Khittah.co, Makassar – Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir, menegaskan pentingnya peran strategis Muhammadiyah Sulawesi Selatan (Sulsel) dalam Sejarah Persyarikatan. Ia juga menegaskan pentingnya membangun kader unggul dan pusat keunggulan di berbagai bidang. Hal tersebut disampaikan dalam ceramah umum di Kampus Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, Selasa, 4 Februari 2025.
Peran Strategis Muhammadiyah Sulsel
Menurut Haedar, Sulsel memiliki peran besar dalam sejarah Muhammadiyah. Wilayah ini bukan hanya dikenal sebagai pusat kaderisasi dan diaspora kader yang luas, tetapi juga sebagai tempat lahirnya keputusan-keputusan strategis bagi gerakan Islam modernis ini.
“Komitmen dan disiplin tinggi dalam ideologi Muhammadiyah di Sulawesi Selatan menjadikannya sebagai The Great Tradition. Kaderisasi yang berjalan fanatik dalam arti positif serta semangat perantauan dan berniaga yang kuat memungkinkan kader Muhammadiyah asal Bugis-Makassar menyebar hingga Gorontalo dan Papua,” tandasnya.
Dalam sejarahnya, lanjut Haedar, Makassar menjadi saksi berbagai keputusan besar Muhammadiyah yang menentukan arah gerakan ini . Pertama, Khittah Ujung Pandang, yang lahir dari Muktamar Muhammadiyah tahun 1971, yang menegaskan bahwa Muhammadiyah tidak anti-politik, tetapi juga tidak terlibat dalam politik praktis.
“Muhammadiyah menjaga jarak yang sama dengan semua partai politik, adalah Keputusan strategis yang menegaskan posisi Muhammadiyah untuk bergerak pada ranah kemasyarakatan dibandingkan politik praktis,” tandas Haedar.
Kedua Keputusan Muktamar 2015 di Makassar, juga melahirkan keputusan penting terkait Dakwah Komunitas, sebagai strategi baru dalam menyebarkan nilai-nilai Islam di masyarakat. “Strategi Dakwah Komunitas bertujuan agar mampu menjangkau semua kalangan, baik masyarakat bawah maupun kalangan elit,” pungkas nakhoda Muhammadiyah itu.
Selain itu, pada Muktamar 2015, Muhammadiyah juga menegaskan kembali komitmennya terhadap konsep Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi wa Syahadah. Pancasila dipandang sebagai hasil kesepakatan bersama (darul ahdi) sekaligus sebagai persaksian (darul syahadah).
“Dengan demikian, perdebatan tentang negara Islam atau khilafah sudah tidak relevan lagi dalam konteks Muhammadiyah,” ujar Haedar.
Lima Pesan Haedar Nashir
Dalam kesempatan itu, Haedar menyampaikan lima pesan penting yang perlu menjadi perhatian bagi kader dan pimpinan Muhammadiyah, khususnya di Sulawesi Selatan.
Pertama, Memantapkan Pemikiran Resmi sebagai Acuan Gerakan. Muhammadiyah memiliki Manhaj Tarjih, ideologi, dan kepribadian yang harus menjadi dasar dalam bergerak. Kita tidak perlu gaduh setiap kali pemilu datang. Tidak perlu saling bersitegang atau konflik, apalagi memiliki sikap yang bertentangan dengan prinsip Muhammadiyah.
“Acuan kita jelas, Muhammadiyah tidak berpolitik praktis dan tidak memiliki hubungan dengan partai politik mana pun. Namun, membangun kedekatan dan komunikasi dengan berbagai partai itu boleh dan justru bagus. Kedekatan ini bukan dalam arti politik praktis, melainkan relasi yang tetap menjaga independensi organisasi,” jelas Haedar.
Ia melanjutkan, dalam Kepribadian Muhammadiyah sudah dijelaskan, “Kita boleh kritis, baik ke dalam maupun ke luar, tapi harus dengan bijaksana. Jangan sampai waktu kita terbuang hanya untuk perdebatan yang tidak perlu.” “Dalam komunikasi, kita harus punya adab. Misalnya, jika ada tiga pilihan kata—saya tidak suka, saya benci, saya muak—kita pilihlah yang paling santun: saya tidak suka. Penyampaian yang beradab tetap bisa tegas dan argumentatif,” kata Haedar.
Kedua, penguatan organisasi dan kepemimpinan. Baik di level persyarikatan maupun amal usaha, kata Haedar, organisasi harus terus diperbaiki agar lebih modern dan efisien. Ia merujuk pada kaidah “takdimul aham minal muhim” (mendahulukan yang terpenting dari yang penting).
“Kita juga harus bijak dalam pengelolaan keuangan. Jangan boros. Jangan sampai terlalu sering bepergian ke luar negeri hanya untuk studi banding yang tidak jelas hasilnya. Jika memang perlu, tidak masalah, tapi jangan hanya untuk rekreasi berbalut studi banding,” ujarnya.
Kepemimpinan di Muhammadiyah harus transformatif, baik di persyarikatan maupun amal usaha. Jangan sampai kepemimpinan justru menjadi rebutan. Seharusnya, kepemimpinan di Muhammadiyah dipahami sebagai tanggung jawab besar, bukan sekadar jabatan prestisius.
Ketiga, meningkatkan jaringan dan sinergi. Haedar mengatakan, “Saat ini kita hidup di era jaringan. Informasi adalah power. Jaringan yang luas membuat kita lebih kuat dalam banyak aspek.”
Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya membangun jaringan yang kuat di berbagai sektor, baik nasional maupun internasional. Menurutnya, kekuatan Muhammadiyah tidak hanya terletak pada jumlah kader, tetapi juga pada kemampuan membangun sinergi dengan berbagai pihak.
Keempat, mendorong diaspora kader. Kaderisasi sangat penting, baik untuk amal usaha maupun persyarikatan. “Kita tidak boleh merasa terancam dengan kader-kader muda yang lebih cerdas dan maju. Justru kita harus mendukung mereka. Di kampus, dorong dosen-dosen muda untuk studi lanjut. Jika perlu, biayai studi mereka, terutama untuk ke luar negeri. Jangan sampai kader kita hanya menjadi jago kandang di lingkungan kecilnya sendiri,” pesan Haedar.
Kelima, meningkatkan peran dalam sains dan teknologi. Presiden Prabowo sangat percaya kepada Muhammadiyah karena kita adalah gudangnya para saintis. “Sebelum beliau dilantik, saya sempat berbicara dengannya di Jogja, dan beliau menaruh harapan besar terhadap Muhammadiyah dalam bidang sains dan teknologi,” ujar Haedar.
Maka, di PTMA (Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah), sains dan teknologi harus ditingkatkan. “Kita tidak boleh hanya fokus pada bidang sosial dan keislaman, tetapi juga harus unggul dalam bidang-bidang strategis lainnya,” tambahnya.
Kualitas pendidikan Indonesia, kata Haedar, masih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. “Human Development Index kita masih di bawah standar. Jangan menganggap orang Indonesia itu semuanya pintar. Faktanya, indeks IQ kita masih berada di kisaran 78–85, lebih rendah dibanding negara-negara maju,” ujarnya.
Ceramah yang berlangsung di Unismuh Makassar ini dihadiri oleh jajaran Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulsel dan Pimpinan Unismuh Makassar. Haedar berharap bahwa Muhammadiyah Sulsel tetap menjadi pusat kaderisasi dan inovasi dalam berbagai bidang.