Oleh: Mulyati Muhammad*
KHITTAH.CO, – Tak disadari, kita telah berada di penghujung Ramadhan. Kehadiran virus berakronim Covid-19 di seluruh belahan dunia tak terkecuali di Indonesia ikut mewarnai nuansa Ramdhan tahun ini. Sedikit berbeda baik secara praktik ritualitas normatif-teologis maupun ritualitas sosial-ekonomi. Pandangan berbeda pada aspek ritualitas normatif teologis misalnya, terjadinya declining ritualistas spritual di masjid berupa peniadaan aktivitas sholat lima waktu dan tarwih secara berjama’ah. Demikian pula pada aspek sosial-ekonomi, hamparan takjil (menu berbuka puasa) dipinggir-pinggir jalan, lorong-lorong perkampungan yang sering kita jumpai disetiap bulan ramdhan nampak jauh berbeda sebagaimana biasanya. Pada titik inilah kita sedang mengalami dekadensi interaksi sosial.
Dekadensi ritualitas tersebut sesungguhnya bukan menjadi apologize untuk tidak berupaya menggapai reward dari sang Khalik agar menjadi orang-orang bertaqwa (la ‘alakum tattaquun). Sebab dekadensi akibat Covid-19 hanya menyentuh pada tataran ritualitas semata tidak menghilangkan substansi spiritual puasa Ramdhan.
Efek Covid-19 sedikit mengurangi pada aspek interaksi sosial seperti aktivitas tarwih berjemaah, taddarus bersama yang mana ritualitas normatif-teologis tersebut justru lebih baik dilakukan secara individu. Sebaliknya, Covid-19 menjadi hikmah tersendiri dari prespektif ke-takwaan sosial.
Diharapkan bahwa ritualitas rohani untuk meraih gelar takwa sebagai penghargaan individu agar juga dapat memberikan pengaruh pada keshalehan sosial yakni bahwa melaksanakan ibadah puasa pada suasana covid meningkatkan apa yang disebut dengan social consciousness yakni meningkatnya kesadaran untuk berbagi, menolong, mengasihi dan berbagai aktivitas sosial berupa penggalangan dana untuk membantu masyarakat ekonomi lemah atau yang terdampak Covid-19.
Pelaksanaan ibadah puasa di tengah wabah Covid-19 dapat memunculkan dua nilai kesadaran spiritual secara bersamaan yakni God-Consciousness dan Social-Consciousness. Hal ini sejalan dengan hakikat penciptaan manusia dalam pandangan agama (baca: islam). Q.S. 51:56 mewartakan bahwa manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah. Tidak hanya pada penciptaan, untuk menjalankan hakikat penciptaan manusia, Allah juga memberikan ‘beban’ pada manusia sebagai khalifah fil ard (Q.S. 2: 30).
Penunjukkan manusia sebagai khalifah fil ard memberikan arti bahwa manusia diberikan tugas dan tanggung jawab untuk menjalankan ibadah (ibadah dalam pengertian luas). sebagai khalifah, Allah pun tidak melepaskan begitu saja, namun Allah juga memberikan tuntunan/panduan bagi manusia untuk menjalankan tugas ke-khalifahan (Q.S. 2 : 185). Dalam tuntunan tersebut memuat tuntutan-tuntutan yaitu tuntutan untuk melakukan sesuatu dan tuntutan untuk tidak melakukan sesuatu. Inilah yang dalam konsep taqwa disebutkan dengan imtitsalul awamiri waj tinabun nawahi.
Konsekuensi manusia sebagai pemimpin di muka bumi adalah bagaimana seseorang mampu beribadah, bertingkah dan bertindak serta melakukan aktivitas lainya sesuai tuntunan dan tuntutan. Maka pada diri manusia perlu ditumbuhkan sikap dan sifat berupa self-awareness. Manifestasi self awareness kemudian melahirkan tiga tanggung jawab pokok yang harus dilakukan oleh manusia dalam kapasitasnya sebagai pemimpin.
Pertama, Self-Trancendence. Hal ini erupakan tanggung jawab seorang sebagai pemimpin untuk memimpin dirinya sendiri berkenaan dengan membangun hubungan baik secara vertikal dengan sang pencipta melalui ketaatan-ketaatan sebagaimana tuntunan dan tututan yang dibebankan pada manusia, sinonim dari self-trancendece adalah hablum minallah. Pada level ini manusia dituntut untuk ber-fastabiqul-khairat.
