit di kota Dili masih gelap, hanya cahaya lampu dan suara lolongan anjing di sekitar asrama Annur terdengar memekik. Di antara kesunyian itu, terdengar lantunan lembut yang memecah keheningan, suara azan subuh.“Allahu Akbar… Allahu Akbar…”Suara itu datang dari menara sebuah masjid di kota Dili, mengalun pelan namun penuh makna. Angin laut membawa gema suci itu melintasi rumah-rumah, menyentuh hati siapa pun yang mendengarnya.

Meski umat Islam di Timor Leste hanyalah segelintir, panggilan itu tetap bergema dengan keyakinan yang kokoh. Setiap kalimat azan seolah mengingatkan bahwa Allah selalu hadir, di mana pun hamba-Nya berada  bahkan di negeri yang sunyi dari suara takbir.Beberapa jamaah berjalan perlahan menuju masjid, kaki mereka menyentuh tanah yang masih basah oleh embun. Tak ada hiruk-pikuk, hanya bisikan doa dan ketulusan yang mengalir bersama udara fajar.

Saya memilih ke masjid Annur Dili yang merupakan masjid terbesar di kota itu, dan menanungi lembaga pendidikan mulai dari SD sampai SMA. Masjid An-Nur yang cukup besar dan mampu menampung ribuan jama’ah didirikan dengan upaya yang sangat keras dari tokoh-tokoh muslim di Timor Leste.  Saat ini Yayasan Annur memiliki sekolah mulai SD sampai SMA yang jumlah siswanya ribuan. Siswanya juga memiliki berbagai latar belakang, baik Muslim maupun penganut Katolik. Bahasa pengantarnya adalah bahasa Tetun dan sesekali menggunakan bahasa Portugal. Akan tetapi, bahasa sehari-hari atau bahasa pasar masih menggunakan bahasa Indonesia yang masih dipergunakan dengan fasih.

Saya masuk dan langsung disambut oleh pak Anwar Da Costa (ketua yayasan An-Nur) bersama ketua PCIM Timor Leste pak Ipolito Soares, serta pak Sofyan dengan senyuman ramah. Demikian juga pak Julio Muslim, imam masjid lulusan Madinah hafidz qur’an 30 Juz, termasuk pak Alfonso (Jaksa Agung) yang sangat rajin ke masjid tersenyum dengan sangat ramah, beserta beberapa orang jama’ah yang mengenal dr. Abubakar Malinta, orang tua ideologis kami di Muhammadiyah.

Setelah selesai jamaah subuh, pak Julio Muslim mempersilahkan saya menyampaikan ceramah subuh. Selama di Dili, sebanyak 4 kali saya menyampaikan ceramah subuh, dan terasa syahdu karena jamaahnya antusias dan mungkin sangat jarang penceramah dari Indonesia datang. Segera saya naik mimbar dan menyampaikan keutamaan subuh, serta membahas ayat “andalan” kami di Muhammadiyah QS. Ali Imran: 110 untuk memberikan semangat kepada jamaaah bahwa meskipun minoritas, tetapi mereka secara luas dapat bergaul dengan komunitas lain, dan cukup diperhitungkan. Apalagi dengan adanya masjid An-Nur yang menjadi pusat aktivitas umat Islam di kota Dili, menggerakkan denyut nadi perekonomian dan pendidikan.

Sebelum kembali ke asrama Annur, kami diajak keliling ke kawasan pantai yang dikelilingi bukit Tanjung Fatucama. Disitulah terdapat Patung Yesus yang dibangun sebagai peringatan integrasi Timor Timur ke Indonesia memiliki ketinggian 10 meter dan total beserta pondasi sejumlah 27 meter. Angka ini menunjukkan lambang Timor Leste menjadi provinsi ke 27 yaitu provinsi Timor Timur. Patung ini dibangun diatas perbukitan dengan ketinggian 90 meter diatas permukaan laut. Beberapa penjual kepala muda menawarkan jualannya, dan kami menikmatinya sambil menyaksikan keindahan matahari yang sedang memerah, terbit.

Pukul 09.00 waktu Dili, kami bergegas ke kantor Yayasan Annur untuk melakukan Memorandum of Understanding dan sekaligus International Community Servicedi sekolah yang dinaungi yayasan Annur. Anak-anak sangat antusias menyambut dan ikut kegiatan yang dilakukan oleh Syahrir kepala KUI UMPalopo. Tak lupa kami membagikan door prizebeberapa pecahan Dollar yang masih tersisa di kantong.

Sore harinya, kami diajak oleh pak Julio Muslim dan pak Sofyan jama’ah Annur untuk ngopi di salah satu Café ternama di Dili. Setelah masuk ternyata sudah menunggu pak Alfonso (jaksa agung) yang sangat ramah. Kebiasaan orang Timor Leste menikmati kopi tanpa gula disajikan dengan beberapa jenis makanan kecil. Rupanya di Dili sedang berkembang bisnis tersebut, dan beberapa pengusahanya adalah teman-teman dari Sulawesi Selatan yang dulu ayahnya bermukim di Timor Leste.

Akhirnya, Adzan magrib berkumandang sebagai tanda kami harus mengakhiri kegiatan sore. Saya dan Syahrir kembali ke masjid AnNur untuk melaksanakan Salat Magribh dan Isya. Setelah itu saya pamit kepada jama’ah untuk kembali ke asrama dan mempersiapkan beberapa dokumen untuk kegiatan MoU dan Visiting Lecturer pada dua universitas di Dili, Timor Leste.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply