“kebenaran terletak di realitas kehidupan, bukan di akal pikiran (al-haqiqah fi al-a’yan la fi al-adzhan)” (Ibnu Taymiyah, 1328)
KHITTAH.CO – Penghujung 2019 menuju 2020, bumi dikejutkan oleh serangan Covid-19. Virus yang merupakan rumpun dari corona ini menjelajah dari satu tubuh ke tubuh yang lain dengan cepat. Berawal dari Wuhan Cina lalu menyebrang ke belahan bumi yang lain dan betah tinggal disegala negara. Tak memandang itu negara maju, berkembang atau sementara membangun diri.
Covid – 19 akhirnya sampai ke Indonesia di bulan Februari dan bertahan hingga saat ini. Tercatat ada 10.843 kasus, 1.665 pasien yang sembuh dan 831 orang yang meninggal dunia pertanggal 2 Mei 2020.
Tentunya kita berharap angka – angka tersebut berhenti dan yang sembuh semakin banyak. Angka – angka tersbut jelas membuat ketakutan karena semakin bertambah pun yang sembuh juga semakin banyak.
Namun masyarakat awam tidak fokus pada angka kesembuhan melainkan lebih fokus pada angka kematian. Ketakutan kadang lebih menarik dibandingkan kebahagiann untuk masyarakat yang tidak teredukasi dengan baik dalam hal covid – 19.
Pemerintah mengambil langkah cepat dengan menerapkan social distancing atau physical distancing demi mencegah penyebaran virus ini. Namun yang terlupakan adalah bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang memiliki kegemaran suka berkumpul – kumpul.
Masdar Hilmy, guru besar sekaligus rektor UIN Sunan Ampel Surabaya mengatakan bahwa masyarakat Indonesia memiliki budaya komunitarian-komunalistik (baca: suka ngumpul-ngumpul, bergerombol) dalam sebuah unit sosial yang saling berjejaring. Budaya tersebut merupakan modal sosial karena eksistensinya berupa gotong royong, empati sosial yang kuat hingga toleransi yang mendamaikan.
Perwujudan dari modal sosial tersebut tak jarang adalah sentuhan fisik seperti jabat tangan, pelukan atau cipika cipiki. Hal inilah yang membuat fase awal program pemerintah mengalami hambatan karena budaya yang sudah mendarah daging harus ditinggalkan pun untuk sementara.
Selain budaya ngumpul tersebut, kebebalan itu semakin menjadi – jadi dengan meminjam otoritas agama. Dalil(h) keagamaan direduksi untuk tetap bisa menjalankan ibadah di sarana – sarana ibadah.
Narasi teologi akan kematian adalah keniscayaan dan hak mutlak dari Tuhan, Covid – 19 ini adalah pembersih dosa – dosa para pemimpin Negara ini, bahkan social distancing (dianggap sebuah) jalan untuk menjauhkan umat dari Tuhan.
Kemalangannya lagi, tak jarang ditemukan di kampung – kampung, orang – orang yang secara pemahaman keagamaannya baik dan tokoh masyarakat malah mereka yang paling vokal dan ngotot untuk tetap beribadah secara umum.
Inilah bentangan yang berjarak antara nalar masyarakat dengan nalar kesehatan sekaligus. Sehingga ketika ada sebuah aturan dalam hal membatasi aktivitas maka akan direspon dengan kaku, cuek dan bahkan melawan.
Di balik itu semua kadang kita luput melihat sebuah realitas, bahwa dalam hal covid – 19 ini ada hal yang lebih menakutkan selain angka- angka kematian. Yaitu sebuah respon yang sangat cepat, lahir dari kekhawatiran lalu berubah menjadi ketakutan. Sebuah relasi sosial yang tumbang berwujud stigma.
Stigma merupakan ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya. Lebih jauh lagi stigma dalam pandangan Erving Goffman (1968) adalah bentuk atribut fisik dan sosial yang mengurangi identitas sosial seseorang, mendiskualifikasi orang itu dari penerimaan seseorang. Artinya stigma dilekatkan kepada seseorang yang telah berbeda baik secara fisik maupun sosial yang arahnya pada sesuatu yang negatif.
Pada akhirnya kita disuguhkan pemandangan perawat atau tenaga medis yang diusir dari huniannya, mayat pasien covid – 19 yang meninggal ditolak dengan tegas oleh warga, dan beberapa perlakuan yang tidak semestinya dilakukan oleh masyarakat kepada pasien covid – 19.
Ketakutan ini membuat individu atau kelompok membuat sebuah kewaspadaan yang ketat dalam bentuk kontrol yang kecenderungannya kebablasan. Merespon itu, pemerintah melakukan penertiban dengan mengeluarkan aturan PSBB (pembatasan sosial berskala besar).
Masyarakat awam tidaklah mengerti akan perjuangan para tenaga medis dengan alat APD seadanya lalu menangani pasien – pasien Covid – 19. Malah tak jarang para tenaga medis juga menjadi korban dari keganasan Covid – 19. Maka diperlukan sebuah kerja sama untuk membendung stigma – stigma yang juga penyebarannya kuat dan bahkan sejalan dengan penyebaran Covid – 19. Kita kadang sibuk menyelamatkan diri sendiri hingga ke’aku’an mendahului ‘kita, kami, kalian atau mereka”.
Cara pandang masyarakat sangatlah sederhana, mereka merespon apa yang terjadi pada ruang yeng bernama realitas pola sebab akibat (nalar indiktif). Jika seseorang terpapar Covid – 19 (sebab) maka dia akan meninggal atau setidaknya menularkan virus tersebut (akibat).
Proses inilah yang direspon oleh masyarakat dengan tidak sadar lalu mengkonstruksi stigma kepada sang pasien. Dikucilkan, dianggap biang penyakit, meresahkan warga, mencemarkan nama kampung dan lain sebagainya adalah bentuk stigma yang berkembang luar biasa.
Media sosial yang tidak terkontrol dan jari – jari yang tidak bertanggungjawab yang lebih besar ketakutannya dibandingkan empatinya malah memberikan informasi yang sifatnya hoax. Perlu diingat, bahwa media sosial saat ini adalah media yang sangat efektif membentuk opini public.
Sehingga berita – berita yang beredar tanpa edukasi yang jelas dan terus menerus akan menciptakan stigma – stigma sosial yang lebih besar dan akan membuat kerenggangan sosial yang lebih besar. Edukasi ini mestinya membuat masyarakat lebih menghargai kebersihan dan membangun empati yang lebih kuat terhadap tetangga atau family yang terpapar Covid – 19.
Bisa dibayangkan, mereka yang sudah terpapar virus lalu mereka juga dikucilkan bahkan dianggap biang penyakit. Secara fisik mereka telah terganggu dan kita malah memberikan sumbangsih yang tidak sehat bagi psikisnya.
Yang diperlukan saat ini adalah saling menguatkan bukan saling mengucilkan, empati sosial yang besar bukan emosi komunal yang menyakitkan, modal sosial yang mendamaikan bukan sikap individu yang menakutkan.
Penulis: Nawa (Penggiat Sosial Takalar dan Pengikut Sekte Kaum Rebahan Nasional)