Kedua, Self-Social. Selain tugas individu, kapasitas manusia sebagai pemimpin juga diberikan beban dalam tanggung jawab sosial. Ilmuwan termasyhur Aristoteles menyebutnya dengan zoon politicon. Ketika berhasil memimpin dirinya dengan ketaatan pada sang pencipta, maka langkah selanjutnya adalah mengajak orang lain di sekitar untuk berada pada ketaatan yang sama.
Manusia diharapkan untuk tidak bersikap individualis, sebab nabi diutus tidak semata untuk keselamatan pribadi namun juga keselamatan masyarakat. Membantu saudara-saudara lain agar terbebas dari himpitan hidup akibat covid menjadi bagian dari tanggung jawab manusia sebagai khalifah. Ini sejalan dengan ciri-ciri taqwa (Q.S 3 : 133-134). Perlakuan agama demikian melahirkan apa yang disebut oleh Kenneth Boulding sebagai agama profetis yakni agama yang merespon persoalan konkrit ditengah masyarakat.
Ketiga, Self Social System. Diakui atau tidak, manusia hidup dalam tatanan sistem sosial. Jika self social adalah perilaku individu manusia secara bebas sebagai bentuk personifikasi ketaatan terhadap agama, maka self social system adalah kemampuan individu dalam sebuah struktur sistem sosial. Di mana keshalehan individu dapat dijewantahkan melalui mesin kerja sistem dalam struktur sosial. Misalnya, seorang pemimpin struktural dengan kesadaran diri bahwa tujuanya hidupnya beribadah kepada Allah lalu menggunakan kewenangannya mengambil kebijakan optimalisasi sumber daya organisasi berupa bantuan sosial kepada masyarkat terdampak covid 19.
Namun demikian, kesadaran-kesadaran tersebut di atas bukan aktivitas keshalehan individu dan sosial pada bulan Ramadhan semata yang kebetulan berpapasan dengan Covid-19. Tentu saja pasca Ramdhan nilai-nilai keshalehan tersebut harus tetap muncul pada hari-hari selanjutnya. Sehingga ketaatan terhadap Tuhan tidak hanya pada bulan Ramadhan atau saat tejadi pandemi virus atau krisis-krisis lain. Namun Tuhan harus menjadi suatu yang omnipresent. Kontinuitas dan konsistensi nilai, spirit ramadhan agar tetap terjaga pasca ramadhan. Kesenambungan inilah yang diungakan oleh Charles Glock dan Rodney Stark dengan concequenses, yakni the effect of religious belief, practice, experience, and knowledge in person day to day lives. (Yinger dalam Syamsul Arifin, 2003)
Oleh karena itu, selain mengucapkan syukur bahwa seluruh rangkaian ibadah Ramadhan akan/telah usai, saatnya umat muslim menyambut kemenangan, memproklamirkan diri sebagai pribadi yang fitri. Namun, nilai kefitrahan seseorang bukanlah terletak pada momentum Ramadhan semata. Yang terpenting dalam memaknai kefitrahan adalah bagaimana pasca Ramadhan kita masih memiliki ketaatan dengan kualitas dan intensitas yang sama.
Amanat yang dijanjikan Allah pada dalil kewajiban berpuasa adalah agar kita menjadi orang bertakwa. Kata ”tattaquun” sebagaimana akhir dari Q.S Al Baqarah 183 dalam ilmu lughoh mengandung fi’il mudhori’. Untuk diketahi bahwa sifat fi’il adalah yatajadad au yataqarar, Artinya proses mencapai taqwa tidak berhenti disaat ramadhan. Puasa ramadhan merupakan salah satu kewajiban (kutiba) yang utama sebagai bentuk ke-maha sayangan Allah kepada hamba-Nya dengan memberi suatu momentum khusus untuk beribadah.
Dengan demikian, wujud ketakwaan pasca Ramadhan adalah istiqomah dengan nilai dan keshalehan selama ramadhan. Kebiasaan sholat tarawih semoga terbiasa dengan sholat malam, kebiasaan berpuasa semoga pasca ramadhan tetap berpuasa melalui puasa-puasa sunnah begitupun ritual taddrus serta yang terpenting adalah aksi sosial saling membantu antar sesama saat Covid-19 pada bulan ramdhan terus dipupuk pasca Covid-19 dan Ramadhan. Tugas penghambaan untuk meraih taqwa merupakan elaborasi antara iman, islam dan ihsan. Takwa merupakan achievment status sehingga label taqwa merupakan hak prerogrative Allah . Tidak seorang pun yang berhak memproklamirkan dirinya atau mengukuhkan orang lain telah bertaqwa.
* Mahasiswi Pendidikan Sosiologi Universitas Muhammadiyah Makassar